Shamelessoull
4 min readAug 21, 2023

Kami Dulu, Sekarang, dan Selamanya.

Dulu kami pernah duduk di taman belakang rumah milik saya. Diam dengan saya yang tenggelam dalam barisan kata, dan dia yang sibuk tertawa bersama gawai kesayangannya.

Detik, menit, dan jam berlalu sampai saya mendengar suara lengkingan gerobak kue putu menyusuri jalanan komplek perumahan—penanda kalau kini sudah pukul lima sore dan sudah dua jam terlewati dengan kegiatan masing-masing. Saya beralih pandang dan menatap dia yang masih asik bermain di sebelah saya.

Mencoba agar dia tidak sadar kalau arah pandang saya berubah karena buku yang ada di tangan sudah tidak menarik untuk diurai.

Ada keheranan pada wajah saya, saat melihat dia tertawa kencang bercengkrama dengan temannya di ujung telepon. Bagaimana tidak? Dia ini, laki-laki penyuka ramai. Kesehariannya dipenuhi canda tawa, teriakan histeris, dan musik yang kerap menemani. Dia ini, selalu disuka banyak orang karena kelihaiannya dalam berbicara empat mata.

Jauh berbeda dengan saya yang lebih memilih berteman dengan sunyi, dan sembunyi dari hiruk pikuk keramaian. Saya ini kerap dijauhi. Tidak ada yang mau menemani seakan saya ini dapat menularkan penyakit.

Maka ketika dia yang jelas bertolak belakang hadir dan meminta izin untuk menemani, saya mau tidak mau keheranan.

Curiga saya letakkan penuh pada dia yang rela berteman dengan sunyi bersama saya. Tidak ada satu hari pun kepala saya berhenti bertanya, tentang dia yang rela terus di sisi, agar bisa bercengkrama dengan saya si putri membosankan. Tentang dia yang rela menyesuaikan diri, hanya karena saya tidak menyukai apa yang dia sukai.

Tentang dia yang mau berkorban, sampai rela kehilangan pertemanan.

Apa di kemudian hari dia tidak akan menyesal, saat sadar bahwa menemani saya tidak akan menghasilkan apa-apa? Apa dia tidak akan menyesal telah kehilangan banyak hal dihidupnya? Apa dia tidak menyesal pernah berteman dengan sunyi saat ramai sebenarnya lebih menjanjikan?

Maka sampai di kemudian hari dia terus memilih saya, otak saya tidak berhenti untuk menebak, kapan dan bagaimana cerita kami akan berakhir?

“Mai, serius. Memilih aku dibanding teman-teman kamu tuh, gak ada baik-baiknya untuk kamu. Mending kita berenti aja disini, dibanding kamu berkali-kali ngalah kayak gini” ujar saya dulu saat mencoba memaksa untuk mengakhiri. Sialnya, dia hanya membalas dengan senyuman manis dan kecupan lembut di pelipis untuk meyakinkan kalau dia baik-baik saja.

Membuat saya malah semakin curiga, kemudian berakhir menjadi ketakutan yang membuat saya semakin bergantung padanya. Saya merasa kalau dia sudah sepatutnya hanya bersama saya, dan membuat saya rela melakukan apa saja agar dia bisa terus bersama saya — tidak peduli seberapa hal itu dapat menyesakkan kami berdua.

Sudah tidak terhidung seberapa banyak teriakan yang berisi menuduh dikala dia jauh dari saya. Menghubungi sudah menjadi agenda rutin agar dia tidak menjauh. Melempar menjadi hal yang lumrah untuk melampiaskan ketakutan saya. Dan berujung saya yang tidak sungkan untuk mempermalukan dia di depan umum, supaya orang lain menjauh dan dia hanya menjadi milik saya seorang.

Anehnya, tidak habis sabarnya walau perlakuan saya semakin menjadi. Tidak ada amarah melainkan senyum di wajah, meskipun saya menghiraukan pandangan yang melihat dengan jelas bibir itu sudah tidak mencapai matanya. Tutur katanya semakin lembut, dan ucapan meyakinkan semakin sering ia perdengarkan, walau sebenarnya saya abaikan segala ragu yang terdengar dalam suaranya.

Dan semuanya dulu, membuat saya semakin hilang akal, sampai saya jadi menggila dan terus menggila.

Sampai kini saat saya melihat dia di ujung jalan. Berdiri tegap dengan tangan melambai untuk menyapa. Senyum manis tidak lupa disematkan di bibirnya kala memanggil agar mendekat — membuat saya tersenyum lemah melihatnya.

Ingin saya berjalan mendekat untuk merengkuhnya. Satu, dua, tiga langkah terlewati, sampai saya harus berhenti seketika. Karena seseorang sudah datang terlebih dahulu, melingkarkan tangan di pinggang dia erat, dan memeluknya seakan tidak akan ada hari esok datang — membuat saya seketika tersadar dengan kenyataan kalau kami sudah tidak lagi merajut cerita.

Dia sudah bukan milik saya lagi, begitu juga sebaliknya.

Mata saya melihat bagaimana mata mereka bertautan dengan sejuta cinta yang tidak bisa di artikan. Senyum tulus yang dulu ditunjukkan kepada saya seorang, kini diberikannya kepada perempuan lain, dan membuat saya hancur dalam sekejap.

Apa yang dia lakukan sekarang, merupakan apa-apa yang dia lakukan dulu kepada saya, dan pernah dijanjikan untuk tidak akan dibagi ke orang lain selain saya.

Hingga detik ini saya masih menyesal, kenapa saya membiarkan ketakutan itu melahap saya penuh. Membuat saya berbuat sejauh akal dan melukai hanya untuk terus mempertahankan.

Usaha saya untuk tidak berakhir, malah membuat kami terpaksa harus mengakhiri, agar tidak ada luka-luka lain yang tercipta.

Pada detik itu saya sadar, kalau dia sudah menyerah, dan kami harus kembali ke dunia masing-masing. Dengan saya yang berteman dengan kesunyian dan senyap, sedangkan dia memutuskan kembali ke bagaimana hidupnya dulu yang dipenuhi keramaian dan sukacita.

Dan pertemuan tidak disengaja sore ini di jalan Dharmawangsa, kembali menjadi pengingat diri. Kalau saya ini memang hanya perempuan gila yang tidak pantas dicintai, dan dia sudah sepatutnya lari untuk mencari kebahagiannya yang abadi.