Dirac
2 min readMar 8, 2016

“Untuk saudaraku Febri Bambuena dengan ayam penyetnya”

Seorang Homo Ludens dan Romantisme yang Buta

Sebuah bingkisan mendatangiku tengah malam

Bingkisan yang membungkus seorang lelaki yang menelanjangi seorang lelaki

Sebuah konstruksi yang melepaskan diri dari sejarah

Yang kemudian ia ingkari

Lelaki dengan surat buntung di mulutnya

Surat itu berisi:

Sepiring ayam penyet surabaya yang resah, Disonansi nyanyian HAM dari romantisme yang buta, dan kegagalan tarian postmodernisme dalam permandian tata bahasa

Banyuwangi – surabaya yang menyapa – jogjakarta – entah berantah

Sebuah bangsa di lantai dua yang luka, dan seorang sartreis yang membungkam sabda Nabi Luth pada kaumnya

Bangsa yang pernah ditukar dengan rempah – rempah, bisakah air mengganti udara yang telah mengecat dinding dinding sejarah merah putih menjadi warna pelangi yang kelam? Bisakah matahari menciptakanmu dari anak anak panah yang sama, dan menjemputmu kembali dipagi yang merah? Bagamaimanakah Sodom dan Amora membenamkan akal sehat kedalam Romantisme yang buta?

Tolonglah… kebinatangan ini telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran kita

Malam yang parau dan fragmen puisi yang di curi dari selat sunda

Puisi yang semakin mengembalikan fitrahku, menjadikan manusia semestinya manusia

Sebuah refleksi yang mendekonstruksi kembali kemakhlukan ini, yang semakin menelanjangi dirimu sampai kau berbaju

Beragama, ras, atau bangsa

Yang melihat manusia dari sisi lazimnya manusia yang bukan manusia dalam perangkap kata

Dan kata

Sembari memilah kata

Berikan aku sebuah kata, untuk tidak mengatakan apapun tentang luka yang tumbuh di lantai dua sebuah bangsa