Xiaojmnaa
4 min readJul 3, 2023
  1. Life is money
1. Life is money

Aku tidak akan memulai cerita ini dengan perkenalan nama layaknya murid pindahan yang dipajang di depan kelas, menjadi tontonan dan diinterogasi macam-macam.

Oh. Dari impresi pertama ini mungkin kalian akan menganggapku orang yang tidak tahu sopan santun. Anggaplah aku sesukamu karena impresi pertama belum tentu tepat. Selalu begitu.

Jangan mengernyit seperti itu. Tersenyumlah menyambut ceritaku yang akan aku buka seperti cerita pendek anak-anak yang biasa kau lihat semasa sekolah dasar–yang selalu dibuka dengan judul. Sudah berapa lama itu?

Oke, kembali ke ceritaku.

Di sini aku akan membagi satu ceritaku. Kalian pasti bertanya untuk apa aku repot-repot menceritakannya? Karena, cerita ini berkesan–setidaknya bagiku. Akan kuberi tahu judulnya dan kau pasti akan segera menangkap kenapa aku mau repot-repot menceritakannya.

Cerita ini berjudul, The Last Adventure atau dalam bahasa gaulnya Petualangan Terakhir.

Oh, tidak. Tidak. Ini bukan saatnya menangis. Jangan tunjukkan wajah sedih itu di awal cerita. Oh, gosh! Aku bahkan belum memulai ceritanya dengan benar!

Judulnya memang terdengar... mmm... sedih. Tapi sungguh ini bukan cerita tentang kematian. Bisa aku jamin tidak akan ada yang mati di akhir cerita ini. Sekarang, aku akan mulai bercerita.

Selamat menikmati.

Namaku, Na Jaemin. Lelaki berusia 23 tahun, sehat, masih waras meski tidak memiliki pekerjaan, tapi setidaknya aku memiliki tunangan yang kaya raya dan siap membuatku bergelimang harta dan cinta. Sayangnya aku tidak benar-benar mencintainya–sebuah kejujuran yang kuberitahukan di awal cerita ini.

Nama tunanganku adalah Jung Jaehyun, seorang eksekutif muda berusia 25 tahun. Yang membuat nilainya lebih plus lagi, dia mendapatkan jabatan itu atas kerja kerasnya sendiri. Bukannya hasil dari turunan orang tua. Sungguh aku bangga akan prestasinya. Karena, semakin kaya ia, semakin kaya pula aku. Itu matematika sederhana, bukan?

Tidak perlu memberitahunya kalau aku hanya mengincar harta. Adukan saja kalau aku mencintainya demi harta. Itu tidak ada gunanya karena dia sudah tahu dan yang membuat aku lebih bangga lagi, dia tidak peduli bahwa aku terpikat bukan karena sikapnya melainkan hartanya. Sejak awal dia sudah aku peringatkan, tapi sepertinya kepalanya sekeras tekadnya. Sama-sama seperti baja.

Sekarang, kalian akan menyaksikan aku menciumnya, memberinya kepuasan fisik hanya dengan sapuan lidahku di lidahnya. Jangan heran. Karena, aku tidak pernah setengah-setengah mengincar harta.

Dia memberiku uang, maka aku memberinya cinta dan perhatian yang ia harapkan. Jangan katai aku kejam, karena bagiku ini hanya hubungan mutualisme.

Hubungan mutualisme, saling memanfaatkan yang sebentar lagi akan sampai di tahap pernikahan. Tinggal menghitung minggu jika kalian meminta waktu spesifiknya.

"Nggh Jaehyun..."

Apa kalian mendengarku mengerang. Kalian anggap mungkin itu palsu, tapi sungguh itu bukan palsu. Aku memang mengerang karena remasan tangannya di bokongku. Erangan yang menandakan aku tidak menolak, justru aku ikut menikmatinya. Tapi jika dipersentasekan, kenikmatan yang kurasakan belum 100%.

Itu juga yang terjadi dengan kekasih-kekasihku yang dulu. Tentu saja sekarang sudah bertitel ‘mantan yang kubuang’. Belum ada yang bisa memberikanku kepuasan 100%.

"Aku tak sabar menunggu hari pernikahan kita," ucapnya sambil melarikan hidung mancungnya ke sisi leherku.

"Aku juga," balasku sambil mendongakkan kepala.

Tangannya masih menggerayangi punggung dan bokongku. Ingin membuka bajuku tapi tidak bisa. Kami masih di kantor. Di ruangannya. Dan sewaktu-waktu bisa saja sekretarisnya mengetuk pintu atau tamu tidak diundang masuk.

Kuberi tahu satu hal. Aku sudah tidak virgin, baik depan maupun belakang.

Aku sudah pernah dimasuki dan memasuki. Kau tahu maksudku. Tapi khusus area belakang, Jaehyun adalah orang ketiga di antara semua kekasihku.

Kalian pasti menganggapku murahan, tapi coba kalian tanya Jaehyun berapa uang yang sudah ia keluarkan untuk menggaetku dalam jaring ikannya. Tidak murah. Begitu juga dengan status bokongku. Aku tidak dengan mudahnya akan memberikannya pada orang kaya sembarangan.

Jadi, saat Jaehyun mengatakan bahwa ia tidak sabar menunggu hari pernikahan kami, itu bukan berarti karena dia belum pernah meniduriku dan hanya bisa meniduriku saat sudah menikah. Tidak. Dan aku juga tidak sabar menunggu hari pernikahan kami karena di hari itu sebagian–mungkin lebih–harta Jaehyun akan resmi menjadi milikku juga.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan minggu depan?" tanyaku sambil mendorong pinggulku, menggoda bagian depan celananya yang sudah mencuat.

"Aku akan sibuk."

Sudah kuduga. Tidak heran lagi. Satu hal yang membuatku setuju dinikahi Jaehyun adalah dia tipe lelaki yang tidak terus-menerus menempel padaku. Dia sibuk dengan pekerjaan tapi tetap memberiku perhatian.

"Dan aku telah memutuskan sesuatu yang penting untukmu." Pinggulku berhenti, tapi tangan Jaehyun tidak–masih bermain dengan bokongku.

"Apa itu?" tanyaku dengan tatapan manja.

"Kuberi waktu satu minggu. Satu minggu kebebasan yang bertanggung jawab. Anggap saja itu seperti pesta melepas masa lajang."

Oh bagus. Aku sudah memikirkan akan kubuang kemana uang yang diberikan Jaehyun sebagai uang sakuku.

"Tapi ingat. Harus bertanggung jawab. Jangan macam-macam."

Kalian pasti mengira aku akan menurut. Seharusnya aku memang menurut. Tapi kalian tidak mengenal masa laluku, Dear. Aku sungguh cinta kebebasan. Mendengar kebebasan, aku tidak mau ada syarat atau aturan yang menggangguku.

Tapi demi menjadi tunangan yang baik, aku tersenyum manis dan menjawab, "Tentu saja."

Nyatanya aku segera melanggar janji manis itu ketika bertemu sepasang mata coklat tajam di sebuah pameran lukisan.
 
****

****