Mutualism

Almatiar
4 min readJun 6, 2023

--

From Arjuna Mencari Cinta by Almatiar

Laras mengetuk-ngetuk jari jemarinya di atas keyboard, tidak ada email yang sedang dibalas, ataupun proposal yang sedang dirangkai, gestur tersebut murni disebabkan karena ia sedang menimbang-nimbang akan waktu yang tepat untuk menghubungi Bu Sandra dan mengabari kalau rencana makan siang bersama Andra, yang ceritanya adalah kekasihnya, harus ditunda, dibatalkan tepatnya, karena Laras sebetulnya tidak tahu bagaimana nasib hubungannya dengan Andra, apakah betul-betul berakhir begitu saja dan mereka kembali menjadi dua orang asing? Atau… mengubur semua pengalaman tempo hari dan bersikap profesional saja? Atau… mulai menjalin hubungan murni sebagai teman?

Memusingkan. Sedikit menyesal bagi Laras untuk terlibat di dalam hubungan aneh ini. Meski demikian, memorinya kembali berkelana pada waktu-waktu yang dihabiskan bersama, tidak begitu banyak, tetapi berhasil meninggalkan kesan bagi sang puan setelah sekian lama menjalani hidup yang monoton. Melirik ke layar laptop di pojok kanan bawah, Laras menghembuskan nafas dengan berat, sudah mendekati pukul 11 siang, sekarang adalah saat yang tepat baginya untuk menghubungi Bu Sandra, sebelum bosnya itu terlanjur berangkat menuju restoran yang telah dipesan.

TOK TOK

Laras dapat melihat dari bayangan di luar pintu kaca kalau yang mengetuk adalah Firman, anak buahnya.

“Iya, Firman, masuk aja.”

“Bu, ada tamu.”

“Hah?” Laras dengan segera membuka aplikasi kalender di laptop, memicingkan kedua matanya untuk memastikan kalau di jam tersebut ia tidak memiliki perjanjian apapun, “saya kayaknya nggak ada appointment atau meeting jam segini?”

“Iya, Bu, ini walk-in tamunya…”

Laras semakin curiga karena Firman tersenyum penuh arti. Nyatanya tak memerlukan waktu lama baginya untuk menemukan jawabannya, karena sosok Andra Mahesa muncul di sebelah Firman.

“Hai, sorry datang mendadak, can we talk?

Laras memberi gestur bagi Firman untuk memberi Andra ruang dan meninggalkan mereka berdua di dalam ruang kerja Laras.

“Mau ngobrol apa?”

“Boleh duduk dulu nggak?” tanya Andra, meskipun tanpa menunggu jawaban dari sang puan, ia tetap menarik kursi yang berada di hadapan Laras.

“Gue baru mau telepon Bu Sandra nih buat cancel, so, just get to the point, Andra.”

“Mau lo cancel? Kenapa? Kita bisa jalan sekarang dan sampai di sana tepat waktu,” balas Andra sembari melirik ke arloji di pergelangan kirinya sejenak.

“Ya gue pikir lo yang mau cancel?? Kan semalem yang minta end this thing siapa?” erang Laras, meskipun dengan nada tertahan, khawatir akan terdengar sampai luar.

“Gue nggak minta end, gue cuma nanya, nawarin lo opsi, karena lo kayaknya udah capek sama kepura-puraan ini, am I right?”

Pertanyaan tersebut dilontarkan Andra dengan nada yang santai, tak ada penekanan, tak ada amarah ataupun emosi yang berlebihan, bahkan lelaki itu duduk bersandar dengan nyaman, akan tetapi, mengapa hati Laras terasa nyeri, seperti ada dorongan dalam diri untuknya mencari cara bagaimanapun agar ekspresi datar di wajah Andra berubah, apapun, lebih baik ia melihat lelaki itu kesal seperti semalam, dibandingkan acuh seperti saat ini.

“Laras, gue nggak minta end, seperti gue bilang, aside from that, let’s be friends, tujuan kita apa sih sejak awal? Buat bantu satu sama lain kan? Jadi, ya udah, gitu aja, gue mau bantu lo, tapi kasih tahu juga kapan gue harus berhenti, kapan lo perlu dikasih ruang buat… mencari yang nyata, sorry I was being difficult yesterday.”

Laras terhenyak di duduknya, ia dapat merasakan ketulusan dari apa yang coba Andra sampaikan. Dan, ia pun tak dapat menampik kalau dirinya pun… sepertinya belum ingin menyelesaikan kepura-puraan ini. Kepura-puraan yang mungkin dapat menghasilkan hubungan pertemanan yang nyata. Bagaimanapun, harus diakuinya kalau dalam waktu singkat, Andra dapat memberinya perasaan nyaman, tak ada dorongan menutup diri yang biasa muncul ketika laki-laki bergerak mendekat.

“Lo masih mau ngejalanin ini sama gue?”

Andra tersenyum, “ya kalau lo mau. I do enjoy spending times with you.”

“Gue juga…” balas Laras lirih.

“Ha? Apa? Yang kencengan dikit, gue nggak denger,” goda Andra, meletakkan telapak tangannya di belakang telinga, seolah berusaha ingin mendengar lebih jelas.

“Gue juga!”

“Hahaha, iya, iya, jangan teriak-teriak dong Mbak Laras.”

Laras hanya dapat menggelengkan kepalanya, memang benar-benar hanya Andra Mahesa yang kalau menggoda bukan membuatnya jengah, justru kebalikannya, membuat semakin penasaran, semakin ingin digoda.

“Ya udah yuk, berangkat sekarang ketemu Bu Sandra.”

Laras lantas mulai memasukkan beberapa barang esensial ke dalam tas Celine miliknya, namun kemudian terhenti ketika Andra melontarkan sebuah pertanyaan.

“Kenapa, Ras? Gue udah bilang alasannya, let me hear yours.”

“Alasan apa?”

“Lo masih mau lanjut.”

The million-dollar question, pikir Laras, jauh lebih sulit daripada pertanyaan mengenai tenggat waktu dari customer.

“Gue…”

“Kayak gue bilang tadi, gue bisa aja menghalangi lo dari sesuatu yang nyata, mungkin kayak kemarin, who knows,” imbuh Andra.

Betul juga, Laras tak dapat memungkiri kalau ide itu sempat terlintas dalam benaknya. Bukan cuma perkara Andra menghalangi jalannya untuk menemukan pasangan yang nyata, tetapi juga bagaimana kalau ia melakukan yang sama padanya? Or worse, bagaimana kalau suatu hari, ia menginginkan lebih tapi ternyata bertepuk sebelah tangan…

“Pernah kepikiran nggak kalau gue juga melakukan hal yang sama buat lo? Menghalangi lo juga buat ketemu sama yang nyata? Who knows what people said out there, semakin banyak orang tahu, semakin nyebar kemana-mana, mungkin ada perempuan-perempuan yang awalnya tertarik sama lo terus akhirnya mundur karena mengira lo udah punya pasangan?”

Alih-alih menjawab, Andra justru menatapnya lekat, tersenyum simpul sembari menggigit ibu jarinya. Dan dalam sepersekian sekon tersebut, Laras mengerti apa yang mereka katakan dengan hilang akal, karena mungkin itu yang terjadi pada dirinya ketika justru lagi-lagi membayangkan bagaimana kalau labiumnya yang terperangkap di sana, bukan jari Andra.

--

--