Kalian tau diorama, miniatur tiga dimensi yang menggambarkan sebuah tempat, peristiwa, ataupun momen tertentu. Pemandangan gunung yang indah, potret kota yang menakjubkan, peristiwa besar yang bersejarah, semunya dapat dituangkan dalam diorama. Melalui detail-detail kecil yang tampak realistis, terabadikanlah segala hal yang tidak layak untuk dilupakan.
Membuat diorama butuh ketelitian, ketekunan, kreativitas, serta hati yang penuh kesungguhan atas segala hal indah yang layak untuk diabadikan. Seperti itulah yang Diorama Crew harapkan, sebuah acara yang hebat butuh perencanaan, melalui rancangan yang matang, pemikiran yang dinamis, serta kerja keras dan orang-orang yang keren pastinya.
15 anak muda yang menyukai pesta itulah awal dari Diorama Crew ada. Kegilaan mereka rasanya tak perlu diceritakan, cukup menjadi sejarah yang pernah mengguncangkan Archa Mandala. Kini ada 9 mahasiswa yang ditinggalkan dalam nama besar Diorama, 9 dari mereka terbentuk dari perjalanan waktu yang tak lagi muda. Jadi, kisah ini adalah milik mereka, 9 mahasiswa yang nanti akan bertambah entah menjadi berapa, berlari dengan suka cita bersama Diorama. Karena motto mereka “sebuah pesta harus membawa suka cita".
Diorama Crew adalah unit kegiatan mahasiswa yang ada di Archa Mandala Institute, event planner club itulah yang menggambarkan Diorama Crew. Selayaknya UKM kampus, kegiatan mereka masih terbatas. Diorama Crew biasanya menangani kegiatan melalui kerja sama dengan pihak lain yang ingin menyelenggarakan acara. Project yang mereka tangani dapat berupa kegiatan profit atau non profit, dengan kesepakatan tertentu. Tidak hanya menangani kegiatan di Archa Mandala saja, kalau mereka mujur kerja sama bisa datang dari kampus lain. Sama seperti mahasiswa organisasi lainnya, kerjaan mereka ya kuliah-rapat-kuliah-rapat.
Co-S atau Coworking Space menjadi tempat lain yang sering mereka kunjungi setelah rumah/kos, ruang kelas, dan studio. Meski tanpa tujuan yang jelas, Co-S cukup nyaman sebagai tempat menunggu kelas atau tempat singgah sebelum pulang. Melalui obrolan yang menyenangkan dan gelak tawa yang membahagiakan, seperti sore ini dan mungkin waktu-waktu di lain hari nanti.
Co-S sendiri merupakan fasilitas yang kampus sediakan, sebagai ruang koordinasi bagi para mahasiswa yang menjalankan organisasi. Co-S terdiri dari dua gedung tiga lantai yang saling berhadapan. Gedung satu menghadap timur digunakan oleh UKM-Klub, sedangkan gedung dua menghadap barat digunakan oleh HMJ, BEM, Senat Mahasiswa dan beberapa UKM-Klub. Lantai satu terdapat ruang terbuka untuk bersama, sedangkan lantai dua dan tiga berisi ruangan kecil milik masing-masing UKM.
Sore ini Co-S Diorama Crew yang terletak di lantai dua, dihuni oleh sepasang cowok yang – ah bukan, dua orang cowok, sepasang terdengar mengerikan. Dua orang cowok yang mengobrol dengan nyaman, satu cowok berbadan lebih besar dan satu lainnya terlihat lebih kurus. Mereka sepertinya tinggi, tapi tak bisa dipastikan sekarang karena mereka sedang dalam posisi duduk. Jo Praba cowok berbadan lebih besar itu, duduk dengan nyaman menyandar tembok, tepat di bawah AC yang cukup menyejukkan sore itu. Satu lagi cowok yang lebih kurus, diketahui sebagai adik primadona kampus Juwita, entah siapa namanya.
“Kak Jo, lo mujur banget ayam geprek kasik masih ada. Masih anget lagi ayamnya.” Suara itu datang memecah obrolan Jo dan adik si Juwita, bersamaan dengan cewek pemilik nama Juwita muncul dari arah pintu, disusul seorang cowok yang kesusahan melepas sepatu karena kedua tangannya penuh dengan tumpukan kertas.
Setelah meletakkan sebuah plastik yang berisi satu porsi ayam geprek kasik dan satu cup es teh manis, Juwita bergegas keluar menyusul si adik yang keluar lebih dulu darinya. Tak berapa lama kembali masuk dan duduk di sebelah Jo yang sudah memakan hampir setengah porsi nasinya. Tangannya sesekali ikut mengambil potongan ayam dari bungkus makanan Jo, tanpa permisi dan rasa canggung sedikitpun.
“Lo tadinya beli dua sekalian kalo mau ikut makan juga, mana kenyang bang Jo kalo setengahan gitu,” ucap cowok yang sibuk membolak-balikkan tumpukan kertas tadi, yang diketahui bernama Danu.
“Hahaha, emang gak kenyang, tapi gak papa lah. Gratis juga,” balas Jo dengan tawa singkat di tengah aktivitas mengunyahnya. Sontak membuat kepalanya reflek mendongak dengan satu tangan di depan mulut, mencegah makanannya tersembur keluar. Ucapan Jo tadi tidak dapat diterima oleh Danu karena tidak sesuai dengan pemikirannya, “Enak aja, bayar ya. Pake duit gue itu.”
“Pelit amat sih, 15 ribu doang,” olok Juwita.
“Biarin aja sih, 15 ribu juga duit.”
“Di ganti McD mau gak? Nanti biar dibeliin Jev,” kata Jo menawarkan pilihan yang lebih menggiurkan dari uang 15 ribu itu. Lantas Danu berseru mantap tanpa berpikir panjang lagi, “Mau banget.”
“Mau yang apa? kamu pengen juga gak, Juw?” tanya Jo kepada dua orang di sana, dengan tangan fokus membersihkan bekas makan yang telah ia habiskan. Memasukkannya ke dalam kantong plastik dan membawanya ke luar untuk di buang, di sisi lain Juwita dengan asiknya menyedot es teh milik Jo yang telah diminum setengah oleh cowok itu.
“Aku mau Cheeseburger sama McFlurry ya, Kak,” seru Juwita setelah melihat Jo kembali dari luar. Begitu pula dengan Danu ikut menyerukan menu pilihannya. “Gue panas 1 aja bang, eh sekalian Jev suruh beli gorengan depan bang. Biasanya baru goreng, masih anget-anget.” Mendengar jawaban dari keduanya lantas membuat Jo mengetikkan pesan titipannya kepada Jev yang sepertinya masih di luar kampus dan hendak menuju kemari.
“Ditawarin McD masih aja gorengannya gak ketinggalan,” ucap Juwita menimpali perkataan Danu tadi. Mau bagaimanapun meski ayam McD cukup menggugah selera, tapi gorengan depan kampus tetap menjadi pilihan utama. Bagi para mahasiswa apalagi anak perantauan gorengan terbilang ekonomis, harga satu porsi paket panas McD bisa dibelikan gorengan untuk makan satu gerombolan sebagai teman obrolan, dan itu cukup mengganjal perut yang lapar. Maka dari itu, ketika Jo menawarkan paket ayam goreng, Danu tidak menyia-nyiakan, uangnya dapat dibelikan gorengan barangkali anak lain akan datang dan tidak kebagian ayam.
Tak lama terdengar suara tawa yang semakin kencang datang dari arah pintu, terlihat tiga orang berjalan sambil tertawa, sesekali salah satu di antaranya menepuki orang di sebelahnya karena merasa konyol entah atas hal apa itu.
“Lo semua harus liat barusan, HAHAHA...” tawanya memutus ucapan yang belum lengkap itu. “Si Bian sama temennya yang kecil itu, siapa sih. Oh, Lingga, mereka nyanyi-nyanyi sambil naik ke gazebo deket beringin. Lagi asik-asiknya, pas balik badan ada mas Yogi mana pas balik mangap mau ambil nada tinggi, anjir malu banget pasti,” tandas salah satu di antara ketiga orang tadi.
“Sumpah lo harus liat ekspresi Bian tadi, kocak banget antara mau lanjutin nyanyi atau mau teriak.” Setelah mengatakan hal tersebut mereka masuk ke dalam ruangan dengan sisa-sisa tawa yang masih tertinggal. Tiga orang tadi adalah Tyaga, Windu dan Sagita.
“Anjas, mas Yogi banget. Apa gak mau dikarungin aja tuh muka, kepergok gila sama dosen,” kata Danu menimpali cerita dari Tyaga dan Windu. Meskipun dipanggil mas, Mas Yogi juga merupakan dosen di kampus mereka. Bisa dibayangkan akan semalu apa Bian dan Lingga setelah kepergok bertingkah gila di depan dosen. Walaupun beliau tidak akan mempermasalahkan karena mereka bermain di luar jam perkuliahan, tetap saja malunya bukan main dan mungkin untuk beberapa hari ke depan mereka akan di goda ketika bertemu.
Mereka terus membahas kejadian lucu itu hingga beberapa anak tertawa dan ikut membayangkan kejadian tadi. Mencetuskan kemungkinan-kemungkinan atas keadaan Bian dan Lingga setelah kejadian tersebut. Sampai beberapa saat obrolan mereka terputus dengan kedatangan Tirta dengan kedua tangan penuh kantong, diduga berisi makanan karena bau sedap yang menguar memenuhi ruangan, diperkuat dengan kedatangan Jevi di belakangnya.
Seketika obrolan menjadi benar-benar terhenti dan anak-anak mulai mengerubungi kantong makanan itu. “Punya gue mana?, yang cheeseburger sama mcflurry,” sahut Juwita dengan nada tidak sabaran, berharap dapat cepat menyantap makanannya. Sedangkan Tirta sibuk mengeluarkan makanan dari kantong plastik, terlihat ada bungkus pesanan Juwita dan Danu, satu bungkus besar berisikan beberapa ayam dan nasi. Di kantong lain ada banyak cup minuman dingin yang sepertinya berisi cola, serta satu kantong berisi penuh gorengan yang bermacam-macam. Kemudian diulurkannya cheeseburger yang masih terbungkus rapi kepada Juwita, sedangkan mcflurry dirampas lebih dulu oleh Windu.
“Wih McD nih.” Belum selesai mereka menata makanan datang Yada entah sejak kapan, karena tidak ada yang memperhatikan, fokus mereka terarah kepada makanan yang sedang dikeluarkan dari kantong plastik.
“Ih gue mau paha dong.”
“Gue juga mau paha.”
“GUE... gue sayap aja.”
“Eh nasinya dong, Yada lo ambil satu aja nasinya!”
“IYA, iya kebagian semua nanti. Dibeliin banyak sama bang Jo, diem dulu dong gue pusing,” tandas Jevi menghentikan teriakan yang saling bersahutan. Jo yang mentraktir makanan tersebut hanya tertawa di belakang, ia tak terlalu lapar karena sudah menghabiskan satu porsi ayam geprek kasik sebelumnya. Sedangkan Tirta yang kebagian menata makanan terlihat kewalahan, karena beberapa anak tak sabaran mengambil makanan.
Setelah semua makanan dikeluarkan dari kantong plastik, satu-persatu dari mereka mengambil bagian yang diinginkan. Memulai makan sambil diselingi obrolan-obrolan santai. “Jev duitnya udah gue kirim ke OVO ya, gue gak ada cash,” ucap Jo kepada Jevi yang tadi membelikan titipannya.
Jevi seketika merogoh katung celananya untuk mengambil smartphone, mengecek aplikasi yang Jo sebutkan untuk melihat apakah uangnya sudah masuk. Namun seketika Jevi terkesiap setelah melihat nominal yang masuk. “Banyak amat Bang, gue balikin ya sisanya,” kata Jevi. Sedangkan Jo hanya membalas dengan lambaian tangan yang berarti tidak usah dikembalikan, karena mulutnya penuh dengan makanan tak bisa digunakan untuk berbicara. Hal tersebut membuat senyum Jevi kembali merekah.
“Untung aja gue kesini, jadi aman deh duit buat makan malem,” ujar Yada yang sekarang telah memakan bungkus nasi kedua, yang seharusnya milik Tyaga tapi ia sedang tidak ingin makan nasi.
“Lo tuh uang jajannya kemana sih, seneng banget kalo dapet geratisan, kayak gak ada duit aja. Bapak lo bisa beliin apart di sini, masak ngasih uang jajan lo aja kagak bisa. Mana jatah abang lo dimintain mulu,” ucap Danu yang keheranan dengan tingkah Yaga, mahasiswa banyak duit tetapi selalu mencari gratisan.
“Ya dia kan kagak mau, daripada mubazir mending gue makan. Lagian kalo ada yang nawarin gratisan mah gak boleh di tolak, gak baik nolak rezeki.”
“Bisaan aja lo kalo jawab,” kata Windu menimpali perkataan Yada, sementara tangannya masih sibuk memisahkan daging yang menempel pada tulang ayam. Saat menimpali perkataan Yada tadi ia melihat Jo yang hanya menyemili ayam tanpa memakan nasi. “Lo gak makan nasi, tumben amat. Ayam dong mana kenyang buat lo.” Sebuah tanya ditujukan kepada Jo yang sedang menikmati gigitan ayam gorengnya.
“Ya kalo ntar laper tinggal beli makan lagi, duit dia kan banyak,” timpal Yada, alih-alih Jo yang ditanyai.
“Ya gak kayak lo, lo kan kere.”
“Enak aja, duit gue banyak ya.”
“Kak Jo udah makan tadi,” jawab Juwita. Lagi-lagi diwakilkan oleh orang lain, sedangkan anaknya hanya tersenyum di antara gigitan ayamnya. Di balik perdebatan Yada dan Windu, serta Juwita dan Jo yang sesekali menimpali. Ada Javi, Tirta, Tyaga dan Danu yang sedang membahas pertandingan sepak bola yang berlangsung kemarin malam. Sagita ikut mendengarkan karena merasa tertarik dengan obrolan mereka, tak jarang menimpali karena sedikit paham dengan topik pembahasan.
“Bang mau bakwan, ambilin dong,” ucap Yada kepada Tyaga yang berada lebih dekat dengan kantong berisi gorengan. Tak lama Tyaga mengulurkan sekantong gorengan yang masih tersisa beberapa, memberikan semua kepada Yada karena sudah tidak ada yang menginginkan lagi.
“Emang perut karet lo. Makan nasi dua bungkus, ayamnya dua setengah, masih muat aja buat gorengan,” ucap Danu yang keheranan dengan keluarbiasaan perut anak itu. Yada yang menjadi bahan perbincangan tak menggubris sama sekali, ia malah asik memakan gorengan sambil memilah-milah potongan cabai yang ada di dalamnya.
"Biarin, daripada gak kemakan mubazir," sahut Tirta mendukung tindakan Yada memakan sisa gorengan yang beberapa menit lalu sudah dianggurkan tanpa peminat. Tau-tau tangan lain muncul dan masuk ke dalam kantong plastik, ikut mengambil sisa gorengan. Tindakannya mengundang atensi dari anak-anak lain, sedangkan yang dipandang hanya menyunggingkan senyum konyol.
Setelah cukup dengan makanannya, serta hari yang mulai gelap. Membuat para cewek bergegas pamit untuk kembali ke rumah maupun kos, begitu pula dengan beberapa cowok. Sebagian lainnya masih tinggal untuk melanjutkan obrolan. Seperti itulah situasi yang kerap terjadi di Co-S, mungkin di lain waktu akan ada situasi lain yang membuat kalian lebih keheranan atau mungkin ikut emosional.
Diorama Crew
by Bae
Bermimpi Project