Willy
6 min readOct 20, 2023

Wina duduk di kursi ruang tamu dengan satu kaki naik keatas meja, satu tangannya memegang kaleng soda, ia menoleh kearah pintu utama yang terbuka. Istri beserta anaknya baru saja pulang.

"Bwowinn" teriak anak laki-laki berusia 4 tahun, Keenan. Iya, Keenan memanggil Wina dengan sebutan Bwowin, yang berarti 'bro Wina' entahlah, Wina sendiri yang memintanya.

Wina berjongkok dan merentangkan tangannya kearah Keenan, meminta pelukan dari anaknya itu.

"Halo sayang, come here and lemme hug you." Keenan berlari kearah Wina, memeluknya dan mengecup pipinya.

"Did you just get home, Bwo?" Keenan melepas pelukannya dan menarik Wina untuk kembali duduk di sofa, anak kecil itu meminta Wina mengangkatnya agar ia bisa duduk dipangkuan Wina.

"Iyaa sayang, Bwo baru aja pulang." Wina melihat kearah Karin yang sibuk dengan beberapa barang bawaannya.

"Can I help you, mommy?" Tanya Wina, Karin hanya menggeleng dan berlalu pergi kearah dapur.

Wina mengerti, mungkin Karin ingin mengambilkannya minuman.

"Tadi makan apa diluar?" Tanya Wina pada anaknya yang sibuk bermain dengan kancing blazernya.

"Pancake and ice tea." jawab Keenan seadanya, anaknya itu bisa dibilang sangat irit berbicara, tidak seperti Wina ataupun Karin, Keenan lebih cenderung pendiam.

"Ice tea? Keenan minum es?" tanya Wina, lagi. Keenan hanya menjawabnya dengan anggukan kecil, anak itu terlihat takut pada Wina.

"Hey, kenapa nunduk gitu? I'm not mad at you, boy." Wina mencium kening anaknya dan membuat Keenan tersenyum lebar "Bwowin is not mad at me? Really?" Wina mengangguk mendengar pertanyaan anaknya itu.

Wina terus menanggapi ocehan anaknya yang sebenarnya tidak penting itu, namun bagaimanapun juga ia harus meresponnya dengan baik, ia tidak mau anaknya itu merasa takut untuk mengekspresikan sesuatu.

"Keenan, sini sayang." panggil Karin yang baru saja duduk disamping Wina. Keenan dengan cepat turun dari pangkuan Wina dan berpindah ke pangkuan Karin.

"Where's my drink?" tanya Wina, Karin menunjuk kearah meja yang terdapat segelas teh hangat dengan sepiring roti bakar.

Wina tersenyum tipis lalu mulai memakan roti bakar buatan istrinya itu.

"Mommy, Keenan ngantuk," ucap Keenan lirih sembari menyenderkan kepalanya ke dada Karin. Karin mengelus pelan kepala anaknya, mengecup keningnya "Keenan tidur ya sayang, mau ditemenin Mommy atau gak?" tanya Karin, Keenan tampak sedang berpikir.

"Keenan ngantuk sayang? Keenan gak mau ikut Bwowin pergi?" tanya Wina

"Mau kemana? Anak kita ngantuk sayang, kamu jangan ajak dia pergi kemana-mana ah, dirumah aja. Kalo kamu mau pergi mending pergi sendiri." iya, omelan seperti ini sudah biasa Wina dengar, Karin menjadi ibu yang sangat protektif kepada anaknya, terutama jika Keenan mengantuk, ia akan dengan siaga menemani anaknya itu hingga tidur dan tak segan meninggalkan semua pekerjaannya ketika Keenan mengatakan bahwa ia membutuhkannya.

"Ke makam Kak Irena, aku mau pergi kesana sayang. Kak Lisa ngajak Kak Jen sama Edgar juga, I think it would be better kalo kalian ikut juga," ucap Wina, ia menatap Karin dengan sedikit tatapan memohon disana. Sejujurnya, Wina sangat menginginkan Karin dan Keenan untuk ikut sekarang ini, entah mengapa tapi perasaannya mengatakan seperti itu.

"Wouldn't mind if me and our son came too?" tanya Karin

"Gapapa sayang, aku yang ngajak. Lagian Kak Lisa juga nanyain Keenan tadi. Sama sekalian.. I want to see someone." Wina menunduk, ia menghindari kontak mata dengan Karin.

"Siapa?" Karin menepuk pelan bahu Wina, ia yakin ada sesuatu yang istrinya itu pikirkan. "Kak Jisya, aku udah 2 bulan ini gak jenguk dia. Kalo kamu gak keberatan, aku mau ajak Keenan juga buat ketemu Kak Jisya pertama kalinya," ucap Wina

Karin terdiam sejenak, ia seketika menyadari sesuatu, tepat hari ini sesuatu yang terjadi. Dimana transplantasi ginjal dan hati yang dilakukan oleh Wina dan kematian Irena akibat pendarahan hebat pasca operasi.

"Hari ini tepat 7 tahun ya?" tanya Karin dan Wina menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Sayang, aku mau ikut. Kita ajak Keenan, kita ajak dia ketemu sama Kak Jisya. I want to see her, aku kangen Kak Jisya." mata Karin mulai berkaca-kaca, dengan cepat Wina merangkul istrinya itu, memberikannya ketenangan.

"Mommy, you want to cry?" Keenan menyadari jika Mommy nya itu tengah menahan air mata, dengan cepat Keenan mengulurkan tangannya, mengusap pelan pipi Karin. "Mommy, don't cry, okay? i'm here and Bwowin here too, mom." Keenan membuat Wina tersenyum, ia selalu mendidik anaknya itu untuk tidak membiarkan Karin menangis sedikitpun.

"No, mommy gapapa sayang. Keenan ikut mommy sama Bwowin ya, kita ke makam onty Irena, Keenan inget kan?" Karin mengusap pipi Keenan dan mencubitnya pelan, gemas.

Keenan mengangguk "inget, Mommy. Onty yang selamatin Bwowin ya?" Wina dan Karin kompak mengangguk.

“Gue sekalian mau jenguk Kak Jisya, lo mau ikut gak?” tanya Wina begitu mereka semua selesai berdoa di pusaran milik Irena.

“Hari ini?” Wina mengangguk menanggapi balasan dari kakaknya itu.

“Yauda, boleh. Gue juga kangen sama Kak Jisya.” Lisa merangkul pinggul Jennyta, mengecup keningnya beberapa kali. Hal itu membuat Wina memalingkan wajahnya. Mesum tidak tau tempat, pikirnya.

“Edgar, Keenan, jangan lari-lari sayang.” peringat Jennyta sedikit berteriak. Ia melihat Edgar dan Keenan berlarian kesana kemari.

Keenan dan Edgar langsung berhenti, mereka berjalan mendekat kearah orang tuanya masing masing. Keenan memeluk Karin dengan manjanya, merasa sedikit dimarahi membuatnya seperti itu.

“Keenan, onty Jen gak marah sayang. Disini gak boleh lari-lari ya.” Karin memberikan penjelasan singkat dan langsung diangguki oleh Keenan, anaknya itu memang sedikit sensitif, namun Keenan juga termasuk anak yang sangat mudah diberi nasehat.

“Sekarang aja ya, takutnya kemaleman.” ajak Lisa, semuanya mengangguk.

30 menit perjalanan, mereka semua tiba di depan gerbang besar bertuliskan ‘Rumah Sakit Jiwa’

Iya, Jisya mengalami gangguan jiwa selama 7 tahun terakhir. Setelah Wina dinyatakan sembuh dari penyakitnya, Jisya mulai mengalami gangguan jiwa sampai pada akhirnya Lisa memutuskan untuk memasukkan kakaknya itu ke RSJ.

“You’ll be okay, right?” tanya Lisa, ia merangkul pundak Wina, ia tau adiknya itu tidak pernah siap ketika menjenguk Lisa, Wina akan selalu merasa terpukul dan menyalahkan dirinya sendiri.

“Sayang, you’ll be fine, right?” Karin yang dibelakangnya menanyakan hal yang sama, Wina hanya mengangguk dan mulai berjalan, memasuki pekarangan rumah sakit jiwa dengan pemandangan beberapa pasien yang tengah duduk duduk di taman.

Langkah kaki Wina terhenti, matanya tertuju pada seseorang yang duduk sendirian dilantai lorong rumah sakit, air matanya perlahan turun, tak bisa dipungkiri bahwa dirinya masih sangat terpukul akan fakta bahwa Jisya gila.

Wina perlahan mendekat menghampiri Jisya, sesampainya ia di depan Jisya, Wina berjongkok mensejajarkan posisinya dengan Jisya.

“Kak.” Panggilnya lirih, yang dipanggil mendongak dan tampak bahagia melihat siapa yang memanggilnya barusan.

Mereka melakukan kontak mata beberapa detik, hal itu mampu membuat Wina kembali teringat alasan Jisya menjadi seperti ini.

Flashback

“Biarin gue jelasin dulu, lo diem dan cukup dengerin gue.” Irena menatap tajam kearah Jisya, keduanya tengah duduk di bangku yang berada tepat di depan ruangan Wina.

Jisya hanya mengangguk

“Kita gak punya banyak waktu kan? Gue udah gak bisa keep ini sendiri, terlebih Wina makin parah kondisinya.” Irena memegang kedua tangan Jisya, mengelus punggung tangan wanita tersebut.

“Kak, kenapa?” tanya Jisya khawatir.

“Harusnya Wina sembuh, harusnya dia gak separah ini, dokter Talitha.. Dia orang suruhan gue buat bikin kondisinya Wina makin parah,” ucap Irena. Jisya terdiam, maksudnya apa? Mengapa Irena tiba-tiba mengakui perbuatan semacam ini?

“Kak, maksud lo apa? Jangan becanda deh.” Jisya mulai gusar, ia mulai menatap tajam kearah Irena.

“Gue gak becanda. Gue ngelakuin itu karna ngerasa dendam ke Wina, dia udah bikin Egi menderita selama hidupnya, dia udah bikin Egi hampir gila, adek lo itu pembawa sial.” Irena membuat Jisya marah, satu tamparan mendarat di pipinya.

“Brengsek, lo tau kalo Egi yang salah, kenapa dendamnya sama Wina, lo gak puas Kak? Dia udah menderita dari kecil. Anjing lo!” Jisya mengucapkannya setengah berteriak, emosinya seketika naik. Jisya berdiri, ia memegang pundak Irena, mencengkramnya cukup kencang.

“Bahkan Egi bukan Kakak kandung keluarga Aswangga dan lo jadi dendam cuma karna dia? Otak lo dimana Kak?” Irena diam sebelum akhirnya ia menepis tangan Jisya dan ikut berdiri berhadapan dengan Jisya.

“Asal lo tau ya, bukan cuma Egi anak angkat di keluarga Aswangga, tapi lo juga. Gue gak bilang karna kasihan ke lo semua, bahkan kalo lo inget, golongan darah lo beda sama orang tua lo itu.” Irena menutup mulutnya rapat-rapat setelah menyadari apa yang ia katakan barusan.

“Maaf Jisya, lo harus tau kenyataan ini sekarang. Maaf.” Irena menunduk.

“Biarin gue tanggung jawab, biarin gue jadi pendonor buat Wina. Dan satu hal lagi yang harus lo tau, gue orang yang nyuruh Egi buat bunuh diri, gue gak mau dia menderita terus terusan karna masalah yang seharusnya bukan jadi tanggung jawab dia.”

Flashback end.

Itu menjadi alasan utama seorang Jisya mengalami gangguan Jiwa, kenyataan bahwa ia ternyata juga anak angkat dari keluarga Aswangga membuatnya merasa bersalah bahkan merasa hina. Entah mengapa, tapi Wina bisa memahami betapa sulitnya menerima kenyataan pahit seperti itu.

“Sama siapa?” tanya Jisya dengan nada bahagianya

“Sama Kak Lisa, Kak Karin, Kak Jen, Edgar, terus juga ada.. Keenan.” Wina menunjuk satu persatu orang yang berdiri tak jauh dari sana.

Sore itu, mereka semua menghabiskan sisa hari di rumah sakit jiwa. Menceritakan ulang perjalanan panjang mereka selama 7 tahun terakhir.

Kehidupan Wina sangat buruk sebelumnya, namun ia bersyukur bahwa pada akhirnya, seseorang bernama Clarin Ellison hadir dalam hidupnya, membuat hidupnya jauh lebih baik dari sebelumnya. Jangan lupakan kehadiran Keenan Aswangga yang membuat Wina semakin bahagia.

Ingatkah kalian, Wina tidak pernah bisa menggantikan dunianya, tidak akan pernah bisa menggantikan sosok Clarin Ellison di hidupnya.

Kisah keduanya berakhir bahagia meskipun mereka mengorbankan banyak hal, tapi bukan kah pengorbanan selalu ada dalam proses bahagia seorang manusia? Iya, keduanya sadar tidak ada kebahagiaan yang sempurna tanpa adanya pengorbanan yang luar biasa.

“I love you my universe.” - Wina Aswangga

“I love you too, my Taylor Swift fan.” - Clarin Ellison