Permainan Monopoly dan Kapitalisme

Gosong
4 min readFeb 7, 2023

--

https://pin.it/7hQKzMa

Siapa yang tidak pernah memainkan permainan Monopoly? Untuk anak-anak generasi 90-an sampai 2000-an awal mungkin masih familiar dengan permainan tersebut. Permainan yang menuntut setiap pemainnya untuk memiliki properti sebanyak-banyaknya untuk bisa memenangkan permainan tersebut. Dan apabila kita tidak memiliki properti maka kita akan kalah, atau biasa disebut dengan bangkrut dalam istilah Monopoly.

Monopoly diciptakan oleh Elizabeth Magie atau biasa dikenal sebagai Lizzy Magie pada tahun 1903. Lizzy Magie lahir di Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1866. Lizzy Magie adalah aktivis yang menentang bagaimana sistem perbudakan yang terjadi di Amerika Serikat, terutama perbudakan terhadap wanita. Ia menganggap bahwa wanita juga memiliki ambisi, keinginan, pemikiran, dan harapan.

Lizzy Magie hidup dalam keluarga yang memiliki keteguhan berpolitik. Ayahnya bekerja sebagai pemimpin surat kabar di Illonois dan menjadi rekan Abraham Lincoln dalam mengelilingi Amerika pada tahun 1850-an. Ayahnya yang pertama kali mengenalkan buku berjudul Progress and Poverty karya Henry George yang kemudian menjadi prinsip Lizzy Magie dalam melihat suatu sistem ekonomi politik.

Lizzy Magie terinspirasi dari teori Henry George yang menyatakan pemilik modal yang seharusnya membayar pajak bukan tenaga kerja yang membayar pajak. Teori tersebut diyakini akan menurunkan angka kemiskinan di suatu wilayah. Lizzy Magie yang merasa kesulitan untuk menyokong kebutuhan hidupnya karena upah yang diterima hanya 10 Dollar perminggu setuju dengan pernyataan tersebut.

Pada akhirnya tahun 1903 Lizzy Magie berhasil menciptakan permainan yang bernama Lanlord’s Game (sebelum berkembang dan di ubah nama menjadi Monopoly oleh Charles Darrow). Ia menciptakan permainan tersebut bukan tanpa alasan. Melalui permainan tersebut ia menyindir para pemilik-pemilik modal yang menekan para buruh dengan upah yang tidak layak.

Secara pribadi saya menyukai permainan Monopoly. Bermain monopoly amatlah seru dan mengasyikan bagi saya. Namun setelah saya bermain berkali-kali, ternyata permainan tersebut sangatlah dekat dengan apa yang terjadi di masa sekarang. Seperti yang saya jelaskan diatas tadi, bahwa setiap pemain dituntut untuk mengumpulkan harta kekayaan untuk memenangkan permainan.

Kita bisa secara bebas membeli properti yang disediakan di dalam permainan tersebut. Properti yang kita miliki akan di akumulasi menjadi sumber kekayaan kita. Dan jika ada pemain yang tidak mampu menyaingi pemain lain pada kekayaan properti, maka pemain tersebut akan mengalami kebangkrutan dan kalah.

Sistem permainan Monopoly dan kapitalisme yang berkembang saat ini memiliki beberapa kemiripan. Yang pertama adalah kebebasan setiap pemain (manusia) untuk melakukan kegiatan ekonomi. Jika dikehidupan nyata kita harus dituntut untuk memiliki modal (uang) untuk bersaing dan bertahan hidup. Jika kita tidak memiliki hal tersebut, dapat dipastikan kita akan kalah bersaing dengan manusia lain.

Saya menganggap para pemilik modal di masa sekarang ini sebagai pemenang permainan Monopoly. Sementara yang kalah (bangkrut dalam Monopoly) adalah tenaga kerja. Pemilik modal bisa melakukan akumulasi kekayaan melalui tenaga kerjanya. Pemilik modal juga akan melakukan monopoli terhadap tenaga kerja.

Implikasinya adalah tenaga kerja akan selalu di eksploitasi oleh pemilik modal. Akumulasi-akumulasi pemilik modal, tidak hanya didapatkan dari keuntungan atau laba dari perusahaannya. Namun pemilik modal bisa mengumpulkan akumulasi kekayaan dari tenaga kerja.

Karl Marx memiliki teori yang bernama nilai lebih. Dia mengatakan bahwa pemilik modal melakukan pengisapan terhadap tenaga kerjanya melalui jam kerja. Misalnya tenaga kerja diharuskan bekerja selama delapan jam. Hal tersebut harus dilakukan oleh setiap pekerja untuk memenuhi keinginan pemilik modal dan untuk mendapatkan upah hasil dari dia bekerja.

Namun dalam empat jam bekerja, tenaga kerja sudah bisa mendapatkan upah dari hasil produksi yang dia kerjakan dalam waktu tersebut. Tenaga kerja masih memiliki waktu empat jam tersisa untuk bekerja dan hasil yang dia kerjakan adalah keuntungan yang diambil oleh pemilik modal. Tenaga kerja secara tidak sadar memberi tenaga secara cuma-cuma untuk sang kapitalis

Belum lagi pemilik modal akan selalu menekan upah dari tenaga kerjanya karena pemilik modal harus mengkumulasikan kekayaannya untuk bersaing dengan pemilik modal lainnya. Dengan sistem seperti itu tenaga kerja tidak memiliki cukup power untuk melawan pemilik modalnya. Tenaga kerja juga sangat rentan terkena PHK jika melawan pemilik modal.

Hal seperti itu yang menyebabkan tenaga kerja tidak bisa hidup sejahtera. Banyak hak-hak yang seharusnya dimiliki tenaga kerja, namun tidak bisa didapatkan secara utuh oleh tenaga kerja. belum lagi ditambah dengan “perselingkuhan” antara pemilik modal dan pemerintahan negara.

Kalau di Indonesia kita sebut saja dengan UU CIPTAKER yang tampak sekali bagaimana negara memihak kepada pemilik modal. Bisa dilihat dari isi UU tersebut yang dimana UU CIPTAKER sama sekali tidak memihak kepada tenaga kerja, namun berpihak kepada pemilik modal. Dengan dalih membantu pendapatan negara dan menciptakan lapangan kerja yang baru.

Monopoly dan kapitalisme sedikit memiliki kesamaan. Banyak hal-hal yang bisa kita pelajari tentang bagaimana kapitalisme bekerja di kehidupan kita. Namun pada kenyataannya kapitalisme lebih kejam dari apa yang kita mainkan di Monopoly.

--

--