Wacana Klasik Tentang Potensi Resentralisasi Bitcoin

BitcoinMedia — Indonesia
9 min readMar 31, 2020

Di sekitar tahun 2019, wacana tentang potensi resentralisasi bitcoin sudah banyak bermunculan. Latar belakang dibalik wacana ini banyak mengurai tentang potensi-potensi penguasaan dibalik desentralisasi bitcoin.

Secara umum wacana ini sudah menjadi wacana klasik. Tidak banyak beda seperti puncak perdebatan tentang skalabilitas bitcoin terkait dengan ukuran limit block. Perdebatan soal skalabilitas bitcoin adalah wacana purba bagaimana komunitas bitcoin saling beradu argumen dengan kepentingan besar dibalik upaya penguasaan jaringan melalui dua pendapat yang saling berbeda.

Meski demikian, potensi-potensi itu memang tidak bisa luput dari perhatian. Perdebatan inipun diakhiri dengan munculnya berbagai macam core bitcoin alternatif sebagai puncaknya. Sementara di komunitas Bitcoin, perdebatan skalabilitas itu berujung dengan aktivasi Segwit di dalam core Bitcoin. Disisi satunya lagi, sudah tercapai niatnya dengan memunculkan varian kloningan bitcoin.

Dalam hal ini, pada dasarnya sudah dapat ditarik kesimpulan. Bahwa kepentingan dibalik itu lebih banyak bicara soal kepentingan untuk penguasaan. Sayangnya, bukti juga yang akhirnya berbicara. Dari sekian banyak proyek kloningan bitcoin besutan Big Blocker, sampai detik inipun tidak mampu untuk memberikan performa yang jauh lebih baik. Sungguh hal cukup nisbi.

Sementara pada wacana resentralisasi bitcoin, yang menjadi acuan landasan juga itu-itu juga. Tidak ada yang baru. Namun di Indonesia, perhelatan wacana Big Blocker itupun sudah masuk sejak lama. Faktanya, sebagian besar industri yang paling berkepentingan terkait cryptocurrency di Indonesia adalah pendukung Big Blocker tersebut.

Belum lama, ada sebuah artikel asal Indonesia yang ditulis di Kriptologi, ditulis oleh pakar blockchain jebolan Universitas Monash Australia menyoroti tentang wacana sentralisasi bitcoin. Menurutnya, sentralisasi bitcoin tidak terelakkan. Lalu artikel tersebut kemudian di tulis ulang menjadi sebuah tulisan berbahasa Inggris di domain berbeda, krptx.com.

Sekilas, membaca tulisan itu tidak ubahnya seperti tulisan klasik dalam berbagai macam perdebatan terkait dengan skalabilitas bitcoin. Tidak ada juga hal yang baru. Sebaliknya, pakar blockchain yang satu ini justru terbelenggu dalam memaknai konsensus bitcoin. Atau memang tidak pernah mampu untuk memahami mendalam konsensus bitcoin.

Ada banyak salah kaprah dalam tulisan yang ditautkan dalam artikel tersebut.

1. Konsensus Bitcoin disebut harus lebih dari 51% total jaringan untuk bertindak jujur.

2. Pencapaian desentralisasi konsensus bitcoin disebut memilih cabang block dengan jumlah daya komputasi terbesar.

3. ASIC disebut mengacaukan konsensus bitcoin

4. Menawarkan alternative DPoS yang dianggapnya jauh lebih baik.

5. DPoS yang dianggap terbaik ini, diibaratkan seperti pola yang digunakan dalam EOS dan TRON (pada versi tulisan berbahasa Inggris, oleh penulis yang sama).

6. Mentautkan tulisan BitMex terkait para pengembang Bitcoin dan sumber pendanaan.

7. Mentautkan tulisan dari Coin Republik yang menyebut soal penurunan hashrate bitcoin dan implikasinya terhadap harga Bitcoin.

8. FIAT dinilai lebih baik.

Pertama, penjelasan konsensus ini akan menjawab poin 1 dan 2 sekaligus. Cukup fatal jika menyebut bahwa konsensus bitcoin harus ditunjang lebih dari 51% untuk bertindak jujur. Berikut adalah kutipan kalimat yang dituliskan:

“Tentu, premis dari sistem konsensus ini menyatakan bahwa setidaknya lebih dari separuh (atau lebih tepatnya 51% dari peserta konsensus) bertindak jujur dan tidak curang.”

Kalimat tersebut jelas salah kaprah untuk mengatakan konsensus dari node yang jujur harus berjumlah hingga 51% dari total jaringan. Faktanya, kecenderungan penguasaan sampai 51% node di jaringan justru menimbulkan potensi penguasaan jaringan. Insiden ini hampir pernah terjadi melalui DeepBit dan Ghash IO.

Berujung kemudian muncullah standarisasi mining pool dengan protokol STRATUM. Miner, dapat saling berpindah dari satu pool ke pool lain untuk menghindari adanya lompatan konsentrasi distribusi hashrate di dalam jaringan.

Di sisi lain, node yang berlaku jujur di jaringan, tidak harus berjumlah hingga 51% total hashrate untuk bisa memberikan validitas transaksi. Hal ini sudah terbukti ketika implementasi Segwit berhasil dilakukan meskipun dengan jumlah distribusi hashrate yang lebih sedikit. Saat itu yang membuat perbedaan mendasar adalah implementasi BIP 148 tentang UASF.

Dukungan mining farm besar big blocker saat itu pada akhirnya bertekuk lutut ketika miner secara langsung bisa memberikan dukungan yang jauh lebih besar dibandingakan kapasitas 51% distribusi hashrate.

Kedua, lebih salah kaprah lagi ketika menyebut bahwa konsensus bitcoin akan selalu memilih jalur block dengan jumlah komputasi terbesar. Berikut adalah kutipan tulisan yang terkait hal itu:

“Dengan menggunakan sistem konsensus yang kemudian dikenal dengan istilah Nakamoto Consensus ini, maka sistem akan selalu memilih jalur blok dengan jumlah komputasi terbesar andaikata terjadi pencabangan dalam blockchain.”

Padahal, node dengan prilaku yang jujur di dalam jaringan, akan cenderung untuk meneruskan rantai block terpanjang. BUKAN BERDASARKAN BESARAN DAYA KOMPUTASINYA.

Nampaknya pakar blockchain ini tidak mengetahui bahwa pemaknaan “block tree” dengan “active chain” (cabang block terpanjang) adalah cukup berbeda. Pemaknaan “Block tree” akan lebih berkaitan dengan konsensus block valid yang nantinya akan disimpan ke dalam blockchain. Sementara active chain adalah deret cabang block yang terpanjang.

Cabang block terpanjang inilah yang membentuk kesejarahan transaksi hingga sampai pada GENESIS BLOCK. Rantai block ini memberikan validitas yang sahih dan mampu menjadi solusi atas double spending. Ini adalah konsensus mutlaknya. Sehingga setiap full node di jaringan mematuhi aturan mendasar ini.

Node di dalam jaringan tidak pernah membawa predikat besaran daya komputasi di dalam jaringan. Sungguh menyesatkan ketika menyebut node akan selalu memilih jalur block dengan jumlah komputasi terbesar. Salah kaprah.

Jika ada pencabangan block baru yang terjadi, konsensus yang ada pun node akan selalu dapat memastikan dan mampu menegakkan aturan yang ada. Titik akhirnya adalah ketika cabang baru itu pada akhirnya berhenti, karena tidak ada lagi perpanjangan block dilakukan. Di sisi ini, pada akhirnya teratasi dengan “block reorg”, ada juga yang menyebutnya dengan istilah “Chain Reorganization”. Namun, block reorg ini pada dasarnya adalah problem client, bukan jaringan secara keseluruhan. Karena inisiatif membangun block di rantai berbeda berasal dari node itu sendiri.

Ketiga, ASIC disebut mengacaukan konsensus bitcoin

Pertambangan bitcoin dalam sejarahnya mengalami evolusi. Hal yang sama juga terjadi pada ekosistem pertambangan logam mulia. Perkembangan teknologi itu berjalan ke depan. Anda tidak pernah bisa berharap bahwa perkembangan teknologi akan berjalan ditempat, stagnan. Teknologi akan terus bergerak maju, bukan mundur.

Evolusi pertambangan bitcoin juga bergerak selaras dengan perkembangan teknologi tersebut, termasuk dalam hal efisiensi perangkat. Di sisi lain, justru hal ini akan meminimalisir penguasaan perangkat oleh industri teknologi besar. Sebut saja siapa raksasa teknologi besar di balik kartu-kartu grafis di dunia?

SHA256 memberikan stimulus untuk memunculkan inovasi baru, ruang baru, fitur-fitur baru, hingga efisiensi energi yang dibutuhkan. Alhasil, memang muncul evolusi perkembangan perangkat tersebut, dan ini adalah hal yang cukup bagus.

Di sisi lain, potensi penguasaan perangkat ASIC pun dapat diminimalisir. Fakta yang ada, sudah cukup beragam vendor ASIC yang telah bermunculan. Dinamika perkembangan perangkat juga akan berjalan selaras dengan perkembangan teknologi, mustahil tanpa itu.

Sebaliknya, non SHA256 akan selalu bergantung pada raksasa-raksasa industri kartu grafis besar. Sungguh naïf. Dibandingkan itu, evolusi perangkat Bitcoin justru melahirkan industri baru. Keseluruhannya berorientasi memberikan efektifitas dalam pertambangan bitcoin. Bukan malah melanggengkan dominasi raksasa teknologi besar.

Keempat, DPoS dianggap lebih baik (sekaligus menjawab di point 5) adalah persepsi yang membabi buta hanya demi mendukung anggapan sentralisasi bitcoin tidak terelakkan. Hal ini sama sekali bahkan tanpa dasar yang kongkrit. Sebaliknya, justru berupaya memberikan wacana tentang “desentralisasi terbatas” yang cukup nisbi. DPoS pertama-kali digaungkan melalui BitShares. Lalu banyak berubah wujud menjadi EOS, Steemit, dan yang banyak proyek lain.

Secara umum, DPoS memang menjadi alternatif POW (proof of work) yang digunakan bitcoin. Alih-alih menggaungkan sebagai solusi yang hemat energi, dibaliknya adalah upaya untuk manipulasi penguasaan jaringan oleh penggagas proyeknya sendiri. Apa pernah ada penggagas proyek Altcoin yang rela meninggalkan proyeknya sendiri? Nonsense.

Dalam hal itu, alternative POW melalui DPoS, menjadi sebuah cara untuk manipulasi karena tidak pernah bisa mencapai desentralisasi, sehingga memunculkan cara untuk “mengakali” densentralisasi itu melalui delegasi atau perwakilan penegak konsensus.

Bukankah DPoS pada akhirnya dapat berjalan? Ya memang bisa berjalan, sah-sah saja digunakan. Terlebih sudah ada cukup banyak varian Altcoin yang menggunakan itu. Tapi apakah DPoS menjadi yang terbaik dibandingkan POW? Gila. Bagaimana mungkin eliminasi yang jauh lebih besar dengan sistem delegasi itu memberikan sekat yang lebih tidak egalitarian.

Ujungnya adalah celah keamanan yang paling banyak mendapat perhatian lebih. Lihat saja seperti yang terjadi di Steemit, begitu banyak varian Stablecoin yang juga diawali dari BitShares dan berujung stagnan. Kapasitas EOS sendiri melonjak ekstrim, perang kepentingan dalam delegasi node sendiri.

Bagaimana dengan TRON? Sama juga. Jika memang DPoS dinilai terbaik, mengapa sampai saat ini Vitalik cukup bimbang untuk beralih ke POS? Belum lagi, sudah sekian banyak proyek yang berpindah dari platform satu ini. Alasannya jelas, ada kerentanan yang cukup besar menghantui dibelakangnya.

Kelima, ketika mentautkan tulisan BitMex tentang pengembang Bitcoin dan sumber pendanaannya. Ini adalah cukup ngawur. Kontributor bitcoin dengan sumber pendanaan dengan basis komunitas bukanlah perkara yang mudah.

Mempertahankan desentralisasi di dalam konsensus di luar jaringan pada komunitas Bitcoin justru menjadi ukuran yang ideal. Pertama, hal ini sudah cukup klasik juga seperti dalam perdebatan skalabilitas bitcoin. Padahal, seputar kecemburuan terhadap developer ini sudah dapat terlihat dalam mekanisme proposal rancangan pembaruan Bitcoin melalui BIP (Bitcoin Improvement Propossal). Siapapun bisa terlibat disana.

Di dalam model pendanaan, jelas tidak mungkin developer aktif di dalam bitcoin itu tidak mendapatkan tunjangan untuk bisa melahirkan inovasi-inovasi baru. Ekosistem bitcoin jelas tidak akan pernah seperti suntikan modal melalui DPoS dan berakibat fatal seperti dalam Steemit, ataupun yang lain. Pola-pola ini justru memberikan resiko penguasaan jauh lebih besar.

Sebaliknya, dengan bentuk pencarian pendanaan diluar konsensus di dalam jaringan, menjadi pilihan yang lebih tepat. Silang pendapat, jelas akan mewarnai. Tidak bisa lepas dari itu. Namun sejauh mana bukti konkrit pengembangan itu pada akhirnya bisa ditelurkan. Outpunya pun dari Blockstream yang banyak dicemburui itu sudah memberikan banyak hal untuk pengembangan Bitcoin. Termasuk juga dengan Lightning Labs.

Lantas dimana masalahnya? Bukankah justru dengan pola besaran modal di konsensus jaringan pada POS, DPoS, Hybrid, dan segala macam istilah lain itu justru terbukti minim inovasi? DeFi? Rentan. CBDC? Tidak pernah teruji sampai detik ini.

Ketika masih dalam perdebatan skalabilitas bitcoin pun alasan-alasan ini sudah muncul sejak lama. Seperti bagaimana kontroversi tentang munculnya Blockstream. Padahal, keduanya antara blockstream dengan para pengembang di Bitcoin adalah dua hal yang berbeda.

Dua entitas yang berbeda dalam memberikan pendanaan pengembangan, justru meminimalisir banyak hal termasuk yang terkait dengan konsensus di dalam jaringan Bitcoin. Di sisi lain, banyak juga kog pengembang lain yang tidak berafiliasi dengan pihak manapun. Sebut saja seperti Iaanwj yang menjadi pengembang paling aktif.

(Images: BitMex)

Parahnya, dalam tulisan yang ditautkan dari Bitmex, sebenarnya Bixmex sendiri menyebut bahwa ekosistem pendanaan Bitcoin jauh lebih sehat dari sebelumnya. Terlepas, BitMex sendiri sudah cukup kontroversial. Faktanya, jumlah commit pengembang yang ada justru jauh lebih banyak dari pengembang independent.

Apakah dipikir kontribusi pengembang independent itu harus melalui bitcoin core saja? Tidak. Banyak yang telah dilakukan dari hal lain. Termasuk menyiapkan infrastruktur penunjang lain. Muncul banyak varian wallet dengan tingkat privasi lebih. Muncul pengembang-pengembang independent sejak awal. Seperti membuat charting, visualisasi block, hashrate, mempool, hingga visualisasi bitcoin halving.

Berbagai macam kontribusi di berbagai forum, para kontributor yang berperan dalam hal lain juga, seperti membuat publikasi di berbagai bahasa berbeda di seluruh dunia. Apa hal seperti ini dianggap buta?

Keenam, tentang penurunan hashrate sebagai indikator sentralisasi, menurut pakar blockchain jebolan universitas Australia. Parahnya, mereka ini tidak pernah menyadari bahwa nilai total distribusi hashrate Bitcoin itu sudah melampaui ukuran EXAHASH di dunia. Faktanya, sudah sejak tahun 2013 silam total hashrate bitcoin sudah mencapai ukuran Exahash tersebut.

Hashrate Bitcoin

Penurunan nilai hashrate, bisa terjadi kapan saja, oleh banyak hal. Termasuk dengan kecakapan masing-masing mining pool saat mengelola aset dan manajemen keuangannya sendiri. Penurunan hashrate memang bisa memberikan dampak pada penurunan harga di pasar. Lantaran mining pool juga harus menyesuaikan dan beradaptasi untuk mengatur dan mengelola aset itu berdasarkan kondisi yang ada.

Hal itu disebut sebagai sebuah proses yang penuh kewajaran. Perbedaannya adalah sampai dimana penurunan hashrate itu. Saat ini saja, besaran hashrate Bitcoin masih mencapai total 105 Exahash lebih. Ingat, ukurannya EXAHASH, bukan Petahash lagi.

Penurunan hashrate yang terjadi sekitar 26–27 maret lalu, itupun masih mancapai 69,2 Exahash. Sementara harga bitcoin saat itu masih di sekitar USD 6.500 — USD 7.000 per BTC. Artinya, pada dasarnya harga bitcoin yang ada saat itu masih mencukupi untuk biaya operasional miningnya.

Dalam analisa yang dibuat oleh Blockware terkait potensi sell of miner, cukup apik memberikan gambaran bagaimana relevansi penambang terkait dengan besaran harga Bitcoin yang ada. Artinya penambang jelas membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan situasi pasar juga. Terlebih dalam menghadapi momentum halving bitcoin.

Sederhananya, ulasan hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa penambang masih tetap bisa beradaptasi. Mekanisme naik turun hashrate, akan berkaitan pula dengan mekanisme naik dan turunnya tingkat kesulitan pertambangan. Mekanisme ini memberikan perimbangan yang cukup fleksibel atas kondisi penambang.

Teknisnya, ketika hashrate turun akan dapat memicu penurunan tingkat kesulitan pertambangan. Sehingga ekosistem pertambangan menjadi lebih dinamis, dan memicu kembali para penambang. Buktinya, selepas penurunan hashrate yang terjadi, hashrate di tanggal 2 7 pun kembali naik hingga mencapai 112 Exahash lebih.

Ketujuh, menyebut Fiat lebih baik. Berikut ini adalah cuplikan tulisan yang terkait:

“Maka, bukankah hidup lebih mudah dengan menggunakan uang fiat?”

Dalam hal ini, entah apa yang mau dia tonjolkan dengan mekanisme suntik-menyuntik uang baru dalam mata uang FIAT. Dengan kondisi yang ada sekarang, sungguh aneh untuk bahkan menyebut uang fiat membuat hidup lebih mudah.

Meme ini saja sudah cukup mewakili.

--

--