Bertaut
Starring;
fromis_9 Jang Gyuri as Ghea Shanum.
fromis_9 Baek Jiheon as Bunga Julia.
TBZ Kim Younghoon as Yoga Aditama.
Content warning: PG 13+, mention of financial crisis, mention of kiss.
Menyatukan isi pikiran dari dua kepala sangat sulit bukan? Terlebih jika masing-masing memiliki ego yang tinggi terhadap hal yang mereka mau. Sama halnya dengan Ghea dan Bunga, mereka hanyalah kakak-adik yang sama-sama menginginkan hal yang terbaik untuk kehidupan keduanya, yang tanpa sadar saling menyakiti satu sama lain atas perkataan mereka.
Orang-orang bilang pertengkaran antara kakak-adik adalah hal yang sangat wajar, tapi bagi Ghea hal ini sangat amat Ia tidak sukai. Ia terlalu takut membebaskan adiknya berkelana sendiri di dunia yang sangat kejam ini, terlebih Ia mengetahui bagaimana kerasnya dunia luar begitu Ia melangkah meninggalkan rumah.
Sudah menjadi rutinitas Ghea maupun Yoga selepas pulang dari kantor untuk mengecek keadaan Bunga setiap harinya, meskipun keduanya terkadang pulang larut malam ataupun tidak pulang diwaktu yang sama, mereka sama sekali tidak pernah absen untuk mengunjungi kamar Bunga.
Niatnya, Ghea ingin memastikan keadaan adiknya baik-baik saja tapi ada hal yang membuatnya sedikit marah, Ia pun berjalan mendekati meja belajar Bunga dan berdiri tepat di sebelahnya.
“jawab kakak Bunga, ini untuk apa?” Tanya Ghea begitu mendapati adiknya tengah menyelesaikan latihan soal untuk masuk ke perguruan tinggi negeri.
Bukankah Bunga tengah menjalani ujian akhir semester? Mengapa Ia mengerjakan soal-soal untuk masuk ke perguruan tinggi? Ghea tidak paham mengapa Bunga tiba-tiba saja kembali memiliki planning untuk kembali mengikuti tes untuk masuk ke perguruan tinggi negeri.
Tanpa melepaskan pandangannya dari soal yang dikerjakan, Bunga menjawab, “aku mau coba lagi, cukup tahun lalu aja aku gagal.”
“untuk apa? Sekarang kamu udah kuliah di jurusan yang kamu mau kan? Enggak perlu kamu coba lagi, kampus yang kamu mau juga terlalu jauh dari rumah.”
Bunga berhenti sejenak dan menoleh kearah Ghea, “Aku berusaha mati-matian buat gapai cita-cita aku, apa susahnya kakak tinggal dukung? Lagi pula di kampus aku yang sekarang biayanya terlalu mahal,” suara Bunga yang tadinya terdengar sangat lantang perlahan mulai mengecil diakhir kalimat.
Mendengar jawaban dari Bunga membuat kepala Ghea seketika merasa sangat pening, belum lagi permasalahan yang Ia hadapi di kantor membuat isi kepalanya semakin terasa ingin meledak-ledak.
“jadi kamu ngelakuin ini bukan karena cita-cita kamu ‘kan Bunga? Udah berapa kali kakak jelasin, kamu enggak perlu mikirin biaya kuliah kamu.”
Bukankah mereka sudah pernah membahas hal ini? dan Bunga pun setuju untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi swasta atas usulannya sendiri. Baik Ghea maupun Yoga juga sudah memperingatkan agar Bunga tidak perlu memikirkan biaya yang harus dibayar oleh kakaknya.
Ghea berusaha memendam emosinya karena Ia paham kalau Ia tidak seharusnya terbawa emosi ketika menghadapi sang adik, “nggak ingat kesepakatan kamu sama kakak?”
“iya aku ingat.”
“bagus kalau kamu ingat,” tanpa meminta persetujuan Bunga, Ghea mengambil lembaran soal yang tengah adiknya kerjakan tanpa peduli dengan adiknya yang terus memohon.
“kak!”
Bunga bangkit dari duduknya begitu melihat Ghea ingin membuang latihan soal yang Ia kerjakan.
“jangan dibuang,” Bunga berusaha mengambil kembali soal-soal itu dari tangan Ghea dan Ia berdiri tepat di depan Ghea untuk menghalangi — agar sang kakak tidak bisa keluar dari kamarnya.
“kalau kakak nggak buang, kamu bakal tetap ngerjain soal-soal ini kan?” Ghea menyodorkan lembaran tersebut tepat di depan muka Bunga.
Rasanya Bunga ingin menangis detik itu juga saat tatapan kecewa Ghea yang begitu menusuk menatap matanya.
“minggir!”
“kak please..”
“lebih baik kamu belajar untuk ujian Senin besok daripada harus ngerjain soal kayak gini,” usul serta perintah Ghea sebelum Ia berniat melangkah keluar kamar adiknya.
Baru saja Ghea hendak melangkahkan kakinya, Ia merasakan genggaman tangan Bunga di lengannya.
“kak please biarin Bunga ikut ujian lagi, kalau nanti Bunga lolos seenggaknya kakak sama kak Yoga enggak perlu ngeluarin biaya yang mahal lagi untuk Bunga kuliah.”
Rasanya Ghea ingin menangis ketika semakin menyadari Bunga ikut memikirkan keadaan ekonomi keluarga mereka yang memburuk. Ia dan Yoga sudah berusaha keras agar keadaan ekonomi keluarga mereka kian hari semakin membaik, mereka juga sepakat untuk mengeluarkan uang lebih demi pendidikan yang sedang Bunga tempuh dan mengesampingkan biaya yang harus dikeluarkan, bagaimanapun Bunga harus mendapatkan pendidikan yang layak sebagai bekal untuk kehidupannya nanti.
Selama ini Ghea sudah mengetahui bahwa Bunga seringkali mengajar les diam-diam hanya untuk membantu keuangan mereka, tetapi Ghea hanya diam dan tidak menegurnya atas permintaan Yoga. Ia juga tahu Bunga seringkali mencari informasi beasiswa yang menjamin biaya kuliah hingga lulus tanpa harus membayar sepeserpun. Baginya, kedua hal ini sudah sangat cukup membantu dan Bunga tidak perlu bertindak lebih jauh.
“kamu enggak perlu capek-capek mikirin hal itu Bunga, kamu cuma perlu fokus buat nyelesain studi kamu,” ujar Ghea dengan penuh penekanan.
“justru aku capek kak! Aku capek selalu ngerasa bersalah ngeliat kalian berdua setiap hari pulang larut cuma untuk memenuhi biaya kuliah aku,” Bunga benar-benar sudah tidak bisa menahan air mata yang Ia tahan sejak tadi, “aku juga sadar beberapa tahun terakhir semenjak kepergian papa ekonomi keluarga kita lagi enggak baik, tapi kalian enggak perlu kerja mati-matian untuk sekolahin aku, aku udah besar kak dan udah bisa bantu kalian untuk cari uang. Seenggaknya di perguruan tinggi negeri biaya kuliahnya enggak begitu mahal dan sisa uang kalian bisa ditabung. Aku mau ngebantu meringankan beban kalian.”
Isak tangis Bunga semakin terdengar menyakitkan bagi Ghea, ditambah lagi keluh kesah yang Bunga sampaikan membuat Ghea semakin merasa sedih. Adik kecilnya sudah se-dewasa ini kah?
“udah hampir lima tahun kakak sama kak Yoga nikah, enggak mungkin kalian nggak berniat punya anak ‘kan? tapi kenapa kakak selalu mikirin aku? Kakak sama kak Yoga juga berhak memprioritaskan kehidupan kalian,” sambung Bunga dengan air mata yang terus keluar dari kedua matanya yang indah.
Pertahanan Ghea runtuh seketika begitu adiknya sedikit menyinggung kehidupan keluarga kecilnya. Ia terisak mendengar penuturan Bunga yang sangat menyentuh hatinya. Adik kecilnya benar-benar sudah besar sekarang.
“itu bukan urusan kamu Bunga, kamu masih jadi prioritas kakak sekarang,” jelas Ghea.
“bukan urusan aku?” Bunga menghela nafas berat, “gimana bisa itu bukan jadi urusan aku, ketika kakak aku menyerahkan seluruh kehidupannya untuk aku? Jangan ngebuat aku ngerasa bersalah atas kebaikan kakak.”
Ghea menatap kedua mata Bunga, “kamu pikir kakak enggak tahu kalau kamu lagi berjuang untuk dapati beasiswa? Itu untuk apa? Untuk meringankan pembayaran uang kuliah kamu kan? Itu udah cukup bagi kakak, Bunga. Kamu enggak perlu ikut ujian lagi.”
“belum tentu aku lolos beasiswanya kak, please izinin aku untuk ikut tesnya,” ujar Bunga lirih dan Ia berusaha mengambil kembali lembar soal dari tangan Ghea.
Bunga berhasil mendapatkannya tetapi tidak dengan izin Ghea.
“tetap enggak!” tolak Ghea.
Ghea meninggalkan kamar Bunga tanpa menghiraukan permohonan yang terus-menerus terucap dari mulut Bunga.
Ghea tetaplah Ghea yang berpegang teguh pada pendiriannya. Sekali tidak, tetap tidak. Ia tidak bisa melepas Bunga jauh dari rumah begitu saja. Ghea merasa tidak tenang jika harus membiarkan adiknya tinggal sendirian jauh disana, tanpa pengawasannya, dan tanpa Ia temani. Di dunia yang sebesar ini, Ia hanya memiliki Bunga, adik tersayangnya dan Ia tidak rela melepaskan keluarga satu-satunya jauh dari pandangan.
Baru saja Yoga melangkah masuk ke dalam rumahnya, Ia dibuat terkejut dengan suara keributan di dalam rumahnya. Benar saja, begitu Ia ingin mendekati sumber suara yang berasal dari kamar Bunga, Ia mendapati istrinya yang keluar dari kamar Bunga dengan air mata yang mengalir deras. Sepertinya Ghea tidak menyadari keberadaannya karena perempuan itu sama sekali tidak menoleh dan langsung masuk ke dalam kamar.
“aku mau bantu kakak.”
“tapi kenapa kakak selalu kekang aku.”
Yoga langsung bergegas masuk ke dalam kamar Bunga dan mendapati adik iparnya tengah terduduk dengan air mata yang mengalir deras. Refleks Ia memeluk Bunga dan mencoba menenangkannya.
“Bunga kenapa?” tanya Yoga dan hanya dijawab oleh gelengan.
Pandangan Yoga terusik begitu melihat lembaran kertas berserakan dilantai kamar Bunga, sepertinya Yoga paham apa penyebab utama keributan antara kakak-adik ini.
“maafin kakak Ghea ya? Kakak kamu cuma khawatir sama kamu.”
Bunga mengangguk dan berusaha mengusap air matanya yang terus keluar.
“kak Ghea nggak izinin aku,” tangan mungil Bunga berusaha kembali mengambil lembar soal yang berserakan, “tadi sebelum pergi juga dia suruh aku buat berhenti ngajar les lagi, aku salah ya kak Yoga mau bantu kalian?” Tangis yang tadinya sudah reda, mulai kembali deras lagi.
“sttt gapapa Bunga enggak salah, nanti kakak coba bujuk kak Ghea biar izinin kamu tapi harus janji ngajar lesnya jangan terlalu sering, okay?” ujar Yoga mencoba meyakini Bunga.
Dengan wajah yang masih bersedih Bunga mencoba memberanikan diri bertanya kepada Yoga, “kalau tes aku gimana? Kak Yoga juga marah aku mau ikut tes lagi?”
“kakak enggak marah, tapi kakak marah karena kamu terlalu keras sama diri kamu sendiri. Harus ingat ya belajar giat boleh tapi jangan berlebihan, harus fokus dulu sama satu hal baru setelah itu boleh deh Bunga cari kesibukan lain,” Yoga tersenyum ketika mendapat respon anggukan kecil dari Bunga, “Kamu juga enggak perlu khawatir sama ekonomi keluarga kita okay? Semuanya udah membaik.”
“kenapa kakak marah banget pas tau aku mau ikut ujian lagi,” tanya Bunga.
Yoga tersenyum dan menepuk pelan pundak kepala Bunga, “kak Ghea cuma khawatir sama kamu Bunga, kalau seandainya kamu keterima nanti disana kamu sendirian jauh dari kakak dan enggak ada yang jaga juga kan? Diluar sana cukup bahaya kalau kamu sendiri, belum lagi kalau kamu sakit jadi kak Ghea khawatir banget enggak bisa jaga kamu. Percaya deh sama kakak, dia cuma khawatir enggak marah sama Bunga. Kakak kamu cuma punya kamu, dia udah enggak punya siapa-siapa lagi. Kalau kakak kan jatuhnya masih orang asing, enggak sedarah meskipun kakak suaminya.”
Bunga sedikit jauh lebih tenang ketika mendengar penjelasan dari Yoga. Ternyata ada benarnya juga, bagaimana kalau nanti Ia sakit dan tidak ada kakaknya yang menjaga?
“sekarang Bunga cuci muka terus tidur okay? Besok pagi ada yang mau les sama Bunga kan.”
Bunga terkejut, bagaimana Yoga bisa tahu kalau esok Ia ada janji mengajar les?
Yoga hanya tertawa kecil melihat wajah kebingungan Bunga, “kakak tau dari situ,” Ia menunjuk sebuah sticky note yang tertempel di meja belajar Bunga.
“huft syukurlah aku udah panik,” Bunga sedikit lega begitu mendengar penuturan Yoga, Ia pikir temannya yang ingin les besok memberitahu Yoga secara langsung.
“udah sana langsung cuci muka, kakak izin keluar ya,” bunga mengangguk dan kembali merapihkan meja belajarnya.
“oh iya kak,” langkah Yoga terhenti, “tolong bilangin kak Ghea aku minta maaf kalau tadi kata-kata aku terlalu kasar,” Yoga mengacungkan kedua ibu jarinya sebagai respon lalu menutup pintu kamar Bunga perlahan.
Yoga bergegas menuju kamarnya dan Ia menebak bahwa Ghea hingga saat ini pasti masih menangis. Sepertinya tebakan Ia benar karena terdengar suara Isak tangis begitu Ia sampai di depan pintu.
Yoga mengetuk pelan pintu kamarnya, “sayang aku izin masuk boleh?”
“boleh,” Ghea menjawab dengan suara yang serak.
Begitu Yoga masuk Ia mendapati istrinya tengah menatap kearah luar jendela — membelakanginya. Ia mendekat dan dari belakang melingkarkan tangannya di pinggang Ghea.
“kenapa nangis?” Tanya Yoga seraya mengistirahatkan dagunya dipundak milik Ghea.
“Yoga, aku terlalu keras ya jadi kakak?”
“Aku jahat selalu kekang adik aku.”
Yoga hanya terdiam mendengarkan ocehan Ghea dan Ia membiarkan Ghea memainkan jari-jarinya.
“kok kamu enggak jawab aku,” Ghea sedikit menoleh agar bisa melihat wajah Yoga.
“loh aku pikir masih ada.”
“nyebelin kamu bercanda terus,” tanpa ampun Ghea mencubit tangan Yoga, tidak peduli sang empu akan merasakan kesakitan.
“iya iya ampun, aduh sakit loh Ghe cubitan kamu.”
Yoga mengusap-usap bekas cubitan Ghea yang terasa sangat panas, seringkali Ia mendapatkan cubitan maut Ghea tetapi tetap saja Ia tidak bisa mentolerir rasa sakitnya.
“tadi Bunga bilang dia minta maaf ke kamu, katanya maaf kalau tadi kata-kata dia terlalu kasar,” Ghea hanya mengangguk sebagai jawaban.
“sini coba lihat aku,” titah Yoga.
Ghea membalikkan tubuhnya dan mendapati Yoga yang tengah tersenyum, “udah ya nangisnya? Kamu bukan kakak yang jahat.”
Tangis Ghea kembali pecah saat mendengar kalimat yang terucap dari mulut Yoga. Ia merasa sangat bersalah kepada Bunga.
“eh kok nangis lagi,” Yoga sedikit panik dan berusaha menghapus air mata Ghea menggunakan ibu jarinya. Ia tidak suka melihat Ghea menangis karena terlihat sangat menyayat hatinya, terlebih wanita itu jarang sekali menangis. Sejujurnya Ia jadi ingin menangis sih.. maklum terbawa suasana yang sedikit mellow.
“aku udah kekang adik aku.”
“suttt udah jangan nangis lagi, tadi aku udah coba jelasin ke Bunga,” Yoga membawa Ghea kedalam dekapannya dan membelai rambut indah perempuan yang tengah berada di pelukannya ini dengan lembut.
“besok pagi harus maaf-maafan ya? Janji?” Yoga menunjukkan jari kelingkingnya berharap Ghea akan mengaitkan kelingkingnya juga sebagai janji.
Ghea mengangguk dan mengaitkan kelingkingnya, “janji.”
“sebelum marah-marah harus dibicarakan dulu sama aku, okay? Kalau marah-marah ke Bunga kalimatnya harus dijaga okay?”
Lagi dan lagi Ghea hanya mengangguk patuh pada perintah Yoga.
Yoga tersenyum lalu kembali menarik Ghea kedalam dekapannya, baru saja Ia ingin menikmati suasana romantis ini, semuanya buyar berkat perkataan Ghea.
“sana ih kamu belum mandi,” Ghea mendorong pelan tubuh Yoga.
Yoga yang sedikit kesal berniat menjahili kembali istrinya, “ih parah banget ih tadi peluk-peluk sambil nangis.”
“malesss!” Ghea yang salah tingkah langsung membekap mulut Yoga dengan tangan mungilnya, “udah sana mandi dulu Yogaaa.”
Yoga hanya pasrah begitu Ia didorong ke kamar mandi oleh Ghea, Ia berniat kembali menggoda Ghea sebelum Ia menutup pintu kamar mandi.
“yakin enggak mau kiss?”
“YOGAAAA!”
Yoga terkekeh dan langsung menutup pintu kamar mandi, ah rasanya senang sekali menjahili Ghea.
Yoga tersadar, takdir Tuhan yang membawanya kepada kakak-adik ini menjadikannya sebagai penengah sekaligus penenang untuk keduanya dan Ia sangat bersyukur akan hal ini.
— end.