Kalau Kamu Digaji Bulanan oleh Negara (tanpa syarat apapun), Apa yang Akan Kamu Lakukan Sehari-hari?

M Sena Luphdika
334455 — Demokrasi Ekonomi?
5 min readApr 29, 2016
image credit : Andrew J. Nilsen for Fast Company

Bayangkan suatu negara yang seluruh penduduknya setiap bulan mendapatkan sejumlah uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Apa yang akan terjadi di negara tersebut? Apakah penduduknya akan bermalas-malasan? Atau justru mereka menjadi tidak khawatir dengan kebutuhan mereka sehari-hari dan mampu mengoptimalkan potensi diri yang mereka miliki?

Saya ingin menanyakan suatu hal yang terasa sederhana namun akan mengubah dan memecah cara pandang Anda terhadap apa definisi dari Pekerjaan, Pendapatan, dan Tujuan Hidup :

Apa yang Akan Anda lakukan sehari-harinya jika Anda digaji bulanan oleh Negara dengan nominal yang cukup untuk kebutuhan dasar bulanan Anda?

Pemasukan ini tidak bersyarat, artinya, Anda akan mendapatkan pemasukan ini tanpa Anda wajib bekerja atau melakukan apapun. Hal ini terjadi secara merata bagi seluruh anggota masyarakat. Bila hal ini diwujudkan di Indonesia, apa yang akan terjadi? Mungkin agar tidak terlalu luas lingkupnya, saya persempit pertanyaan saya. Apa yang akan Anda sendiri lakukan?

Aneh? Mungkin. Namun sistem ini — yang sering disebut Universal Basic Income (UBI) — sebenarnya bukan hal yang utopis. Beberapa negara di Eropa seperti Belanda, Swedia, dan Finlandia telah dan akan mengimplementasikan hal ini dalam waktu dekat (Klik untuk tautan-tautan terkait).

Dua alasan utama implementasi program ini adalah dasar pemikiran yang mengatakan bahwa a) Masyarakat menengah ke bawah berada di posisinya sekarang bukan karena kemalasan, namun kurangnya kesempatan; dan b) Banyak potensi diri manusia yang “tenggelam” dalam usaha untuk sekadar “survive” dalam kehidupan sehari-hari.

Poin A : Masyarakat menengah ke bawah berada di posisinya sekarang bukan karena kemalasan, namun kurangnya kesempatan.

Dampak terbesar dari UBI akan dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah yang berada di dekat garis kemiskinan. Dengan gaji bulanan yang tetap, mereka akan mampu bergerak keluar dari jurang yang sebelumnya selalu memerangkap mereka. Gali lubang, tutup lubang, ambil hutang di sini untuk bayar hutang di sana. Kasus-kasus semacam ini akan jauh berkurang dengan adanya UBI.

Skeptis? Pastinya. Kebanyakan dari Anda pasti berpikir, “Bagaimana mungkin orang-orang yang diberikan uang secara cuma-cuma tanpa ikatan apapun akan giat bekerja untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan? Mereka tentu akan berfoya-foya dengan uang yang mereka dapatkan!”. Alur berpikir ini bisa dibilang rasional di alam pikiran, namun Anda harus memahami bahwa terdapat bukti-bukti dari lapangan yang berlawanan dengan pola pikir tersebut.

Terdapat beberapa bukti nyata yang menunjukkan bahwa masyarakat miskin yang diberi kesempatan dalam bentuk hibah akan berusaha mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Bukti pertama didapatkan dari sebuah penelitian di Kanada pada tahun 1974–1979 mengenai Basic Income (tautan), bukti berikutnya ditunjukkan oleh sebuah eksperimen di Uganda pada tahun 2007–2012 mengenai hibah usaha (tautan), sedangkan bukti ketiga dapat dilihat pada sebuah eksperimen di India pada tahun 2010–2011 (tautan).

Inti dari ketiga bukti di atas adalah mayoritas kemiskinan bukanlah hasil dari kemalasan, namun tidak tersedianya kesempatan.

Keluarga berkekurangan di Kanada yang berada di garis batas kemiskinan dapat memperbaiki taraf hidupnya. Mereka menjadi mampu memberikan makanan yang bergizi, pelayanan kesehatan, dan pendidikan yang layak bagi anak-anak dan anggota keluarganya.

Pemuda-pemuda Uganda (yang dilanda perang sipil) mampu memberikan performa bisnis yang lebih baik ketika mereka diberikan hibah bila dibandingkan dengan rekan-rekannya yang lain. Mereka bekerja lebih lama, mendapatkan hasil yang lebih banyak, dan memiliki aset yang lebih tinggi.

Keluarga miskin dari 8 desa di India menjadi mampu memperbaiki nutrisi bagi anak-anaknya, meningkatkan kesehatan keluarganya, kehadiran dan performa di sekolah, level sanitasi, aktivitas ekonomi dan pendapatan, serta derajat sosial-ekonomi dari wanita, lansia, maupun penyandang cacat.

UBI merupakan sebuah kesempatan yang besar bagi para keluarga menengah ke bawah untuk merangkak naik dari lingkaran setan yang selama ini menjerat mereka. Kualitas hidup akan meningkat di semua lini yang ada sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan sering disandingkan dengan kata “jurang” karena banyak kasus di mana keluarga miskin terperangkap dalam siklus menurun yang tak berujung.

Poin B : Banyak potensi diri manusia yang “tenggelam” dalam usaha untuk sekadar “survive” dalam kehidupan sehari-hari

Begitu banyak orang yang bekerja pada bidang yang tidak ia sukai atau tidak ia mau hanya karena ia membutuhkan gaji/pemasukan/pendapatan. Dengan kebutuhan dasar yang terpenuhi oleh gaji dari negara, maka seluruh lapisan masyarakat diharapkan akan melakukan hal yang memang sesuai dengan potensi diri dan kesukaannya. Jika seorang manusia tidak lagi memikirkan bagaimana ia memenuhi kebutuhan pokoknya, bukankah aktualisasi diri dan manfaat bagi sekitar-lah yang berikutnya akan ia pikirkan?

Bayangkan seorang penulis muda di Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi untuk menghasilkan karya yang sekelas dengan Sir Arthur Conan Doyle atau Haruki Murakami. Namun, dalam perjalanan hidupnya ia menemui berbagai macam hambatan yang akan mencegahnya untuk menjadi penulis secara full-time. Hal-hal seperti pendapatan yang tidak pasti, komentar dari keluarga dan kawan, pekerjaan lain yang lebih stabil pendapatannya, penolakan dari penerbit, dan masih banyak lagi. Karena hal-hal tersebut, sang calon penulis hebat ini akan berhenti berkarya dan menyia-nyiakan potensi diri yang ia miliki.

Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah akar dari hambatan-hambatan di atas sebenarnya dapat disimpulkan hanya dalam satu kalimat. Akar dari tidak lahirnya sang penulis ulung ini sebenarnya adalah “kekhawatiran akan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sehari-hari”. Itu saja.

Cerita (yang tidak sepenuhnya imajiner) di atas baru satu contoh kecil. Coba renungkan betapa banyak potensi diri yang bahkan digugurkan tanpa sempat melihat dunia? Berapa banyak calon komposer, musisi, ilmuwan, olahragawan, pebisnis, atau politikus ulung yang memendam dalam-dalam mimpinya hanya karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?

Pola inilah yang ingin diubah oleh program Universal Basic Income, yaitu bergesernya pola pikir masyarakat dari survivability dan “mencari uang” kepada self-actualization dan “mencari kontribusi”.

Satu hal lagi yang menjadi keunggulan utama dari UBI adalah fakta bahwa ia Universal. Maksud dari kata Universal di sini artinya adalah program ini memberikan uang kepada seluruh warga dalam suatu wilayah atau negara tanpa terkecuali. Mengapa ini sebuah keunggulan? Karena ini berarti tidak akan ada kecemburuan sosial, pemalsuan dokumen, maupun kesalahan distribusi seperti yang selama ini terjadi dalam program-program pengentasan kemiskinan yang lain. Contoh paling kentara yang ada di Indonesia adalah program Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Antrian BLT (diambil dari https://yubithea.wordpress.com/2008/10/11/blt/)

Dalam kasus pembagian BLT, terjadi berbagai macam kesalahan dan keributan. Metode pembagian yang tidak efektif, distribusi yang terkadang salah sasaran, kriteria penerima bantuan yang kurang jelas, hingga kasus penyelewengan oleh petugas dan pemalsuan kartu BLT. Akar dari masalah ini adalah adanya kriteria pembeda antara siapa yang berhak dan tidak berhak menerima bantuan. Dengan adanya perbedaan ini maka muncul banyak celah kecurangan, pemalsuan, korupsi, serta penipuan.

Jika seluruh lapisan masyarakat berhak mendapatkan Basic Income dengan jumlah yang sama dari negara, maka apalah gunanya memalsukan dokumen? Apakah masih ada istilah salah sasaran? Akankah tetap muncul kecemburuan sosial karena ada yang dapat dan ada yang tidak dapat bantuan? Beban administrasi dari Kemensos pun akan jauh lebih mudah dan murah karena tidak perlu ada proses pengecekan dokumen, survey lapangan, dan pendataan pemasukan untuk mendapatkan daftar warga yang berhak mendapatkan bantuan dan tidak berhak mendapatkan bantuan.

Bagaimana, tertarik dengan konsep Universal Basic Income? Bagaimana kalau diimplementasikan di Indonesia?

Terima kasih :)

Mohon komentar dan tanggapannya ya!

Jika Anda suka tulisan ini, jangan lupa klik clap (lambang tepuk tangan) sebanyak-banyaknya dan sebarkan pada kawan-kawan Anda.

--

--