When the silence makes me cry

Jinji
6 min readMar 9, 2024

--

Junkyu memutar setir mobilnya untuk masuk ke dalam area parkir pemakaman yang terlihat sepi sore hari itu. Hanya ada tiga kendaraan termasuk miliknya dan milik Haruto yang terparkir di sana, mungkin karena tidak ada perayaan khusus maupun hari libur yang mendekati. Pemakaman tersebut tidak begitu luas sampai-sampai Junkyu dapat melihat seluruh area tempat tersebut di bawah cahaya jingga yang mulai mewarnai langit. Di tengah-tengah itu semua, dirinya dengan mudah menemukan Haruto yang kini sedang berdiri tegak di depan sebuah makam yang dilapisi oleh keramik berwarna putih gading sambil memegang seikat bunga lily segar di tangannya.

Meskipun perasaan ragu sempat menggelayut di dalam hatinya, Junkyu tetap membawa kedua langkahnya untuk mendekati sosok lelaki yang menjadi pusat perhatiannya. Haruto, yang beberapa saat kemudian menyadari keberadaan Junkyu, memandangnya dengan ekspresi heran sebelum akhirnya tatapannya berubah melunak.

“Pasti Jaehyuk yang ngasih tau, kan?” Tebak Haruto, mencoba meraba-raba misteri di balik kedatangan Junkyu di hadapannya yang terasa mendadak.

“Tapi aku yang nanya sendiri kok.” Junkyu tersenyum lembut hingga Haruto bisa merasakan kehangatan dalam tatapannya saat ia membalas. Junkyu pun kemudian meraih tangan Haruto yang satunya agar kedua tangan mereka bisa saling bertautan. “Jangan ngambek ya, To. Aku cuma mau nemenin kamu.”

Bagaimana mungkin Haruto merasakan kemarahan tehadap orang yang dengan tulus ingin menemaninya? Haruto menanggapi Junkyu dengan sebuah senyuman sambil mengajaknya untuk beristirahat di sebuah tempat duduk kecil yang sengaja dibangun tepat di sebelah makam. Bunga lily yang sebelumnya Haruto bawa juga ia letakkan di atas peristirahatan terakhir ayah tercintanya.

“Pi, ini Ruto.” Ucap Haruto dengan setengah berbisik, seolah mengenang sosok yang kini tak lagi bersamanya. Sebuah keheningan melanda cukup panjang, menyiratkan rasa kehilangan yang masih terlukis jelas di balik untaian kata yang ia ucapkan.

Detik demi detik bergulir seperti air yang mengalir tiada henti. Tidak ada sepatah kata pun yang mampu terlepas dari bibir Haruto. Kedua matanya hanya terpaku menatap permukaan batu dengan sebuah nama yang terpampang nyata di hadapannya, seakan menjadi saksi bisu dari segala kenangan perjalanan hidupnya. Keheningan yang mengisi momen di senja itu meloloskan sebuah tangisan sunyi. Haruto merendahkan pandangannya agar dapat menyembunyikan ekspresi yang tak terbendung dari atasannya walau segala sesuatunya terlihat begitu jelas.

Junkyu yang tentu saja menyadari hal itu langsung menghapus jarak yang memisahkan dirinya dengan Haruto. Kedua lengannya mengitari badan Haruto, memeluknya dengan hangat sambil memberikan sebuah usapan lembut pada punggung lelaki yang lebih tinggi darinya itu.

“Halo, Om. Ini saya atasannya Haruto.” Junkyu mencoba menghibur dengan mulai berbicara sendiri di hadapan batu nisan milik ayah Haruto.

“Saya nggak tau Haruto udah cerita tentang saya atau belum. Tapi saya harap Haruto pernah cerita yaa, Om. Mengingat hubungan saya dan dia udah semakin deket selama beberapa bulan terakhir ini.” Ucapan Junkyu kini ditanggapi dengan sebuah kekehan singkat di sela-sela tangisan Haruto.

“Om, saya izin cerita sedikit yaa. Haruto tuh.. bukan cuma pekerja keras lho Om. Tapi dia juga sosok yang menyimpan kebaikan dan keramahan di kantor saya. Dia selalu menghargai setiap orang yang ada di sekitarnya tanpa pandang bulu, walau itu anak magang sekalipun. Bahkan yang lebih hebatnya lagi, anak Om ini sangat berdedikasi dalam nyelesain kerjaan-kerjaannya. Yaaa saya nggak tau juga sih aslinya dia ngomel-ngomel dalem hati atau nggak.”

Setelah mendengar ucapan tersebut, Haruto segera mengangkat wajahnya untuk menatap Junkyu dengan bibir yang sedikit merengut. “Aku kesel dikit sih kalo Mas lagi ngambek terus tiba-tiba ngoper kerjaan nggak kira-kira, padahal posisinya aku juga lagi banyak yang harus diselesain.”

“Oh, kamu nyadar?” Junkyu menggoda Haruto dengan sebuah seringaian. Ia kini benar-benar berusaha untuk mencairkan suasana.

“Nyadar lah!”

“Yaudah maafin aku yaa?” Ujar Junkyu sambil menyeka air mata Haruto dengan ibu jarinya sebelum memberi sebuah cubitan kecil di pipi. Keadaan seperti ini mengingatkan Junkyu pada sebuah kenyataan bahwa Haruto memang lebih muda darinya. “Udah ah, aku lagi cerita sama Papi kamu malah dipotong!”

Dengan senyuman yang mengembang di wajahnya, Haruto membiarkan Junkyu melanjutkan kegiatan berceritanya. Butiran air mata yang sebelumnya membasahi pipinya berganti menjadi rona merah muda. Haruto pun memilih untuk mengistirahatkan kepalanya di atas bahu Junkyu.

“Om, Haruto nggak pernah aneh-aneh kok di kantor. Kecuali sama saya sih, karena kadang anaknya jail dan hobi ngegangguin saya tiap lagi kerja. Tapi, tingkah dia yang kayak gitu justru bikin saya merasa lebih hidup dan seneng. Saya ngerasa hari-hari yang saya lalui nggak ngebosenin. Selama ini juga saya ngerasa diperhatiin banget sama dia. Om, you raised a good son and a gentleman meskipun Ruto harus kehilangan sosok ibu di umurnya yang masih kecil. Terima kasih udah ngebesarin Ruto dengan sangaaat baik hingga dia bisa memperlakukan orang lain dengan penuh kasih sayang seperti sekarang ya, Om. Pokoknya Om nggak usah khawatir lagi karena I’ll be the one who take care of your son just like he always takes such good care of me.

Junkyu menghentikan kalimatnya sejenak untuk menoleh ke arah Haruto yang kini menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Raut wajah tersebut tentu membuat Junkyu merasa tidak tega. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun menarik Haruto untuk masuk ke dalam dekapannya dan membuat Haruto menangis lagi dalam diam.

It’s okay.” Bisik Junkyu sambil menepuk-nepuk punggung Haruto. Ia merasakan sensasi tubuh Haruto yang bergetar di dalam pelukannya. “You can cry it out, To. Kangen ya sama Papi?”

Kepala Haruto bergerak kecil, mengisyaratkan bahwa jawaban atas pertanyaannya adalah iya. Junkyu pun memberikan sang lelaki kesempatan dan waktu agar dapat meluapkan segala perasaannya hingga tidak ada lagi yang tersisa.

Lelaki berkelahiran April itu mulai berbicara kembali ketika tangisannya mulai surut. “Mas, maafin aku.”

“Maaf untuk apa? Untuk nangis? Kenapa kamu harus minta maaf atas emosi yang lagi kamu rasain, To?” Junkyu menenangkannya sambil membelai halus rambutnya.

“Malu tau. Kayak anak kecil.”

Junkyu menggelengkan kepalanya sambil menangkupkan tangannya di kedua pipi Haruto. “Nggak. You can always embrace your emotions, To.”

“Mmmm. Kalo gitu sebentar ya, Mas.” Haruto bangkit dari duduknya dan maju ke depan agar bisa berada lebih mendekat dengan sang ayah.

Take your time, To. Aku selalu punya waktu untuk kamu.”

Mata Haruto kembali terpaku pada makam ayahnya. Ia mengawasi setiap huruf yang terukir di batu tersebut. Tak peduli seberapa baik dan menyenangkan kehidupannya saat ini, perasaan duka atas kehilangan sosok yang tumbuh bersamanya akan selalu melekat di sana, jauh di lubuk hatinya.

Pada akhirnya, dunia akan terus berputar dan waktu terus berjalan. Haruto harus tetap menerima kenyataan pahit bahwa kepergian adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup.

“Selamat ulang tahun, Papi. Semoga semuanya jauh lebih indah dan damai di atas sana yaa.” Gumam Haruto dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

Saat Haruto berbalik, pandangannya bertemu dengan tatapan Junkyu yang menatapnya dengan hangat dan penuh kasih sayang. Seketika ucapan panjang lebar lelaki di depannya itu melintas kembali di benak Haruto, membuatnya tersadar bahwa ia tidak pernah benar-benar kehilangan. Mungkin Tuhan memang merencanakan jalan hidupnya sedemikian rupa agar dapat belajar menerima dan menghargai setiap detik kehidupan yang ia habiskan di dunia ini meski dipenuhi liku-liku yang tidak terduga.

“Yuk pulang?” Haruto mengajak sang manajer untuk berdiri sambil meraih kedua tangannya yang disambut dengan senang hati.

Junkyu pun ikut bangkit kemudian memeluk tangan Haruto sebagai tanda persetujuannya. Mereka berjalan menuju kendaraan yang tidak terparkir jauh itu. “Nggak mau makan dulu? Memang kamu nggak laper?”

“Laper sih, mas. Tapi rasanya aku pengen makan mie aja deh.” Sebuah pinta sederhana dari Haruto membuat otak Junkyu melahirkan sebuah ide.

I can level it up for you! Asalkan kamu punya bawang putih, daun bawang, sama cabe rawit.” Junkyu memberi Haruto sebuah penawaran dengan wajah yang berseri-seri dan antusiasme yang sulit disembunyikan.

Then stay at my place tonight, will you?

Junkyu memutar kepalanya untuk melirik Haruto. “Perasaan aku cuma nawarin buat masakin kamu deh bukan nginep.”

“Jadi mas nggak mau ya?” Haruto memasang wajah penuh kekecewaan walau Junkyu tahu betul itu hanyalah akal-akalan semata.

“Yaudah iya aku nginep, nggak usah sulking kayak gituuu. Sekarang jawab dulu, menurut kamu mie yang paling enak rasa apa? Kalo kita nggak satu selera, aku nggak mau tidur dipeluk kamu.”

“Kari ayam lah mas. Gausah didebatin lagi ini mah.” Haruto menjawab dengan penuh percaya diri, ia tidak menyisakan ruang keraguan sedikit pun. Namun sayang, jawabannya tersebut bukanlah jawaban yang Junkyu harapkan.

“Ih, ayam bawang tau!”

“Ayam bawang mah rasanya terlalu light.”

“Tapi lebih enak dibanding kari ayam.” Pertengkaran sengit mengenai varian mie instan favorit mereka pun terus berlanjut bagaikan air laut yang sedang pasang dan tak kunjung surut. Kegiatan tersebut mencapai titik puncaknya saat keduanya sampai di depan mobil masing-masing.

Haruto sendiri berhasil melewati harinya yang cukup melelahkan, walau harus disertai dengan gejolak emosi yang naik turun bagaikan roller coaster. Tapi setidaknya, hari ini akan ia tutup dengan semangkuk mie hangat, ditemani oleh lelaki yang kini menjadi segalanya bagi Haruto.

--

--