Seorang saintis dari Eijkman Institute, salah satu institusi sains terbaik dunia, membuat status berikut:
Sedih n desperate. Barusan denger di Eijkman symposium, Indonesia “gawat” resistensi bakteri. Di kementrian bikin ‘wacana’ penanggulangan dan capaian, tapi realisasi jauh dari permulaan. Masalah balik lagi, budget terbatas (tidak dialokasikan/diprioritaskan -red), dan menunggu “decree”. Dan gitu masih bingung didebatkan ini decree harus dari presiden atau dari mentri koordinator. Saintis sudah meneliti jauh, mendeskripsikan recent problem, dan suggest solusi. Tapi nek pemerintahe ndlahom, yo podho ae, ga akan konkrit … Healah
Saya mempertanyakan salindia presentasi dan sumber analisisnya. Juga, saya berargumen bahwa tidak semua solusi “hasil riset” dapat diimplementasikan dengan mudah di skala negara, mengingat keterbatasan berbagai sumber daya. Responsnya:
Ga punya presentasinya. Itu statement dr pembicara stelah ada pertanyaan dr audience. Ada rekamannya di panitia siy. At least gw ga mengada2, krn status gw di-reshare ma org2 yg ada di tempat symposium itu n mndengarlan brg2, n ada comments afirmasi dr pejabat lembaga yg jg hadir di symposium itu.
Sekalian ngomen komen diatas, masalahnya, yg presentasi kmrn ini lembaga pemerintah utk darurat resistensi bakteri. So kerjaannya harusnya nyari solusi dan mengeksekusinya. Solusi sdh sejalan dg smw fakta dan support dr saintist. So tidak mengeksekusi program yg dibuat akibat ga ada budget adalah kemubaziran. Ngapain lembaga negara dibentuk klo cm kerjaanya bikin program nganggur?
Sebagai seorang system analyst, software architect sekaligus programmer yang harus selalu membuat solusi kontekstual dengan mempertimbangkan seluruh batasan yang diberikan — mis. tanggal rilis, spesifikasi fitur, jumlah anggota tim, kestabilan infrastruktur internet, batasan warna dan font untuk branding perusahaan, alokasi RAM dan clock-cycle CPU yang boleh dipakai — saya tidak setuju dengan konsep “solusi mubazir”. Respons saya:
Tentang kemubaziran, harusnya sejak awal lembaga ini dikasih tau semacam “Untuk proyek kesehatan nasional ini, SDM yang tersedia adalah x ribu orang, tersebar di masing-masing daerah dengan jumlah puskesmas x puluh dan anggaran tahun 2017 x miliar. Mohon berikan solusi-solusi dengan dampak tertinggi yang dapat diraih dalam batasan sumber-daya tersebut.”
Masalah dengan pendekatan para akademisi dalam niat-baik mereka merancang solusi adalah, menurut tradisi, cara kerja akademika itu sendiri adalah memecah sebuah sistem-tunggal menjadi puluhan komponen yang masing-masing diamati dan diukur secara terpisah. Dalam tata penulisan sebuah makalah, saintis wajib menulis bagian batasan masalah ‘kan?
Di dunia nyata, nggak ada yang namanya “batasan masalah”. Semua variabel berubah secara konstan — dan ikut memengaruhi hasil akhir — dengan bobot masing-masing. Persentase “bobot” sebuah komponen itu pun terus-terusan berubah. Mencabut dan memodifikasi sebuah komponen agar “lebih bagus” tidak menjamin komponen itu bisa disatukan kembali dengan sistem-tunggal-utama dan, kalaupun bisa disatukan, tidak menjamin sistem-tunggal-utama akan “lebih bagus” seiring dengan “makin bagus”-nya komponen-termodifikasi itu.
Dalam penjelasan versi computer-science-nerdy, ada konsep “no free lunch theorem”. Ringkasnya, untuk setiap “solusi”, sebenarnya ada yang dikorbankan. Menemukan “local optima” bukan berarti menemukan “global optima”, kecuali kalau konsisten pakai algoritma greedy di seantero aplikasi. Teka-tekinya adalah cara mencari “pengorbanan” yang paling kecil.
Masalahnya, sebelum mengajukan “solusi” dan melempar tanggung jawab ke orang lain, apakah kalian sudah memodelkan secara matematis apa saja yang akan dikorbankan dan apa saja yang akan didapat? Atas dasar apa kalian menganggap orang lain yang tidak mengikuti “standar” kalian sebagai “bodoh”?
Bedanya pintar dan bodoh adalah: Kalian menganggap “pintar” seseorang yang ngikutin pola pikir yang, bagi kalian, benar.
It’s a groupthink.
Jadi, tim presentasi yang ikutan kongkow dan ngeteh di simposium Eijkman dan para pemirsanya, please know that you’re not as useful as you think, and the government is not as useless as you think. (Actually, do you even think?)
Apa sih yang bikin kalian merasa layak disebut saintis? Jumlah mesin lab yang pernah kalian nyalain? Jumlah bahasa pemrograman yang pernah kalian ketik? Jumlah istilah Yunani dan Latin yang kalian tau terjemahan Inggrisnya? Kutipan makalah kalian itu mana? Kenapa nggak tampil di Facebook? Poster ilmiah kalian itu mana? Kenapa nggak ada di Twitter? Hasil ulasan kalian itu mana? Jadi debu di gudang perpus? Kertasnya dijual kiloan jadi topi-topian? Takut gagap menjawab waktu fondasi kesimpulan kalian dipertanyakan publik?
Akademispeak itu zona nyaman kalian. Kalian begitu yakin dan jumawa bahwa penggunaan istilah Eropa-Selatan itu suci dan membuat orang “awam” tidak berani menantang kalian. Apa bedanya sama pemuka agama yang memanfaatkan ayat-ayat untuk kesenangan dan keuntungan pribadi? Apa yang begitu sakral dari sebuah standardisasi material 8.5" x 11" sampai kalian harus menjadikannya satu-satunya cangkir ritual tempat meramu dan menyajikan ilmu?
Apakah rasa bangga kalian berasal dari jumlah istilah katabenuajauh-tersambunggabung yang kalian sanggup hafal? Kalau iya, kalian bukan saintis — hanya sekadar geng ekskul bahasa yang syarat manggungnya adalah ngumpulin PR berisi koleksi bongkarpasangpoles diksi-diksi Eropa yang sering dipakai anggota geng lainnya. Kalian cuma pamer racikan yang paling bikin mabok penonton; semua dilakukan karena ada iming-iming piala bernama bibliometrik, pengakuan semu dari sesama “saintis”.
Kalian seyakin itu Indonesia darurat bakteri? Cimex lectularius. Kalian seniat itu cari solusi “kedaruratan” ini? Phallus. Namanya darurat itu nggak perlu nelepon resepsionis RS nanyain jadwal praktik dokter, nggak perlu miloksin pintu rumah Bu Lurah bikin puisi tentang kedaruratan sambil goyang-goyang teatrikal bawa guling yang dibungkus kafan.
Kenapa nggak bikin narasi audiovisual tentang kombinasi bahan-bahan lokal untuk mengatasi kondisi “darurat bakteri” supaya bisa dipakai sampai pelosok Nusantara, direkayasa sedemikian rupa sehingga gampang dicerna, aman dan nyaman?
Kenapa nggak gambar diagram hubungan peta-tematik tanaman-obat-lokal-populer versus tabel data kontaminasi jasad renik? Bikin direktori bahan-baku lokal apa aja yang bisa dikumpulkan secara gotong-royong dan dipakai untuk P3K selama puskesmas masih dibangun. Cocokin pola distribusi perbekalan-farmasi sama jadwal kargo-logistik tiap kabupaten buat ngerancang jadwal bulanan pengiriman suplai obat.
Itu pun kalau obatnya cocok. Sama seperti kita punya mata dan warna rambut yang beda, tubuh kita pun memberi reaksi metabolisme yang beda terhadap obat, sesuai variasi genom. Dosis pil sakit kepala di Singapura sama Indonesia aja beda. Apa yang membuat kalian yakin karakter fisiologis orang-orang Nusa Tenggara cocok dikasih obat yang uji-klinisnya dilakukan secara eksklusif terhadap orang-orang Eropa?
Saintis yang sekolahnya dibiayain negara itu punya kewajiban bayar pajak intelektual dalam bentuk kontribusi pengetahuan ke orang sekitarnya. Jangan online cuma buat shitposting di medsos untuk mengamankan status kalian sebagai “sarjana” dengan cara ngegoblok-goblokin orang. Mana bisa anggaran pendidikan keliatan hasilnya kalo semua ilmuwannya kayak feses-kopulasi gini?
Kalian itu udah punya semua sumber dayanya, cuma males-malesan ngolah, nggak berani bertanggung jawab nginisiasi gerakan skala-besar, nggak mau keluar zona nyaman, dan rakus hujan pujian “Kamu pinter ya!” yang didapatkan dengan menimbun ilmu di kepala sendiri, sambil berharap teman dan tetangga pelan-pelan lupa bahwa triliunan rupiah pajak mereka dihabisin eksklusif buat nyekolahin kalian.
Saintis itu, kalau dikasih batu bata, bukan hanya harus bisa ngukur properti — volume, nama senyawa, kecepatan jatuh, teknik cetak, ketahanan banting, daya apung, resistansi listrik — tapi juga harus sanggup melihat seluruh potensi objek yang diamati — dalam hal ini dengan menuliskan 50 fungsi batu bata selain buat bangun tembok.
Yang bikin konsep “batu bata = bangun tembok” tersolder di kepala kalian itu gara-gara kalian dari kecil dicekoki informasi bahwa batu bata itu “normalnya” cuma buat bangun tembok. Apa bedanya sama anak SD yang cuma tau motif batik itu cuma Kawung dan pemandangan itu cuma sawah-gunung? Apa bedanya sama anjing yang cuma tau tulang itu cuma makanan dan bola itu cuma buat dilempar sama ditangkep? Apa bedanya sama kuda yang cuma tau rumput itu cuma buat dimakan dan ekor cuma buat ngusir lalat? Apa bedanya sama gorila yang ngamuk waktu liat kaca?
Gagang pintu nggak harus setinggi tangan. Aksara nggak harus representasi suara. Pembau nggak harus hidung. Sarapan nggak harus nasi. Senapan nggak harus mesiu. Saklar lampu nggak harus nyala-mati. Penunjuk waktu nggak harus angka. Warna dasar nggak harus tiga. Kertas nggak harus sobek. Meja nggak harus diam. Bara nggak harus panas. Keran nggak harus kaku. Tinta nggak harus basah. Kresek nggak harus berisik. Bersih nggak harus putih. Indah nggak harus senjahujankopi. Mewah nggak harus mahal. Bantal nggak harus di situ. Isi rumah nggak harus barang itu. Bijak nggak harus tua. Lincah nggak harus muda. Nama nggak harus kata.
Untuk jadi saintis, tantang semua informasi yang kamu tahu saat ini. Perhatikan semua unsur dan komponennya, simulasikan di layar — atau di kepala — apa saja kemungkinan rekayasanya. Apa yang akan kamu lakukan di hari kamu sadar kamu bisa mengubahsuai lingkungan sekitarmu hingga skala atomik? Otak kita adalah sumber daya alam yang tak terbatas; apa prosedur untuk menambangnya?
Para saintis sejati zaman baheula adalah mereka yang ngerti bahwa sebuah objek punya berbagai properti yang bisa dimanipulasi. Mereka adalah orang-orang yang “tahu” — serta bisa menggunakan dan menyampaikan pengetahuannya ke orang lain. Mereka “tahu” bahwa kerang Mediterania bukan cuma bisa “renang”, tapi juga bisa buat mengungukan kain. Mereka “tahu” kertas dan tali bukan cuma bisa “terbang”, tapi juga bisa buat mengundang petir. Mereka “tahu” butir pasir bukan cuma bisa “diinjak”, tapi juga bisa dibakar dan diwarna untuk hias jendela. Kalau mereka cuma “nurut” sama apa kata orang bahwa objek-objek tadi cuma benda “renang”, benda “terbang”, dan benda “diinjak”, nggak bakal ada pengetahuan baru dan nggak ada kemajuan peradaban manusia.
Dunia ini jauh lebih luas dari yang kita saat ini “tahu”. Kita ini masih primitif; kalian nggak nyadar aja.
Menelusuri, mengumpulkan, dan mengolah ilmu pengetahuan itu pekerjaan sekaligus peran mulia para saintis Indonesia; bukan cuma untuk kesenangan dan kebanggaan pribadi, namun juga sebagai utang — kepada bangsa dan negara, bahkan kepada dunia — yang cepat atau lambat harus dilunasi.
Buku nggak harus cetak. Lab nggak harus steril. Inovasi nggak harus asing. Canggih nggak harus mesin. Kanvas nggak harus kain. Galeri nggak harus luas. Istilah nggak harus Yunani. Neologisme nggak harus Latin. Sitasi nggak harus berformat ilmiah. Publikasi nggak harus rilis makalah. Harta nggak harus uang. Sekolah nggak harus ruang. Solusi nggak harus tunggal. Gelar nggak harus formal. Maju nggak harus disuruh. Mandiri nggak harus sendiri. Ajakan nggak harus perpu. Hadiah nggak harus sepeda.
Sains, teknologi, dan seni nggak harus pisah.
Amati. Temukan. Bangun.
side note
I fully understand he was frustrated because he was concerned about Indonesia’s future healthcare, but expressed it the wrong way — by policyshaming Pakde Jokowi — which I saw as an ethical breach of “scientific attitude”. That “anger” needs to be firefought before fuel-flaming unneeded polarizations between “scientist” and “government”.