209. Sakit Hati yang Nyata

Adelaida Czar
5 min readMay 21, 2024

“Aku seneng banget loh bisa ketemu kamu di sini,” ujar Pasha. Dia duduk di hadapan Ami seraya menatap Ami dan tersenyum sehingga memperlihatkan lesung pipinya. “Ami kenapa jalan sendirian?” tanyanya kemudian.

Ami menjawab, “Suka aja. Lagian aku udah biasa sendirian, Kak. Hehe.”

“Kenapa tuh? Seru, ya?”

Ami mengangguk, “Seru sama bebas. Nggak ada yang ngatur.”

“Berarti aku ngeganggu kamu nggak nih? Soalnya kamu jadi nggak sendirian. Jadi nggak bebas dong.”

Ami menggeleng pelan. “Kalau Kak Pasha sih nggak masalah. Serius.”

“Kenapa hayo? Kalau kamu ngasih aku good sign kayak gini aku bisa nembak kamu lagi loh. Kamu mau aku tembak ulang? Aku nggak masalah kok sama apapun jawabannya. If you say yes, I’ll stay. But if your answer is no, then I’m leaving.

Ami terhenyak. Seketika mulutnya tidak berani berkata-kata. Dia diam menatap Pasha yang tersenyum tipis menyembunyikan luka.

Sorry,” ujar Pasha kemudian. “I just … I just …

Pasha tiba-tiba kesulitan bicara. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum hangat kepada Ami. Di saat seperti inipun dia masih menjadi orang baik.

“Ami,” panggil Pasha. “Kamu tahu nggak apa yang aku pikirin tadi pas makan sendirian? Do you know what I was thinking?

Ami menggelengkan kepala.

I was thinking of you,” kata Pasha. “Makanya aku seneng banget pas ngelihat kamu di sekitar sini. Looks like it’s time to understand you.” Senyum Pasha masih mengembang.

Setelah banyak diam, Ami mencoba bicara, “K — kak — ”

Pasha justru memotong kalimatnya, “I know.

Ami pun diam lagi. Apa maksudnya?

Pasha berkata, “Kamu tadi ngelihat aku duluan, Ami. Aku lihat kamu lewat depan restoran pizza. Did you just ignore me?

Ami kembali terhenyak. Pasha ternyata tahu. Untuk memperbaiki kesalahpahaman, Ami ingin segera menjelaskan.

Ami menjelaskan dengan panik dan terburu-buru, “Kak, aku punya alasan. Aku bukannya nggak mau ketemu Kak Pasha — ”

Pasha kembali menyela. Sambil meletakan jari telunjuk di bibir, Pasha meminta Ami diam, “Ssttt —

Ami bersikeras ingin menjelaskan karena khawatir Pasha salah paham. “ — alesannya tuh Kak Pasha nggak bakal percaya. Aku — ”

Pasha terus menyela dan kali ini dengan nada suara yang lebih tinggi, “Hey, hey, hey! Wait! Ami, listen!”

Ami akhirnya menuruti Pasha untuk diam.

“Inhale, exhale,” Pasha memberi saran.

Ami menurut lagi. Dia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

“Udah tenang?”

Ami mengangguk.

“Oke. Biar kamu nggak kayak orang panik, sekarang dengerin aku dulu, ya?”

Ami mengangguk lagi.

“Aku nggak benci kamu. Aku jujur soal ini. Yang aku pikirin soal kamu tadi adalah, kayaknya sekarang udah saatnya aku ngelepasin kamu dari semua beban yang udah aku kasih ke kamu.”

“Beban apa?” tanya Ami bingung.

“Tentang aku yang minta kamu buat jadi pacar aku,” jawab Pasha. “Mulai sekarang, permintaan itu aku tarik, ya? Sekarang kamu nggak punya tanggungan lagi buat ngasih aku jawaban — soalnya aku udah tahu. Tadi kamu ketemu aku nggak mau nyapa dan sekarang juga kamu nggak mau pesan makanan apapun gara-gara aku bilang ‘udah makan’. Udah jelas sekarang. Aku ditolak.”

Pasha masih tersenyum. Sedangkan Ami sebaliknya. Sepasang mata Ami sudah berkaca.

“Kak!” panggil Ami dengan suaranya yang parau. “Selama ini aku nggak ngasih jawaban soalnya takut bakal nyakitin Kak Pasha.”

“Aku prefer ditolak dari awal ketimbang digantungin, Ami. Jangan nangis, ya? Sekarang semuanya udah selesai,” ujar Pasha yang mendapati kilau di mata Ami. “It’s okay to say no if you don’t want it, Ami. Nggantungin orang justru bisa nimbun luka. Kalau kamu nggak mau, kamu harus berani bilang ‘enggak’. Ini penting demi kamu. Atau masalah kamu nggak akan pernah selesai.”

Air mata yang terbendung akhirnya meloloskan diri lewat sudut mata. Ami menunduk karena tidak ingin wajah menangisnya dilihat Pasha.

Seraya menunduk, Ami berkata, “A-aku min-minta maaf — ”

Pasha mengangguk segera, “Iya. Udah aku maafin. Kamu nggak sepenuhnya salah, Ami. Aku juga salah udah bikin kamu nangis kayak gini. Aku pergi, ya?” Pasha beranjak dari tempat duduk.

“Jangan pergi — ” Ami mengangkat wajahnya dan menatap Pasha dengan wajah yang terbasahi air mata. “Aku masih ngerasa bersalah sama Kak Pasha. Jangan pergi. Aku harus gimana biar bisa nebus kesalahan aku?”

Pasha tersenyum dan berucap ramah, “Don’t be like this. Nanti aku baper lagi. Aku harus jauh dari kamu biar nggak makin suka. Kamu juga tolong bantuin aku biar aku bisa hapusin perasaan aku ke kamu, ya? Aku perlu jaga jarak dari kamu.”

Selanjutnya Ami hanya bisa menangis tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Pasha tetap pergi meninggalkan Ami. Jika membiarkannya pergi termasuk membantunya, maka Ami bersedia menangis di tempat yang sama selamanya.

Pasha tahu dirinya ditolak, tapi kenapa Ami juga ikut terluka? Dada Ami sesak seakan dirinya lah yang baru saja mendapat penolakan. Ini adalah perasaan yang baru pertama kali Ami rasakan. Dia mungkin pernah kehilangan orang, tapi ini pertama kalinya bagi Ami kehilangan seseorang yang mencintainya. Meskipun ini hanya mimpi, tapi rasanya sungguh nyata. Karena ini mimpi, Ami tidak segan-segan menangis keras di muka umum. Lagi pula seluruh dunia akan lupa, pikirnya.

Benar. Ini hanya mimpi. Tangisan Ami seketika berhenti setelah terpikirkan itu. Karena Ami merasakan sakit hati yang nyata, tidak menolak kemungkinan jika Pasha merasakan sakit yang nyata juga, bukan? Ami buru-buru menyeka air mata lalu beranjak dan berlari mencari Pasha — seharusnya belum jauh karena Pasha baru pergi. Begitu menemukannya di trotoar seberang jalan, Ami berteriak memanggil.

“KAK PASHA … !”

Teriakan Ami tak hanya menarik perhatian Pasha, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Ami menunggu kesempatan untuk menyeberang jalan. Untungnya Pasha mau menunggu. Begitu lampu lalu lintas berubah dan kendaraan di jalan raya berhenti, sepasang kaki Ami buru-buru menjamah zebra cross. Ami berlari menghampiri Pasha.

“Aku udah bilang, kan? Tolong jangan begini. Aku takut nggak bisa berhenti sayang sama kamu,” kata Pasha yang memandang Ami masih mengatur napas di hadapannya.

“Kak!” tegas Ami, “Tunggu beberapa hari lagi. Perasaan Kak Pasha ke aku pasti bakal hilang.”

Pasha terdiam heran.

Ami tetap menjelaskan meskipun Pasha tidak akan mengerti. “Kak Pasha suka aku gara-gara aku yang minta. Aku bayar ke Magic Shop biar aku bisa ditaksir beberapa orang dan ternyata Kak Pasha salah satunya. Kak Pasha nggak salah. Sepenuhnya ini salah aku. Biarpun nanti Kak Pasha nggak bakal inget soal ini, tapi beneran … aku … aku … aku minta maaf banget ya, Kak?” Ami menangis lagi. “Maaf udah ngelibatin Kak Pasha. Sakit hati yang aku rasain sekarang kayaknya emang hukuman buat aku. Dan sakit hati yang Kak Pasha rasain itu emang salah aku.”

Wait — what?” Pasha masih bingung. “Ami, aku nggak ngerti — ”

Kali ini Ami yang menyela, “Seperti yang Kak Pasha minta. Aku bakal jaga jarak sampai mimpi ini selesai.”

“M — mimpi?” tanya Pasha yang masih belum mengerti.

“Iya! Ini cuma mimpi! Kak Pasha ada di mimpi aku. Kak Pasha percaya aja, please!

H-how?

Ami merengek dalam tangisnya, “Aku tahu ini konyol, tapi please Kak Pasha percaya aja! Aku nggak bohong!”

“O-oke,” kata Pasha demi menenangkan Ami. Tentu saja dia belum percaya soal mimpi yang dibicarakan Ami.

“Kalau gitu sekarang aku yang pergi. Kak Pasha, Selamat tinggal, ya? Habis mimpi ini selesai kita bakal jadi orang asing yang nggak kenal satu sama lain. Sekali lagi maaf. Bye …,” kata Ami kemudian berbalik memunggungi Pasha. Setelah menyeka air mata dan menarik napas panjang, Ami pun pergi meninggalkan Pasha.[]

--

--

Adelaida Czar
0 Followers

(BTS 𝐒𝐀𝐕𝐄𝐃 𝐌𝐄) • Temukan saya di X : @AdelaidaCzar •