Bitcoin sebagai akselerator transisi energi terbarukan di Indonesia

Andy Fajar Handika
6 min readJun 28, 2023

--

Mainstream media sering mengabarkan bahwa cryptocurrency dengan skema Proof of Work seperti Bitcoin tidak berguna bagi dunia secara makro, dan justru mempercepat kerusakan lingkungan karena menyerap energi yang sangat besar dalam transaksinya.

Tapi, bagaimana kalau sebenarnya yang terjadi adalah kebalikannya?

Click here for English version of this article.

(Btw kalau kamu sudah terlanjur skeptis terhadap kripto, please just skip this article.)

Transisi Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia

Dunia kini sudah bergerak menuju perubahan ke energi terbarukan, tetapi Indonesia sendiri tampaknya baru masih sedikit bergeming. Negara kita masih bergantung terhadap energi fosil, dan menurut data, di tahun 2021 hanya 18% yang menggunakan energi terbarukan.

Fossil fuels generate 82% of Indonesia’s electricity. The largest contribution comes from coal at 61% (190 TWh) of the total power mix in 2021. Gas generation produced 18%(56 TWh) and other fossil fuels 2.1% (6.7 TWh).

Combined, renewables produced just 18% of electricity. Hydro produced 8% (25 TWh) of electricity, and bioenergy 4.9% (15 TWh). Other renewables, mostly geothermal, produced 5.2% (16 TWh). Wind (0.4 TWh) and solar (0.2 TWh) both only contributed 0.1%.

— dikutip dari: How does Indonesia’s JETB compare to net zero pathways?

Data dari https://ember-climate.org/app/uploads/2023/04/Global-Electricity-Review-2023.pdf. Sepertinya belum gerak kemana-mana sih pengurangan fosilnya.

Tapi kenapa?

Aliran air gratis, gravitasi gratis. Ombak laut gratis. Sinar matahari juga gratis.

Apa sebenarnya masalah utama kita tidak bisa segera beralih dari energi fosil yang butuh ditambang dan pembangkitnya menghasilkan polusi tinggi?

Yang jelas problem utamanya bukanlah karena EBT (Energi Baru dan Terbarukan) itu mahal dan susah didapatkan, tapi karena ada mismatch secara geografis antara demand dan supply.

Pembangkit energi terbarukan harus selalu dibangun mendekat ke suplai energi. PLTA harus dibangun dekat sungai dengan debit air tinggi dan kontinyu. PLT-Ombak harus dibangun di laut. Di sisi lain, area dimana banyak potensi suplai energi ini tidak memiliki cukup demand atau pemakai listrik — karena populasi manusia terkonsentrasi di kota-kota besar.

Kondisi ini mengakibatkan biaya lebih tinggi dalam infrastruktur penyalur listrik pada Pembangkit Listrik EBT karena perbedaan letak geografis yang jauh.

Bandingkan dengan pembangkit listrik fosil seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga “Uap” —ini eufimisme dari tungku pembakaran batu bara btw), yang bisa dibangun di lokasi yang lebih dekat dengan konsentrasi populasi penduduk, dan secara struktur memang biaya pembangunannya lebih murah dan bahan bakarnya (batu bara) bisa dipindahkan dengan mudah.

Dengan bahasa ekonomi sederhana; CAPEX (Capital Expenditure — modal awal pembangunan) untuk energi terbarukan lebih mahal terutama infrastruktur penyalurnya, walaupun OPEX (Operational Expenditure — biaya operasional termasuk bahan bakar) lebih murah atau hampir gratis karena ya disediakan oleh alam (air sungai + gravitasi, sinar matahari, ombak laut, angin dll)

Sedangkan Pembangkit Listrik energi fosil memiliki CAPEX murah, tapi sebenarnya OPEX lebih mahal karena batubara butuh ditambang dan dipindahkan menuju lokasi pembangkit.

Pertumbuhan produksi listrik Indonesia yang masih didominasi oleh energi dari fosil. Data dari https://ember-climate.org/countries-and-regions/countries/indonesia/

Ujungnya ya hingga saat ini memang lebih gampang untuk dapat listrik dari fosil dibanding dari EBT.

Apa yang sudah negara lakukan sih sebenarnya?

Sebenarnya, melalui Perpres 1022 tahun 2022, Indonesia sudah melarang pembangunan PLT Fosil baru, dan negara via PLN telah menetapkan tarif pembelian listrik dari energi terbarukan lebih mahal dibandingkan listrik dari PLT Fosil.

Contohnya, untuk harga beli listrik dari PLTA berkisar dari US$6,74 sen/kWh hingga US$10,92 sen/kWh — yang lebih mahal dari harga jual komersial PLN

Artinya, ada insentif untuk investasi pembangunan pembangkit listrik EBT, karena secara hitungan produksi per watt nya akan dibeli dengan lebih mahal dibandingkan dengan energi dari fosil.

Tapi masalahnya; insentif ini hanya terjadi ketika ada demand yang cukup. Kalau harga mahal tapi ngga ada yang beli, ya sama saja dong.

Pertumbuhan pembangkit EBT masih sangat lambat, karena kecepatan pembangunannya tergantung dari pertumbuhan kebutuhan listrik masyarakat — yang sampai sekarang secara makro masih bisa diakomodasi oleh pembangkit listrik fosil.

Demand per kapita listrik di Indonesia yang paling rendah dibandingkan rata-rata dunia, Singapura, US, dan Malaysia. Source: https://ember-climate.org/data/data-tools/data-explorer/

Situasi ini menjadi seperti ayam dan telur; transisi energi nggak bisa cepat terjadi karena PL-EBT kurang cepat dibangun, sedangkan PL-EBT akan cepat dibangun hanya ketika ada demand yang tinggi atas listrik.

Indonesia need more electricity demand to accelerate energy transition.

Penambangan bitcoin sebagai solusi

Di sinilah sebenarnya desain dari Proof of Work Bitcoin (dan beberapa koin kripto lain dengan skema yang sama) bisa menjadi solusi atas masalah percepatan transisi energi ini.

Penambang kripto bisa menjadi “demand on demand” atas energi yang diproduksi oleh PL-EBT dimanapun lokasinya.

Alih-alih merusak lingkungan, penambangan bitcoin ini justru bisa membuat pembangkit listrik yang berada di lokasi terpencil naik utilisasinya hingga mendekati 100%. Artinya, bisnis pembangkit listrik menjadi masuk akal secara ekonomi, karena ada konsumen yang bisa menyerap produksinya secara maksimal.

Bitcoin bisa menjadi akselerator ke transisi energi baru dan terbarukan.

Tapi kalau listrik sudah diserap penambang bitcoin, lalu masyarakat pakai listrik dari mana?

Ini adalah miskonsepsi yang paling sering terjadi. Cukup banyak orang yang mengira bahwa penambangan bitcoin akan menyerap habis listrik yang ada, sehingga masyarakat umum nggak kebagian listrik — atau harus membayar harga yang mahal.

Begini penjelasannya:

Secara hukum ekonomi, penambang bitcoin selalu mencari listrik termurah — dan selama harga masuk akal, berapapun listrik yang ada akan selalu diserap. Data terbaru dari para penambang listrik di North America; rata-rata biaya listrik yang mereka bayarkan adalah 4 cent dollar per kWH — atau jauh lebih murah dari tarif dasar yang dibeli PLN ke masing-masing PL-EBT sesuai perpres di atas.

Artinya, ketika ada demand dari masyarakat via PLN, secara hukum pasar; PL-EBT akan dengan mudah mengambil sebagian suplai ke penambang bitcoin, dan menyalurkan listrik ke PLN yang bersedia membayar lebih mahal.

Penambang bitcoin akan memposisikan diri sebagai 2nd buyer atau demand balancer, karena mereka hanya akan menyerap berapapun listrik sisa yang tidak terpakai (dengan harga yang lebih murah).

It’s a win-win situation.

Menyerap energi tidak terpakai, mulai dari Aceh

Minggu lalu (Juni 2023), saya terlibat dalam ekspedisi singkat ke Taman Nasional Gunung Leuser — untuk survey langsung ke 2 pembangkit mikrohidro bernama Aih Nengar 1 & 2 yang saling berdekatan, di daerah Gayo Lues dengan kapasitas masing-masing 1 dan 5 MW.

Pembangkit listrik di Perlak, wilayah Blangkejeren, kabupaten Gayo Lues, Aceh.

Pembangkit ini dibangun beberapa tahun lalu, saat cakupan jaringan PLN belum sampai ke daerah ini. Jika memakai standar manja kita yang terbiasa di pulau Jawa — lokasinya ini bisa dibilang “jauh dari mana-mana”.

Lokasi PLTMH ini 10+ jam perjalanan dari Medan, kota transit saya bertolak dari Jakarta

Kedua PLTMH ini dibangun dan dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gayo Lues , dan telah beroperasi sejak tahun secara mandiri untuk mensuplai listrik di daerah tersebut. Ketika akhirnya jaringan PLN sudah masuk, sempat juga produksi listriknya dibeli oleh PLN.

Sayangnya— terkait masalah teknis dan tidak ada kebutuhan lagi yang urgent oleh PLN karena sudah tercukupi dari Pembangkit Listrik yang lain (guess what — it’s fossil based :D), maka keduanya tidak beroperasi lagi.

Disambut dengan ramah oleh pejabat setempat :)

Idenya sebenarnya sederhana dan sudah ketebak kan: menghidupkan lagi pembangkit listrik yang tidak beroperasi ini untuk menambang bitcoin, lalu menyerap lebih banyak lagi listrik sisa dari energi EBT yang ada di Indonesia.

Dengan utilisasi hingga 100% atas PLTMH di Gayo Lues, tentunya ini bakal menyumbang nilai yang cukup signifikan untuk pertambahan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten tersebut.

Lalu, untuk scale up dan menyerap potensi listrik hingga ratusan MW (yang ada di daerah ini saja, belum daerah lainnya di Indonesia), kami sedang merintis sebuah platform agar semua orang dari seluruh dunia bisa berpartisipasi dalam bitcoin mining dengan menggunakan listrik bersih dan murah dari EBT di Indonesia(lebih murah dari rata-rata listrik penambang bitcoin di negara lain), tanpa harus berinvestasi di mesin yang mahal, dan teknis pemeliharaan yang ribet.

Yaa — kira-kira sesuai dengan twit ini lah.

Link original twit. Disclaimer: saya bukan pemilih Ridwan Kamil (soalnya KTP-nya bukan di Jabar)

Artikel berikutnya akan menjelaskan detil tentang apa dan bagaimana platform ini bekerja. Stay tuned.

P.S.
Jika ada yang tertarik atas ide ini, mau sekadar berdiskusi, atau malah ikut berinvestasi awal di platform yang sedang kami bangun ini, please do contact me on twitter: @TalkinAndy

--

--

Andy Fajar Handika

Founded Kulina, Netra, now building a bitcoin mining platform