Timpang Kebijakan Agraria — terheran-heran

Afra Izzati Kamili
1 min readJan 9, 2024

--

Negara kita ini luas, terdiri dari lautan dan daratannya. Kita berhasil meraih kemerdekaan yang dipimpin oleh para pendahulu kita. Tapi kemerdekaan itu tidak menjalar dengan cukup cepat dalam mengelola aset-asetnya, termasuk diantaranya adalah lahan.

Di era Soekarno dulu, lahan-lahan yang tidak jelas legalitas hukumnya diambil alih menjadi milik negara denga UU Pokok Agraria, walaupun di atasnya sudah ditinggali oleh beragam suku selama ratusan tahun.

Apakah ini menjadi suatu masalah?

Dalihnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Petani, yang saat itu mencakup 80% masyarakat, diberi kesempatan untuk menjamin hak atas tanahnya dengan adanya UU PA. Bagus sebenarnya. Tapi ketika memasuki orde baru, fokus penyelenggaraan reforma agraria ini bergeser dari yang awalnya untuk aspek penguasaan tanah menjadi untuk meningkatkan produksi pangan yang diiringi dengan Revolusi Hijau.

Hari ini kita bisa melihat penyelewengan yang kian memburuk.

  1. Tanah-tanah negara ini dianggap milik oleh “pemerintah” dan bebas digunakan untuk memenuhi agenda pembangunan “pemerintah”. Setahun kemarin saja sudah ada 28 ribu keluarga, itung dah 1–1 pakai jari, yang jadi korban konflik lahan akibat proyek infrastruktur. Kasus Rempang dan Anyer dalam contohnya.
  2. Hak atas tanah (Sertifikat) itu tidak pernah bisa turun ke masyarakat karena sudah jadi aset pemerintah. Penduduk setempat harus “beli” ke pemerintah kalau mau dapat legalitas lahannya. Sebagian besar justru kelas menengah ke bawah yang tidak mampu untuk menebus tempat tinggalnya ini. Kasus surat ijo di Surabaya contohnya.
  3. Di sisi lain, lahan-lahan ini dengan mudah diperoleh sebagian kecil untuk kepentingan kelompok tertentu. Kasus pemutihan 3 juta lahan sawit contohnya.

Timpang. Heran.

--

--