Sebuah Tawaran — LITHE

RMey93
3 min readMay 15, 2023

--

“Eh tapi beneran loh, Mas,”

Nathan memasukkan paper bag ke jok belakang sebelum kembali mengalihkan atensinya pada Arseno yang sudah menyalakan mesin mobilnya.

“Mas Seno engga perlu repot-repot beliin aku baju-baju kayak tadi.”

“Tapi kamu suka kan?”

Nathan mendecih pelan.

“Siapa yang engga suka kalo di beliin baju Mas? Gilak aja kalo sampe aku engga suka. Aku cuma agak, sungkan?”

“Emang kamu bisa sungkan?”

Nathan mendelik.

“Ih Mas Seno! Gini-gini biar aku agak bar-bar bin ceplas-ceplos, aku masih kadang malu plus sungkan kalo udah di traktir. Apalagi keseringan sama Mas Seno gini.”

Cerocos tanpa jeda dari yang lebih muda memancing tawa sang Wijaya.

“Yang penting kamu seneng, saya udah ikutan seneng.”

Nathan dibuat bungkam sejenak. Gemuruh dalam dadanya perlahan bertalu tanpa memberinya peringatan.

Kikuk.

Mahasiswa muda itu mengalihkan atensinya pada jalanan yang tengah mereka lewati.

“Kamu lagi cari kosan baru?”

Pertanyaan Arseno memecah hening yang membekap mereka berdua.

“Kok Mas tau?”

“Evan yang bilang.”

“Pasti dari Mikael. Dasar mulut ember!” gerutu Nathan.

Arseno hanya terkekeh pelan mendengar kalimat bersungut emosi dari sang pemuda.

“Jadi? Udah nemu kosan yang cocok?”

“Udah sih, Mas,”

Nathan menyandarkan punggungnya dengan desah nafasnya yang panjang.

“Tapi kata temen-temenku tempatnya rusuh plus agak kumuh. Jadi mungkin aku mau nyari lagi yang lain besok.”

“Kamu bisa tinggal di rumah saya kalo kamu berkenan,”

Mengerjap dalam senyap, otak Nathan mendadak bekerja lambat melebihi biasanya.

“Hah?”

Hingga hanya sesahut kata kurang sopan yang keluar dari belah bibirnya. Arseno sendiri mencoba maklum akan respon sang pemuda. Jelas tawarannya tak pernah mampir di benak sang mahasiswa.

“Rumah saya luas. Dan saya tinggal sendirian. Ada beberapa kamar kosong yang bisa kamu tempati kalo kamu mau.”

“Mas Seno nawarin aku buat kos dirumah mas?” tanya Nathan memastikan.

“Bukan begitu maksud saya,”

Arseno terkekeh pelan.

“Tapi kalo kamu kepengennya begitu, saya juga engga masalah.”

Alis Nathan tertaut tak mengerti dengan kalimat sang arsitek barusan. Arseno menepikan mobilnya ke salah satu pelataran ruko yang tak jauh dari tempat kos sang pemuda. Nathan bahkan baru sadar jika mereka sudah hampir tiba di kosannya.

“Aku sih engga masalah mas. Tapi jangan mahal-mahal biaya sewannya. Aku engga sanggup.” ujar Nathan sembari mengulas cengir.

Ada kilatan asing yang Nathan tangkap dari sepasang iris sekelam jelaga yang menyorot tajam di hadapannya.

“Kalau saya minta biaya sewanya dalam rupa selain uang, gimana?”

Terkesiap, Nathan mengerjap beberapa kali. Ia tak bodoh untuk tidak mengerti apa yang di maksud sang lelaki Wijaya kini.

“Maksud Mas Seno?”

“Kita bisa memiliki apa yang teman kamu dan Evan miliki saat ini.”

Pendar serius dari sepasang jelaga itu membuat gemuruh dalam dada Nathan bertalu tanpa jeda.

“Kamu bisa tinggal di tempat saya. Bahkan saya akan pastikan kamu tidak kekurangan apapun dan bisa minta apapun kepada saya.”

Nathan tidak bodoh untuk tidak tahu kemana arah pembicaraan mereka saat ini. Namun pemuda itu tetap saja belum siap dengan perkataan Arseno berikutnya yang nyaris memutus detak jantung miliknya.

“Would you be my sugar-baby?”

--

--