Urgensi Demokrasi Ekonomi: Pandemi, Dinasti, dan Korupsi

Refleksi 2020 dan persiapan 2021

M Sena Luphdika
334455 — Demokrasi Ekonomi?
11 min readJan 2, 2021

--

Kalau kawan-kawan mengikuti berita dan obrolan netizen tentang Pilkada tahun ini, justru yang akan menonjol adalah bahasan tentang golput dan betapa kreatifnya warga +62 dalam menunjukkan kegolputannya.

Salah satu utas Twitter terlengkap

Sebenarnya fenomena golput sudah terjadi di tahun-tahun lalu. Namun, yang berbeda di tahun ini adalah intensitas serta tanggapan yang berbeda dari publik. Pada Pemilu 2019, golput masih dianggap tabu dan buruk. Di Pemilu 2020, justru banyak warga negara yang dengan sadar memilih golput sebagai bentuk protes.

Memaksa menggelar Pilkada di tengah pandemi — yang tidak ditangani dengan baik — menunjukkan di mana letak prioritas para pemegang kekuasaan. Ditambah lagi dengan ditangkapnya 2 menteri oleh KPK dalam waktu berdekatan, semakin membuat masyarakat mempertanyakan kemampuan dan kemauan pemerintah.

Apa yang salah?

Sudah 75 tahun kita merdeka dan 22 tahun pasca reformasi. Kenapa zamrud khatulistiwa yang kaya ini belum bisa memberi kesejahteraan bagi semua?

Kenapa setelah sekian generasi Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati, serta anggota DPR dan DPRD yang kita pilih sendiri, tidak ada pengaruh signifikan pada kemakmuran rakyat banyak?

Pandemi, Dinasti, dan Korupsi

Pandemi ini sebenarnya membantu kita melihat lebih jelas bobroknya sistem yang ada. Rakyat semakin menyadari bahwa kita hanya dianggap setiap 5 tahun sekali. Di luar masa tersebut ya urus diri masing-masing.

Ungkapan yang sangat pas dengan situasi kita kini

Menteri Kesehatan dan berbagai elemen pemerintahan tidak mampu mengatasi wabah secara baik dan benar. Padahal sudah jelas anggaran, kekuasaan, kekuatan, sumber daya, semua ada di pemerintah.

  1. Vaksin yang seharusnya dijamin untuk semua malah dibisniskan demi BUMN Farmasi. Setelah ada tekanan dari masyarakat baru dibuat gratis
  2. Penegakan hukum atas kerumunan massa tidak konsisten. Itu pun menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan yang jelas-jelas tidak ada konsekuensi pidananya untuk PSBB
  3. Puluhan rumah sakit menyatakan dirinya penuh, namun masih saja tidak ada sense of crisis. Mungkin salah satu penyebabnya adalah karena penggunaan statistik yang meninabobokan
  4. Tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat selama pandemi tapi malah menunggangi inisiatif #RakyatBantuRakyat yang lahir organik dengan memberikan penghargaan ala-ala. Ya jelas ditolak mentah-mentah
Salut atas pernyataan sikap dari Solidaritas Pangan Jogja

Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi pandemi ini sudah bukan rahasia lagi. Daftar lengkapnya ada di tulisan saya sebelumnya mengenai UBI

Itu pun masih ga ada malunya dengan (terus) menyalahkan warga atas COVID yang tak kunjung reda.

Siap, kami yang salah.

Salah satu hal terkonyol yang sepenuhnya ada di kekuasaan pemerintah dan jelas-jelas akan memperparah wabah adalah pemaksaan Pilkada. Berulang kali telah diingatkan oleh berbagai pihak namun tetap saja bandel.

Setelah Pilkada lewat pun masih denial terhadap klaster Covid karena Pilkada. Tapi nyatanya data berkata lain, sudah jelas terdapat minimal 3 klaster yang muncul karena Pilkada. Bahkan positifnya swab Ketua KPU Tangsel pun baru diumumkan setelah coblosan hanya demi memenuhi target partisipasi masyarakat.

Apa yang bisa menjustifikasi pengorbanan hak sehat dan hak hidup warga negara demi hak suara dalam Pilkada?

Nafsu akan kekuasaan? Si Raja Tega…

Siapa yang baca judul videonya sambil nyanyi?

Nafsu atas kekuasaan ini bukan alasan yang mengada-ada. Pilkada tahun ini begitu sarat semangat kedinastian:

Bukan apa-apa, politik dinasti begini rawan sifat-sifat yang oligarkis dan koruptif. Ketika kekuasaan dipegang oleh segelintir kelompok — atau bahkan keluarga tertentu — maka kekayaan juga akan berputar di antara mereka saja.

Padahal tanpa kedinastian pun moral pejabat kita sudah amburadul. Bisa-bisanya 2 pembantu presiden melakukan korupsi di tengah pandemi. Apalagi yang kasus Mensos, dia benar-benar nyomot dari bansos untuk rakyat.

Level kebiadaban Juliari Batubara tidak berhenti sampai di situ. Ada dugaan kuat uang haram ini mengalir ke pemenangan Pilkada di beberapa daerah.

Kenapa koruptor tidak pernah kapok? Apakah salah satunya karena sistem peradilan dan pemasyarakatan kita yang lembek?

Kebobrokan ini diperparah dengan revisi UU KPK yang penuh polemik.

Kenapa kami bilang masalahnya di moral? Karena banyak hal-hal yang tidak melanggar hukum namun menandakan bahwa kelas penguasa di Indonesia cenderung rakus dan tidak beretika, seperti:

Sebenarnya dulu politik dinasti sudah dicegah di UU, tetapi setelah digugat oleh Adnan Purichta Ichsan — pada waktu itu selaku anak dari Bupati Gowa aktif yang akan mencalonkan diri — ke MK dan dikabulkan, ya politik dinasti kini hanya sekadar tidak etis, tanpa konsekuensi hukum apapun.

Ini semua saling terkait. Penguasa dan pengusaha saling berbagi kue satu sama lain sedangkan rakyat dibiarkan berebut remah-remah.

Drama-nya sih masing-masing calon membawa rencana memakmurkan masyarakat dengan cara yang terbaik versi dia. Demi mencapai puncak, mereka buat polarisasi di masyarakat. Di akar rumput keluarga terpecah-belah, tetapi di atas ternyata semua rekan sejawat.

Lawan di Pilpres 2019 masuk ke pemerintahan. Tahu gitu kenapa ga suit aja sih daripada ngabisin biaya triliunan dan mengorbankan banyak nyawa?

Ilustrasi yang menohok tapi nyata dari gumpnhell

Urgensi Demokrasi Ekonomi

Selain karena biaya pemilu yang mahal minta ampun:

Akar masalah dari kekacrutan ini adalah Demokrasi yang semu. Demokrasi Politik yang telah kita lakukan masih belum cukup. Demokrasi yang sejati hanya akan hadir jika ekonominya juga demokratis.

Dari buku Demokrasi Kita, Bung Hatta (1960). Sumber foto: IG Gapatma

Karena kalau tidak, ya oligarki yang berkuasa. Pemegang kuasa dan pemilik uang berkelindan dan saling membantu untuk memperkaya diri mereka yang sebenarnya sudah makmur. Meninggalkan rakyatnya mengais-ngais dan berharap belas kasihan dari hartawan yang dermawan.

Dengan situasi kemiskinan dan kesenjangan yang tak kunjung membaik, tidak heran kalau politik uang masih subur. Rakyat diberikan janji-janji manis kampanye belaka. Kecewa tentu iya, tapi entah mengapa rakyat juga nyatanya pemaaf dan pelupa. Lingkaran setan ini jadi tak ada hentinya.

Padahal Demokrasi Ekonomi itu amanat konstitusi dan Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 yang lahir di masa reformasi. Tapi hingga kini implementasi nyatanya masih NOL BESAR. Realisasi sistem ekonomi kita justru semakin menjauh dari nilai-nilai yang ditanamkan pada UUD 1945.

Mungkin kawan-kawan merasa istilah Demokrasi Ekonomi ini terlalu ngawang ya. Wajar sih, kapan coba kita pernah diajari tentang itu? Para ahli pun diajak ketemu seminar bareng saja belum tentu sepakat.

Redaksi Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 juga tidak membantu:

“…Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional…”

Sekilas terkesan bahwa definisinya gamblang. Tapi kalau boleh jujur, semua kata-kata setelah “demokrasi ekonomi” itu cuma pepesan kosong. Ia hanya sederetan kata-kata indah yang justru mengaburkan makna sebenarnya dari Demokrasi Ekonomi.

Jika menilik sejarahnya, hal ini bisa dimaklumi karena ayat 4 dan 5 Pasal 33 adalah hasil amandemen ke-4 di tahun 2002. Proses diskusinya sendiri disinyalir alot antara pendukung vs penentang liberalisme ekonomi.

Kesimpangsiuran ini diperparah dengan dicabutnya Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 sedangkan isinya sangat krusial:

Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Kalau kawan-kawan penasaran dari mana asal-muasal istilah ter-klise koperasi adalah sokoguru perekonomian, mungkin paragraf di atas bisa menjadi jawaban.

Apa Efeknya kalau Ekonominya Demokratis?

Masih ragu kalau Demokrasi Ekonomi melalui Koperasi-lah yang bisa mewujudkan sila ke-5 Pancasila? Baik, mari kita belajar dari 2 daerah yang telah menjalankannya terlebih dahulu: Basque Country di Spanyol dan Emilia-Romagna di Italia.

Basque Country

Basque Country (BC) adalah satu provinsi di Spanyol yang menjadi rujukan internasional dalam membangun sistem ekonomi yang berteknologi tinggi, produktif, kompetitif, namun tetap berkelanjutan dan lebih merata. Ia juga dikenal sebagai markas dari Koperasi Pekerja terbesar di dunia: Mondragon.

Mondragon merupakan satu konglomerasi koperasi yang terdiri dari 96 koperasi dan 141 anak perusahaan, 14 pusat penelitian, serta lebih dari 81.000 pekerja. Konglomerasi ini bukan kaleng-kaleng. Ia bergerak di 4 bidang usaha, yaitu Keuangan, Industri, Distribusi, dan Pendidikan.

Mondragon punya bank sendiri, asuransi sendiri, supermarket sendiri, universitas sendiri, bahkan pabrik sendiri. Asyiknya lagi, semua itu dimiliki bersama oleh para pekerja di Mondragon, bukan investor antah-berantah.

Mendengar kata Koperasi Pekerja kawan-kawan mungkin bertanya-tanya:
“Apa istimewanya? Di Indonesia juga banyak, kan? Tiap kantor ada tuh.

Sekilas perbedaan Koperasi Pekerja dan Koperasi Karyawan

Bentuk koperasi yang kita kenal sebagai Kopkar di Indonesia itu berbeda dengan Koperasi Pekerja (worker coop) yang dimaksudkan di sini.

Pada Kopkar selalu ada 2 entitas, yaitu a) perusahaan “induk” yang berbentuk PT dan b) koperasi yang didirikan oleh karyawan dari PT tersebut. Artinya, anggota sekaligus pemilik dari Kopkar bukanlah pegawai Kopkar itu sendiri, melainkan pegawai dari perusahaan “induk”.

Contohnya adalah Koperasi Astra dan Koperasi Telkomsel. Di situs web masing-masing koperasi terpampang jelas bahwa anggotanya adalah karyawan tetap dari perusahaan “induk”.

Koperasi Pekerja memang barang aneh kalau di Indonesia. Tapi kalau kita pahami manfaatnya, seharusnya ini worth it untuk kita wujudkan.

Berbagai kebijakan yang terkesan idealis dan mengutamakan pekerja — karena mereka adalah pemilik — bukanlah mimpi belaka di Mondragon:

Perusahaan yang dimiliki oleh para pekerjanya ini sangat kuat dalam menghadapi krisis. Baik krisis finansial 2008 maupun krisis karena pandemi di 2020 berhasil mereka hadapi bersama. Solusi yang para pekerja ambil bukan PHK seperti kebanyakan perusahaan kapitalis, tapi jauh lebih keren.

Dengan budaya koperasi yang kuat, besarnya Mondragon, dan solidaritas yang tinggi, tentu tidak aneh kalau Basque Country menikmati:

Dokumenter yang komprehensif mengenai Mondragon Coop

Emilia-Romagna

Emilia-Romagna (ER) adalah sebuah provinsi di Italia yang disebut sebagai salah satu daerah dengan Ekonomi Koperasi terpadat di dunia. Gelar ini wajar ia dapatkan karena 1/7 dari warganya bekerja di koperasi pekerja, 2/3 dari penduduknya adalah anggota koperasi, dan koperasi menyumbang 30% Produk Domestik Bruto (PDB).

Situasi ini bisa terwujud karena dukungan pemerintah dan regulasi. Pasal 45 UUD Italia mengakui semangat dan manfaat koperasi secara gamblang. Lalu ada 3 regulasi yang saling terkait untuk membantu ketersediaan modal gerakan koperasi. Salah satunya adalah kebijakan bahwa 3% dari SHU koperasi harus masuk ke lembaga pengelola dana bergulir milik bersama.

Tidak hanya permodalannya yang inovatif, di Italia juga dikenal bentuk koperasi yang jarang ada, yaitu social coop (koperasi sosial). Bentuk koperasi ini telah diakui secara legal dan mendapatkan insentif dari pemerintah.

Social coop adalah koperasi yang mengutamakan manfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat yang termarjinalkan. Ada 2 tipe social coop, yaitu Tipe A yang menyediakan layanan sosial, kesehatan, pendidikan, dan rekreasional serta Tipe B yang menyediakan pelatihan dan lapangan kerja bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung.

Di ER, social coop adalah denyut nadi utama. Apalagi di Bologna, ibukota ER, lebih dari 85% layanan sosial di kota ini diselenggarakan oleh social coop.

Dengan ekosistem koperasi yang matang, saling mendukung, serta layanan sosial yang mumpuni, tidak heran kalau Emilia-Romagna menikmati:

European Commission pun mengakui ER sebagai salah satu daerah terdepan di Eropa dalam hal kewirausahaan, inovasi, dan dinamisme ekonomi.

Satu hal yang menarik adalah meski Basque Country dan Emilia-Romagna sama-sama menjadi contoh nyata demokratisasi ekonomi, tapi mereka mengambil jalur yang berbeda. BC lebih bergaya sentralisasi dengan Mondragon sebagai jangkar, sedangkan ER lebih desentralisasi dengan puluhan ribu koperasi yang independen namun berjejaring.

Demokrasi kok di Ekonomi? Aneh ah

Kenapa kami yakin betul Demokrasi Ekonomi ini kuncinya?

Ya karena selama 75 tahun Indonesia merdeka, Demokrasi Ekonomi belum pernah benar-benar menunjukkan taringnya. Jadi tidak adil kalau kita bilang Demokrasi Ekonomi adalah sistem yang gagal. Lha dicoba saja belum.

Selama 27 tahun saya hidup di bumi Indonesia ini, hampir semua kebijakan yang lahir belum pernah menyerang inti dari kebusukan dan ketimpangan ini semua, yaitu KEPEMILIKAN.

Demokratisasi kepemilikan adalah titik ungkit yang diabaikan oleh ribuan ekonom di seluruh penjuru bumi. Bahkan organisasi sekelas World Economic Forum pun tidak menyentuhnya, mereka mentok di stakeholder capitalism.

Begitu pun 100 ekonom Indonesia dalam buku yang diterbitkan oleh INDEF pada tahun 2016 ini:

Di buku ini tidak ada satu ekonom pun yang melirik Koperasi, Demokrasi Ekonomi, atau Kepemilikan sebagai fokus sumbang saran. Koperasi disebut hanya dalam hitungan jari, itu pun selalu bersandingan dengan UMKM dalam program-program “belas-kasihan” pemerintah.

Mau ribuan kali pemilu Presidan dan Kepala Daerah, tapi kalau kepemilikan terhadap pos-pos penting yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak didistribusikan dengan lebih merata, ya begini-begini saja bangsa kita.

Seru ga sih ngebayangin kalau pekerja memiliki perusahaannya? Rumah sakit dimiliki oleh para pasiennya? Siswa, guru, dan orang tua menjadi pemilik dari sekolahnya? BUMN dimiliki oleh para konsumennya? Kampus dimiliki oleh para mahasiswa dan dosennya? Gojek dan Grab dimiliki oleh para driver-nya? Bank dimiliki oleh para nasabahnya? Supermarket dimiliki bersama oleh konsumen dan karyawannya?

Mari koperasikan BUMN! Sumber: Podcast Gapatma

Mungkin saat ini terasa aneh, tapi di berbagai penjuru bumi hal tersebut sudah terwujud. Dulu juga usulan kerja 8 jam sehari 5 hari seminggu dianggap utopis dan tidak mungkin. Kerja 12–14 jam sehari 6 hari seminggu adalah hal yang biasa. Tapi dengan perjuangan para buruh, apa yang dianggap normal pun berubah.

Pemilik adalah ultimate beneficiary, penerima manfaat akhir. Mereka adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas apa yang organisasi lakukan. Sudah sewajarnya revolusi kepemilikan kita lancarkan.

Owning class — kelas pemilik selalu menjadi penguasa. Demokratisasi kepemilikan adalah kunci menjatuhkan mereka. Tentu melalui Koperasi supaya 1 orang 1 suara, bukan 1 rupiah 1 suara.

Bagaimana, sudah mulai tergoda dengan Demokrasi Ekonomi?

Langkah pertama untuk membangun ekonomi yang lebih baik bagi semua adalah belajar dan berjejaring bersama.

Inilah yang kami sedang lakukan di Gapatma — Demokrasi Ekonomi? melalui berbagai diskusi daring, upload rekaman diskusi ke Youtube dan Spotify, layar tancep daring, rekomendasi konten, serta komunitas diskusi.

Jalur komunikasi utama kami saat ini adalah Instagram. Mari follow yaa

Demokrasi Ekonomi harus segera di-mainstream-kan supaya lebih banyak orang sadar di mana salahnya tatanan Indonesia kini.

Kami yakin kawan-kawan sudah lama menyimpan rasa amarah dan frustasi. Banyak yang sudah melihat dan merasa bahwa sistem kita saat ini salah, tetapi belum tahu seperti apa sistem yang lebih baiknya.

Kami sodorkan ide yang tertidur lama, Demokrasi Ekonomi melalui Koperasi. Mari kita bangkitkan bersama supaya meme berikut hilang tanda bintangnya:

Saking keselnya sampe typo dia

--

--