“Untuk saudaraku Febri Bambuena dengan ayam penyetnya”
Seorang Homo Ludens dan Romantisme yang Buta
Sebuah bingkisan mendatangiku tengah malam
Bingkisan yang membungkus seorang lelaki yang menelanjangi seorang lelaki
Sebuah konstruksi yang melepaskan diri dari sejarah
Yang kemudian ia ingkari
Lelaki dengan surat buntung di mulutnya
Surat itu berisi:
Sepiring ayam penyet surabaya yang resah, Disonansi nyanyian HAM dari romantisme yang buta, dan kegagalan tarian postmodernisme dalam permandian tata bahasa
Banyuwangi – surabaya yang menyapa – jogjakarta – entah berantah
Sebuah bangsa di lantai dua yang luka, dan seorang sartreis yang membungkam sabda Nabi Luth pada kaumnya
Bangsa yang pernah ditukar dengan rempah – rempah, bisakah air mengganti udara yang telah mengecat dinding dinding sejarah merah putih menjadi warna pelangi yang kelam? Bisakah matahari menciptakanmu dari anak anak panah yang sama, dan menjemputmu kembali dipagi yang merah? Bagamaimanakah Sodom dan Amora membenamkan akal sehat kedalam Romantisme yang buta?
Tolonglah… kebinatangan ini telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran kita
Malam yang parau dan fragmen puisi yang di curi dari selat sunda
Puisi yang semakin mengembalikan fitrahku, menjadikan manusia semestinya manusia
Sebuah refleksi yang mendekonstruksi kembali kemakhlukan ini, yang semakin menelanjangi dirimu sampai kau berbaju
Beragama, ras, atau bangsa
Yang melihat manusia dari sisi lazimnya manusia yang bukan manusia dalam perangkap kata
Dan kata
Sembari memilah kata
Berikan aku sebuah kata, untuk tidak mengatakan apapun tentang luka yang tumbuh di lantai dua sebuah bangsa