Platform Cooperative : Startup Digital Rasa Koperasi

Gimana kalau Tokopedia dimiliki oleh para penjual dan pembelinya?

M Sena Luphdika
334455 — Demokrasi Ekonomi?
10 min readJun 23, 2018

--

Acara yang menjadi salah satu titik penting gerakan Platform Cooperativism (sumber: The News)

Pernahkah Anda bayangkan akan seperti apa jika Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee dimiliki bersama oleh orang-orang yang bertransaksi di dalamnya, yaitu para penjual dan pembelinya?

Atau Gojek dan Grab melakukan pengambilan keputusan dengan melibatkan para driver dan konsumennya dalam suatu struktur formal?

Bagaimana jika RuangGuru dimiliki bersama oleh para guru, murid, dan orang tua murid sebagai pihak yang paling sering memanfaatkan platform tersebut?

Ketika suatu platform digital dimiliki dan dikendalikan bersama oleh para pihak yang bertransaksi dan bergantung di dalamnya, ia disebut sebuah Platform Cooperative.

Apa dampak positif dan negatifnya? Kenapa ide Platform Cooperativism bermunculan di seluruh penjuru dunia? Bagaimana perkembangan terbaru dari gerakan ini?

Silahkan tonton video berikut untuk mendapatkan gambaran umum tentang Platform Cooperativism langsung dari penggagasnya, Trebor Scholz.

Video singkat dari penggagas Platform Cooperativism, Trebor Scholz

Bagaimana, sudah cukup terbayang? Jika masih penasaran, monggo dilanjut scroll ke bawah untuk mengikuti penjelasan yang lebih detail dari saya :D.

Apa itu Platform?

Sangeet Paul Choudary, penulis buku Platform Revolution dan Platform Scale, mendefinisikan platform sebagai berikut:

sumber: Platformed.info

Intinya, platform adalah model bisnis yang tujuan utamanya adalah mempertemukan produsen dengan konsumen dan memfasilitasi transaksi antar keduanya.

Bill Gates sebenarnya punya standar yang lebih tinggi terhadap platform, The Bill Gates Line, tetapi untuk mempermudah pembahasan, kita abaikan dulu.

Bentuk paling sederhana dari platform yang dapat kita temui sehari-hari adalah berbagai bentuk pasar (tradisional, mal, supermarket).

Dalam konteks ekonomi digital yang marak saat ini, platform digital adalah bentuk startup yang paling hot.

Lihat saja dalam daftar unicorn dari CNN dan CB Insight di bawah ini, banyak startup yang model bisnisnya adalah platform.

Uber dan Airbnb adalah startup yang paling sering dijadikan sebagai contoh bagaimana membuat platform digital yang sukses. Nilai perusahaannya gila-gilaan (48 Miliar & 29,3 Miliar USD) padahal mereka tidak memiliki aset fisik seperti petahana industri sebelumnya, yakni para perusahaan taksi dan hotel.

Di Indonesia pun startup yang paling besar dan terkenal saat ini adalah para platform seperti Gojek, Grab, Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Traveloka, dan Tiket.

Untuk beberapa tahun ke depan, platform digital tetap akan menjadi primadona. Perhatikan saja di Indonesia ada berapa banyak founder startup yang di dalam presentasinya memuat frasa “mempertemukan x dengan y”.

Apa itu Koperasi?

Krisis ekonomi 2008–2009 menjadi titik puncak dari kegerahan banyak orang terhadap kapitalisme. Banyak orang mulai sadar bahwa perusahaan global akan selalu mengutamakan profit daripada karyawan, komunitas sekitar, maupun dampak lingkungan.

Kegerahan ini diperparah dengan masalah terbesar abad ini, kesenjangan ekonomi, yang semakin menjadi-jadi. Situasi ini membuat orang-orang bertanya, adakah sistem ekonomi yang lebih baik dari yang sekarang?

Jawabnya: ADA. Bagi masyarakat Indonesia seharusnya ini bukan hal yang aneh, karena jawaban ini ada dalam konstitusi negaranya.

Koperasi adalah jawaban dari carut marut dan kesenjangan ekonomi yang ada kini. Sistem ekonomi yang telah dimiliki Indonesia sejak dulu kala dan tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.

Menurut International Co-operative Alliance (ICA), koperasi adalah:

people-centred enterprises owned and run by and for their members to realise their common dreams

Frasa yang merupakan inti dari koperasi adalah “owned and run by and for their members”, dimiliki dan dikelola oleh dan untuk anggotanya. Dua kata kunci tersebut menjadikan koperasi sebagai realisasi nyata demokrasi ekonomi.

Konsekuensi dari kepemilikan yang demokratis adalah usaha tersebut dimiliki oleh banyak orang, bukan hanya sekelompok pemodal. Artinya, surplus usaha (profit) akan dibagikan kepada banyak orang, bukan hanya segelintir orang.

Konsekuensi dari pengelolaan yang demokratis adalah penentuan keputusan berbasis 1 orang 1 suara. Format ini mencegah kepentingan sebagian kecil orang mengalahkan mayoritas orang.

Tujuh prinsip koperasi dari ICA (sumber: Willy Street Co-op)

Di seluruh dunia koperasi sedang mengalami kebangkitan kembali. Momen kebangkitan ini diakselerasi dengan masuknya elemen teknologi dalam bentuk platform cooperative.

Platform + Koperasi = ?

Kalau dua kata di atas digabungkan maka akan didapatkan platform cooperative (disingkat platform co-op), sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Trebor Scholz, seorang Asisten Profesor di New Scool University New York.

A platform co-op is a digital platform that is collectively owned and governed by the people who depend on and participate in it — Shareable

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, startup digital dalam bentuk platform adalah hal yang biasa. Tetapi akan menjadi tidak biasa jika prinsip-prinsip koperasi dimasukkan ke dalamnya.

Dalam sebuah platform co-op, seluruh pihak yang terlibat di dalamnya menjadi pemilik dan pengelolanya secara bersama-sama. Pegawai, pengguna, produsen, dan konsumen tidak hanya mempunyai “rasa” kepemilikan, tapi benar-benar menjadi pemilik sah.

Sebagai pemilik, mereka bisa menentukan keputusan perusahaan dan mendapatkan bagian dari profit. Coba bandingkan dengan platform-platform yang ada sekarang. Apakah mereka berbagi keuntungan dengan para mitra atau user-nya? Apakah mitra atau user dilibatkan dalam pengambilan keputusan secara struktural?

Platform co-op memang terdengar utopis dan naif. Kenapa harus berbagi dengan orang-orang yang tidak ikut membuat platformnya? Siapa investor yang mau kalau kepemilikan dibagi-bagi?

Anehnya, sudah banyak contoh sukses yang bisa dijadikan inspirasi. Ada Stocksy, Loconomics, Fairmondo, dan Modo.

Stocksy adalah website yang menjual stock photo & video berkualitas tinggi. Pemiliknya adalah para founder, pekerja, dan fotografer & videografer yang karyanya dijual pada platform Stocksy. Diluncurkan pada tahun 2013, kini sudah ada hampir 1000 anggota yang bergabung dengan total omzet tahun 2017 senilai lebih dari 10 juta USD.

Logo Stocksy United

Loconomics adalah platform yang menghubungkan antara penyedia jasa profesional — juru pijat, tutor, tukang, fotografer, hairstylist, dan masih banyak lagi — dengan orang yang membutuhkan jasanya. Ia dimiliki bersama oleh para penyedia jasa, pekerja, kontraktor, koperasi pekerja, LSM, dan rekan lisensi. Para founder-nya ingin membangun usaha bersama yang lebih berkeadilan dibandingkan platform yang ada saat ini.

Fairmondo adalah online marketplace (seperti Tokopedia atau Amazon) yang dimiliki bersama oleh lebih dari 2000 anggotanya. Para anggota tersebut telah berkontribusi lebih dari 600.000 Euro dalam mengembangkan koperasi ini. Platform co-op yang lahir di Jerman pada tahun 2012 ini memiliki komitmen yang kuat untuk membangun ekonomi yang lebih merata.

Modo adalah sebuah koperasi carsharing yang lahir di kota Vancouver Kanada 21 tahun yang lalu. Ia dimiliki bersama oleh lebih dari 20.000 anggotanya yang tersebar di berbagai kota. Para anggota dapat menggunakan lebih dari 600 mobil untuk jangka waktu tertentu dengan harga yang jauh lebih terjangkau daripada memiliki mobil sendiri. Perawatan, cuci mobil, biaya garasi, semua ditanggung oleh Modo sehingga anggota hanya tinggal memakai mobil saja tanpa perlu pusing hal lain-lain.

Video perayaan 21 tahun Modo

Mereka adalah bukti bahwa ada alternatif yang lebih baik daripada platform capitalism.

Platform Cooperativism vs Platform Capitalism

Apalagi itu platform capitalism? Intinya platform capitalism itu sederhana, Broker Online.

Segala macam platform digital yang ada dan populer saat ini, jika mitra atau penggunanya tidak menjadi pemilik atau keterlibatan yang terstruktur, ya dia adalah bagian dari platform capitalism.

Para platform capitalist ini memang hebat dan berdampak besar. Tetapi dibalik kehebatan para startup ini tersembunyi banyak masalah. Salah satu masalah utamanya adalah adalah konflik kepentingan antara produsen dengan pemilik platform.

Di seluruh dunia terjadi protes dari produsen atau “mitra” Deliveroo, Foodora, Uber, Amazon Mechanical Turk, Handy, dan Instacart (link1, link2, link3, link4, link5). Isi tuntutannya hampir selalu sama, ingin mendapatkan kehidupan yang lebih layak karena mereka merasa pemilik platform sudah berlaku tidak adil atau bahkan tidak manusiawi.

Di Indonesia sendiri konflik kepentingan ini contohnya adalah demo berjilid-jilid dari para driver ojol.

Penyebab utama dari konflik kepentingan ini adalah terlalu besarnya kekuatan dari pemilik platform dibandingkan dengan produsen.

Produsen adalah penghasil value utama di dalam platform, tetapi ia tidak memiliki kontrol atas platformnya. Mereka tidak punya posisi yang jelas, sehingga ketika permintaan mereka tidak didengar ya demo menjadi solusi.

Bagaimana cara mengatasi ketidakseimbangan ini? Salah satu solusinya bisa melalui adaptasi prinsip Mitbestimmung (co-determination) dari Jerman dengan memberikan kursi untuk perwakilan pihak mitra dalam jajaran komisaris perusahaan.

Sayangnya, cara tersebut hanya mewujudkan demokrasi politik di dalam perusahaan, belum sampai kepada demokrasi ekonomi. Mitra mungkin bisa terlibat dalam pengambilan keputusan, tetapi apakah mereka mendapatkan bagian dari surplus/profit?

Adakah solusi yang lebih jangka panjang? Ada, yaitu platform co-op. Platform co-op muncul sebagai antitesis dari platform capitalism yang merajalela dengan Uber-uber dan Airbnb-airbnb di berbagai negara.

Silahkan buka platform.coop untuk informasi lebih lanjut

Trebor Scholz dan rekannya, Nathan Schenider, mengangkat isu Platform Cooperativism karena mereka melihat bahwa pengaruh dari platform ini begitu besar sedangkan kendali dari user begitu kecil. Posisi yang tidak seimbang ini menimbulkan berbagai masalah dan memperparah kesenjangan ekonomi di berbagai penjuru dunia.

Konsumen adalah Raja yang Dimanja

Platform cooperativism lahir karena para penggagasnya melihat bahwa apa yang disebut gig economy (pekerja lepas berbasis online) melahirkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Sayangnya, publik tidak sadar karena ia dibalut dengan berbagai “pemanis” yang mengerdilkan dampak negatif yang ada.

Apa salah satu contoh “pemanis” yang dimaksud? Mudah saja, yaitu istilah sharing economy. Para perusahaan platform ini mendaulat diri mereka sebagai bagian dari sharing economy, sebuah istilah yang membuat mereka terlihat baik dan mulia karena mendorong sharing, berbagi.

Kata-kata manis tersebut melenakan para konsumen. Belum lagi harga murah yang tentu membuat konsumen kegirangan. Tak heran ketika para mitra mengungkapkan keinginan mereka dalam bentuk demo, justru para konsumen membela platform, bukan para mitra.

Masih mending dikasih kerjaan, kalau ga suka ya tinggal keluar — (mayoritas komentar netizen)

Mereka demo karena saat ini mereka tidak punya posisi yang jelas dalam struktur pengambilan keputusan. Kalau jadi platform co-op barulah suara mereka bisa dianggap. Kalau tidak, ya ketidakpuasan mereka hanya bisa diungkapkan dengan dua cara, yaitu demo atau keluar.

Kedua pilihan tersebut adalah hal yang sama-sama sulit. Memilih jalur manapun, mau tidak mau jalur pencarian nafkah mereka harus terhenti sementara. Mereka terperangkap dalam dilema buah simalakama.

Apakah memang ini opsi terakhir yang ada? Tentu tidak. Apa cara untuk membuat para pihak yang memberikan value terbesar dalam satu platform timbal balik yang juga besar? Platform co-op.

Celah Platform Co-Op di Indonesia

Setelah memahami platform co-op sebagai koperasi gaya baru, tentu lebih afdol kalau kita coba terapkan cara ini di Indonesia.

Cara yang paling menarik tentu adalah konversi platform yang ada saat ini menjadi platform co-op.

Tetapi cara ini hampir tidak mungkin kalau terjadi secara sukarela. Jadi abaikan saja, haha.

Supaya bisa dianalisis dengan lebih mudah, saya pisahkan antara kebutuhan masyarakat desa dengan kota.

Desa
Bagi masyarakat desa, pekerjaan utama mereka pasti tidak akan jauh dari pertanian dan peternakan. Karena itu hal yang paling dibutuhkan adalah sebuah platform co-op dalam bentuk koperasi agrikultur.

Koperasi agrikultur ini memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai marketing hasil panen dan supplier alat serta bahan yang diperlukan untuk produksi.

Koperasi agrikultur terbesar di dunia, Zen-Noh

Koperasi agrikultur ini nantinya akan dimiliki dan diatur oleh para petani dan pelanggannya. Petani senang karena bisa fokus ke produksi dan harganya bagus, pelanggan senang karena kualitas baik tapi harga tetap murah. Bahkan tengkulak bisa-bisa saja bergabung di dalamnya sebagai pemodal. Tengkulak dibantu menyalurkan modalnya secara lebih adil kepada petani.

Sebenarnya koperasi agrikultur ini dahulu di Indonesia sudah ada, namanya KUD. Tapi ia tidak berhasil karena tidak dibangun dari bawah. Posisinya dalam memakmurkan masyarakat desa saat ini digantikan oleh BUMDes.

Saat ini di Indonesia sudah ada beberapa platform yang mendekati konsep tersebut, seperti Limakilo dan Tanihub. Tapi ya seperti yang sudah dijelaskan di atas, mereka bukan platform co-op, karena belum ada keterlibatan secara struktural petani dalam kepemilikan dan penentuan keputusan di dalamnya.

Kota
Untuk masyarakat kota, ada dua hal yang menjadi celah:
1. Kebutuhan akan penghidupan yang layak bagi kalangan miskin kota.
2. Kebutuhan kelas menengah akan bantuan dalam mengurus rumah karena waktu yang terbatas.

Kombinasi dari dua situasi tersebut menjadi kesempatan yang tepat untuk membangun platform co-op dalam bidang pekerjaan on-demand seperti reparasi elektronik, cleaning service, tukang ledeng, sopir, dan lain-lain.

Atau bisa juga dibuat platform co-op untuk pekerja kreatif, terutama freelancer. Di kehidupan kota banyak sekali pekerja kreatif yang membutuhkan dukungan layanan back-office. Layanan yang disediakan adalah administrasi, dukungan finansial, legal, dan juga marketing.

Referensi platform co-op untuk pekerja lepas, SMart di Eropa

Di Indonesia konsep platform co-op memang belum populer. Tetapi, hal ini tidak menghalangi sekumpulan pemuda kooperator di Purwokerto untuk merintis sebuah platform co-op bernama Pedi Solution yang diinkubasi oleh Kopkun Institute.

Pedi Solution adalah perintis platform co-op di Indonesia. Tenang saja, masih banyak bidang yang bisa dijadikan platform co-op di negara kita ini, jangan takut kehabisan. Nah, Platform co-op apa yang menurut Anda menarik untuk dibuat di Indonesia?

Ketika kita membangun sebuah pasar, siapa pihak yang paling terkena dampaknya jika terjadi sesuatu dengan pasar tersebut? Pengelola, pedagang, atau pelanggan? Tentu para pedagang dan pelanggan yang akan kalang kabut.

Karena itu, tentu akan lebih baik jika pasar tersebut melibatkan para pedagang dan pelanggannya dalam kepemilikan dan pengambilan keputusan. Merekalah yang paling berkepentingan.

Inilah yang gerakan platform cooperativism perjuangkan, yaitu demokratisasi kepemilikan dan pengelolaan usaha yang sejalan dengan perkembangan zaman. Supaya kemajuan teknologi bisa mewujudkan kesejahteraan bersama, bukan hanya segelintir elit di atas sana.

--

--