Di Hari yang Melelahkan Itu

L Mega
3 min readJun 24, 2016

--

Di hari yang melelahkan itu, malam malam kusibuk mencari pendonor untuk ibu yang harus di transfusi. Aku dan kakak kakakku mengumpulkan semua orang dari mulai keluarga, teman terdekat, bahkan sampai orang yang tak kita kenal sekalipun. Alhamdulillah malam itu kami berhasil mengumpulkan pendonor demi memperpanjang hidup ibu.

Di hari yang melelahkan itu, setelah sahur akupun bergegas untuk mandi dalam kamar mandi rumah sakit tempat ibuku rawat inap. Karena jam 5 pagi aku harus berangkat ke jakarta untuk urusan pekerjaan. Hari masih gelap, aku menyalakan starter mobilku menuju kantor dan siap bertempur untuk kembali ke bandung setelah hari mulai gelap kembali. Aku tertidur sepanjang perjalanan menuju jakarta, sebetulnya tak enak dengan rekan kantorku karena saat matahari terbit kami sudah terbiasa menerima text, call, chat berisi tentang pertanyaan pertanyaan mengenai pekerjaan yang harus diselesaikan. Mataku sangat berat, walaupun sudah kukumpulkan niat untuk melupakan permasalahan semalam dan tidak mengeluh saat bekerja. Akhirnya kami sampai di rumah klien di jakarta barat untuk meeting dengan beliau. Seperti biasa kami disambut oleh anjing peliharaannya yang keluar dari pintu rumahnya bersama seorang asisten rumah tangga. Dan seperti biasa aku dan temanku Menghindar dari kejaran anjing tersebut karena kami sama sama takut gigitan anjing. Setelah anjing itu ditangani oleh seorang asisten kamipun masuk kedalam rumah tersebut dan menyiapkan mental untuk berbagai macam pertanyaan maupun sedikit kemarahan kepada semua orang yang imbasnya kepada kami. Benar saja, setelah berkumpul dalam satu meja tersebut semua itu terjadi. Seorang perfectionist yang kecewa karena semuanya tidak berjalan sesuai dengan ekspektasinya. Cukup tak perlu kujelaskan secara detail siang itu. Rasanya ingin buru buru pamit dan tak mau melihat kemarahannya lagi hari itu. Kamipun keluar dari rumah klien tersebut dan bergegas menuju proyek kami di jakarta pusat. Dan belum ada di jakarta jika belum bertemu kehectican macetnya dan panasnya yang terik oh kota jakarta. Selamat datang di lalu lintas yang kacau, jarak antar kendaraan yang hanya se per sekian cm, selamat datang di belakang asap kopaja yang sering tiba tiba mobilnya mundur tanpa rasa bersalah, selamat berpuasa di jakarta. Sedangkan keluargaku di bandung mungkin berfikiran aku sedang berada di ibukota dalam ruangan berAC.

Setelah sore datang, kami sampai di proyek kami di jakarta pusat. Saya dan rekan berkeliling proyek tanpa helm maupun masker menyusuri tangga darurat tak ber railing yang baru berkeramik sebagian itu. Rasa haus menjalar di kerongkonganku bercampur debu proyek yang masuk melalui sela sela hidung. Belum lagi sakit kepala dan rasa mual yang menghampiriku saat ini. Aku anggap ini semua semacam ngabuburit menuju adzan maghrib. Tak terekspektasikan profesiku se-kuli ini saat aku berfikir 3tahun lalu saat aku berhasil lulus dari universitas. Entah ini jobdesk atau diluar jobdesk yang jelas jika sudah bekerja mau tak mau kita mengikuti sistem bekerja dalam kantor tersebut. Ya, saya nikmati saja kehectican ini.

Di hari yang melelahkan itu, beberapa menit menuju adzan Maghrib aku bersama rekan rekan kantorku pergi mencari tempat untuk berbuka. Aku dengan kepalaku yang terasa sangat amat berat ini berjalan cepat menuju tempat berbuka. Akhirnya kubeli sebotol air mineral dibawah jembatan penyebrangan untuk membasahi kerongkonganku karena adzan maghrib telah selesai berkumandang. Setelah sampai dan berhasil berbuka puasa, sakit kepalaku tak berkurang malah sakitnya bukan main dan mual seakan akan semua makanan berada diujung kerongkongan meminta dimuntahkan kembali. Semua kesakitan ini tak berkurang hingga aku memutuskan untuk tidur selama perjalanan pulang ke bandung. Pukul 10 malam kami baru bergerak dari jakarta pusat. Jakarta memang tak pernah tidur, masih saja bertemu kemacetan. Hingga akhirnya aku terbangun dan mendapati kami sudah berada di bandung pukul setengah 2 malam. Sedikit lega karena rasa mualku sudah hilang, hanya saja kepala ini masih saja terasa berat. Apa yang menempel sih dalam kepala ini? Seperti rasanya ingin membenturkan kepalaku ke dinding saja.

Di hari yang melelahkan itu, aku sampai dirumah. Aku takjub melihat ibu yang membukakan pintu di tengah malam dan melihat ia baik baik saja seperti tak terjadi apa apa di malam kemarin. Padahal baru saja ia hampir kehabisan darahnya. Ia tersenyum aneh mendapatiku baru pulang tengah malam begini. Akupun tersenyum aneh mendapatinya beraktivitas di jam tidur seperti ini. Namun dalam hati kami sama sama bersyukur karena melihat keadaan kami baik baik saja saat ini. Melihat ibu baik baik saja rasanya semua lelah ini terbayarkan. Ibu yang hanya bisa mengerti saat aku mengeluhkan sakit kepalaku saat ini. Ia tak banyak bertanya apalagi menghakimi, seakan akan ia mengerti tanpa perlu kuceritakan yang terjadi. Hanya ibu yang bisa seperti itu.

Di hari yang melelahkan itu, semua terbayar karena ibu, ada.

--

--

L Mega

If you wanna see the vulnerability of human being, read this.