Menyoal PDB: Menautkan Ketimpangan, Konflik Agraria, dan Masalah Lingkungan

Ilustrasi dari https://jogja.tribunnews.com/

Pada era sekarang, barangmungkin, persoalan umat manusia yang paling nyata adalah ketimpangan. Tentunya, ungkapan ini bukan kaleng-kaleng, atau pula, tong berbunyi nyaring karena nihil isi. Misalnya, kita kerap disuguhi video Tiktok yang melontarkan mantra-mantra suci, seperti “murah banget” dan “mari kita coba”. Dengan entengnya, pundi-pundi si pembuat video digelontorkan untuk hal-hal yang tidak esensial, seperti pakaian, mobil, dan makanan-makanan mewah.

Sementara itu, orang-orang kelas bawah sangat disulitkan hanya untuk memperoleh dua-tiga butir nasi bagi isi perutnya karena pembatasan mobilitas dalam pandemi Covid-19. Lebih naas, banyak yang berjuang habis-habisan demi mendapatkan tabung oksigen dan donor plasma darah untuk orang-orang terdekatnya. Bebarengan dengan seleb-seleb Tiktok yang terus memamerkan gelimangan kekayaan. Sungguh terlalu!

Ketimpangan Distribusi Kekayaan

Seraya menyambut narasi di atas, distribusi ekonomi global pun kian timpang. Kemungkinan besar, timpangnya distribusi ekonomi ini adalah dampak dari pertumbuhan ekonomi — dalam standar produk domestik bruto (PDB). PDB ini acap kali dipakai untuk menjadi tolok ukur dalam menghitung pendapatan nasional. PDB sendiri terdiri atas produksi nasional bruto dan produksi nasional domestik.[i]

Produksi nasional bruto merupakan jumlah barang dan jasa yang dicapai oleh penduduk sebuah negara baik dari dalam maupun luar negeri, tidak mencakup yang dicapai oleh warga negara lain sepanjang satu tahun. Kemudian, produksi nasional domestik merupakan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara dan asing di dalam negeri sepanjang satu tahun.

Kalau boleh menginterpretasi, logika pertumbuhan ekonomi menjalar subur dalam implementasi produk domestik bruto yang bermantra: “dengan kenaikan jumlah barang dan jasa yang diproduksi, kesejahteraan dan kemajuan bisa digapai”. Cara menghitung PDB ini ialah penjumlahan nilai konsumsi, belanja negara, investasi, dan mengurangi nilai ekspor dengan nilai impor.[ii] Namun nyatanya, PDB tak bisa membawa kesejahteraan dan distribusi kekayaan secara merata. Nggak percaya?

Bagas Yusuf Kausan lewat mengutip Stiglitz, menegaskan bahwa PDB pada intinya, hanya menakar/mengukur produksi pasar. Kalau kita melihat lebih dekat, mantra PDB itu amat menyesatkan, sebab mengira kesejahteraan suatu masyarakat adalah hal yang sangat sukar. Ia menyebut, dengan melepaskan mantra PDB di atas, justru dapat membentuk masyarakat yang lebih baik.[iii]

Dengan menyadur buku Jason Hickel, Mohammad Fachry mengatakan, orang miskin (yang menyandarkan hidup kepada biaya $5 atau kurang per hari) makin bertambah menjadi 370 juta orang. Satu sisi, individu terkaya yang jumlahnya hanya 40% menguasai 95% harta di dunia, sedangkan 60% warga miskin cuma memperoleh 5% residunya. Dia menambahkan, jika sistem pertumbuhan ekonomi seperti ini masih dipakai, butuh 207 tahun untuk membasmi kemiskinan secara menyeluruh.[iv]

Di Indonesia, 25% PDB terkonsentrasi pada 0,02% dari seluruh penduduk, atau cuma 43.000 orang paling kaya. Selanjutnya, nilai kekayaan 40 orang paling kaya sebesar 10,3% PDB. Jadi, kekayaan 40 orang itu sama besarnya dengan harta yang dimiliki 60 juta orang paling miskin.[v] Bisa ditafsirkan, PDB akan sangat-amat sulit memberi kesejahteraan yang merata bagi seluruh umat manusia. Heu-heu-heu.

Konflik Agraria

Di sektor agraria, ketimpangan penghasilan orang antarkelas di atas, berkait erat dengan ketimpangan penguasaan lahan bagi industri ekstraktif. Sejumlah 61,46% daratan dipunyai oleh perusahan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Sementara itu, 68% lahan dikuasai oleh 1% penduduk Indonesia.[vi] Hal ini tentunya berkebalikan dengan program Perhutanan Sosial milik pemerintah. Pada Oktober 2020, baru 4,2 juta hektar area hutan yang telah didistribusikan bagi 870.746 keluarga.[vii]

Hal itu sejalan dengan rentetan konflik agraria yang tengah terjadi. Pada 2020, ketika pandemi Covid-19 mendera, keadaan yang memerihkan tak hanya berupa krisis kesehatan, tapi juga berupa krisis multidimensional — ekonomis, sosial, dan agraris. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 241 kasus konflik agraria di tanah dengan luas 624.272,711 hektar, di 359 desa/sederajat, dan melibatkan 135.337 kepala keluarga.[viii]

Dari 241 kasus konflik agraria tersebut, 122 di sektor perkebunan, 41 di sektor kehutanan, 30 di sektor infrastruktur, 20 di sektor properti, 12 di sektor tambang, 11 di sektor fasilitas militer, 3 di sektor maritim, dan 2 di sektor agribisnis. Kasus-kasus konflik agraria ini terkonsentrasi pada pertikaian antara perusahaan dan masyarakat setempat. Misalnya PT Erasakti Wira Forestama, PT Indonusa, PT Wira Karya Sakti, dan PT Agronusa Alam Sejahtera di Jambi.

Perusahaan-perusahaan tersebut adalah mesin pemenuh kekayaan segelintir orang dan PDB di Nusantara. Pada triwulan kedua 2020, sektor industri menyumbang 19,87 persen dan menjelma sektor andalan PDB nasional.[ix] Tak pelak, kekerasan dan intimidasi yang menceruak dalam konflik-konflik agraria dilakukan oleh aparat keamanan, seperti polisi, militer, satpol PP, dan security partikelir. Aparat kepolisian dan militer — yang harusnya turut bertugas dalam penanganan Covid-19, justru memihak kepada perusahaan dan berhadapan dengan warga setempat.[x]

David Harvey pun mengungkapkan hal serupa. Akumulasi kapital dari perusahaan akan bisa berkembang secara baik saat dilindungi struktur institusional hukum, hak milik privat, kontrak, dan jaminan suatu nilai uang. Dalam hal ini, negara adalah pemilik kekuatan polisional dan monopolistik atas instrumen-instrumen kekerasan demi menjamin kerangka institusional yang melanggengkan akumulasi kapital oleh perusahaan-perusahaan.[xi]

Kerusakan Ekologis sebagai Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi

Kapitalisme, sebagai model ekonomi yang melahirkan logika pertumbuhan, tak hanya menimbulkan ketimpangan distribusi kekayaan, tapi turut pula menciptakan ruang-ruang baru lewat ekspansi geografis dan reorganisasi spasial. Inilah yang disebut Harvey sebagai spatial fix, penciptaan ruang baru untuk menunda krisis. Sebab kapitalisme mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejatuhan tingkat laba dan krisis over-akumulasi.[xii]

Andrew Herod pun menegaskannya, dengan menyitir Harvey, bahwa modal harus/wajib/musti ditanamkan secara individual dan kolektif dengan membangun pabrik, bendungan, kantor, pembangkit listrik, sekolah, rumah sakit, taman, bioskop, restoran — daftarnya tidak terbatas.[xiii] Hal ini pula yang berkaitan erat dengan perluasan/pencaplokan lahan warga setempat oleh kapitalis, sehingga konflik agaria adalah hal yang tak terhindarkan. Tak pelak, perubahan lanskap geografis dan krisis sosio-ekologis pun mengiringi ekspansi spasial tersebut.

Belakangan, kita dihadapkan pada persoalan krisis iklim. Krisis ikim merupakan penurunan kualitas tempat tinggal, ketersediaan pangan, kesehatan masyarakat dunia akibat perubahan iklim. Perubahan iklim ini diakibatkan oleh gas rumah kaca yang terjebak di statosfer. Krisis iklim yang terjadi di tengah kita memang beragam fenomenanya.[xiv]

Misalnya, kebakaran besar di California dan Australia, kenaikan muka air laut, intensitas curah hujan yang tinggi, dan pemanasan rerata suhu bumi yang sekarang telah meningkat satu derajat celcius sejak 1880. Nah, perubahan iklim ini terjadi karena emisi gas rumah kaca. Pada 2020, KLHK mencatat 36,3% emisi gas rumah kaca ada di sektor energi dan 44,1% di sektor kehutanan.[xv]

Pada 2016, pemerintah melepaskan area hutan sebesar 6,7 juta hektar kepada 702 korporasi, yang mayoritas perkebunan sawit.[xvi]. Dan di Jawa Tengah, ada rencana pembangunan enam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam revisi RTRW tahun 2019. Padahal pasokan energi listrik di Jawa Tengah mencapai nilai surplus sebesar 15% atau 30 megawatt. Seperangkat pembangunan ini ditujukan untuk menunjang ekspansi industri ke Jawa Tengah.[xvii]

Lebih jauh, kebakaran hutan memang kian menjadi-jadi. Sepanjang tahun 2019, 328.724 hektar hutan terbakar di Indonesia. 86.000-nya adalah hutan gambut. Ketika terbakar, hutan gambut — yang berfungsi menyimpan air dan CO2 — akan mengeluarkan zat metana, gas rumah kaca yang 21 kali lebih berbahaya dibanding CO2.[xviii] Sejalan dengan itu, pada semester pertama 2019, produksi kelapa sawit meningkat sebesar 34,7 juta ton, atau 14% dari semester pertama 2018.[xix]

**

Dari situ, kita memperoleh benang merah atau konvergensi dari ketimpangan kekayaan, konflik agraria, dan kerusakan lingkungan hidup, yakni determinasi PDB sebagai pengukur “kesejahteraan” masyarakat. Logika pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDB inilah yang perlu kita enyahkan dari kehidupan.

Sejatinya, banyak usulan sistem ekonomi yang baru. WALHI Nasional menawarkan ekonomi nusantara. Ada pula yang menawarkan sistem ekonomi kooperasi dengan asas kekeluargaannya. Ada lagi yang menghendaki sosialisme. Pun dari arah lain, ada yang mengusulkan social solidarity economy (SSE) dari bawah.

Konklusi dari secuil pembahasan ini adalah pergantian sistem ekonomi PDB yang sangat-amat tidak berkeadilan, menuju “other, better ways of being in the world”.[xx] Dengan tulisan ini, saya harap, diskursus pergantian sistem ekonomi terus disebarluaskan serta dilakukan secara konkret, semampu-mampunya. Sekian, terima kasih.

Catatan Akhir

[i] Muchtolifah, Ekonomi Makro, (Surabaya: Unesa University Press, 2010), hlm. 88

[ii] Boy Sembiring, Bagas Kausan, dan Tanti Suryani, Ekonomi Nusantara: Tawaran Solusi Pulihkan Indonesia, (Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI, 2021), hlm. 7

[iii] Boy Sembiring et al. Ibid., hlm. 27

[iv] https://mfachryss.medium.com/ekonomi-alternatif-88419ba29a76 (diakses pada 26 Juli 2021)

[v] Boy Sembiring et al., op. cit., hlm. 31

[vi] Boy Sembiring et al., Ibid., hlm. 32

[vii] https://mediaindonesia.com/humaniora/354102/tiga-pencapaian-presiden-joko-widodo-di-bidang-lingkungan-hidup (diakses pada 26 Juli 2021)

[viii] KPA, Catahu 2020 Edisi I: Laporan Konflik Agraria di Masa Pandemi dan Krisis Ekonomi, (Jakarta, 2020), hlm. 3–5

[ix] https://kemenperin.go.id/artikel/21922/Sektor-Industri-Masih-Jadi-Andalan-PDB-Nasional (diakses pada 27 Juli 2021)

[x] KPA, op. cit., hlm. 10

[xi] David Harvey, Imperialisme Baru: Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer, (Jakarta: IGJ dan Resist Book, 2010), hlm. 100

[xii] David Harvey, Ibid., hlm. 98

[xiii] Andrew Herod, “Spatial Fix”, The Wiley Blackwell Encyclopedia of Urban and Regional Studies, Anthony Orum Ed., (John Wiley & Sons, 2019), hlm. 1

[xiv] https://krisisiklim.com/apa/ (diakses pada 28 Juli 2021)

[xv] Direktorat Inventarisasi GRK dan MPV, Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV), (Jakarta: KLHK, 2020)

[xvi] https://bem.fisip.uns.ac.id/2020/06/05/redd-berjalan-kah/ (diakses pada 28 Juli 2021)

[xvii] Naufal Sebastian dan Fajar Firdaus Ed., Catahu 2020: Orkestrasi Perampasan Ruang Hidup, (Semarang: YLBHI-LBH Semarang, 2020), hlm.21–22

[xviii] Ilmi Maulina Dewi dan Khofifah Shinta Mamnukha, “Hidup dalam Kabut Kebakaran Lahan Gambut”, Senarai Ngilu, (Semarang: Walah Unnes, 2021)

[xix] https://ekonomi.bisnis.com/read/20191017/99/1160433/produksi-minyak-sawit-indonesia-tumbuh-14-persen#:~:text=Berdasarkan%20laporan%20terbaru%20Gabungan%20Pengusaha,sebanyak%2030%2C66%20juta%20ton. (diakses pada 28 Juli 2021)

[xx] Penggalan kalimat ini saya pinjam dari Graeme Wynn dalam artikelnya, “Framing an Ecology of Hope”, Environmental History, Vol. 25 №1, hlm. 2

--

--