Kecurigaan TNI dan Kepada Siapa Ia Mengabdi

Ulasan buku Menentang Mitos Tentara Rakyat

Abdul Hamid
8 min readJan 9, 2019
sumber: bukalapak

Selepas proklamasi kemerdekaan didengungkan, Indonesia tak hanya sibuk menahan serangan negara imperialis, tetapi juga direpotkan oleh konflik internal. Di antaranya, terjadi transaksi kepentingan antarpolitisi, dan interupsi dari tentara. Hal yang sering dibahas dalam protes tentara adalah soal kedudukan lembaganya di negeri ini. Di balik protes tersebut, ada kecurigaan tentara pada pemerintah sipil yang agaknya abadi. (mungkin hingga kini?)

Beberapa sejarawan sering mengungkap kecurigaan tentara di balik konflik yang melibatkannya. Apa isi dari kecurigaan itu? Salah satunya menganggap bahwa pemerintah sipil lemah dalam menghadapi musuh. Karena pemerintah lebih memilih jalur diplomasi ketimbang bersikap “lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup dijajah”. Maksud pemerintah ialah ingin meminimalisir cara-cara kekerasan yang akan mendatangkan korban pada rakyat kecil. Kedua, ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia cinta damai, serta mendahulukan kekuatan logika daripada logika kekuatan (Pontoh, 2005).

Tentara yang dimaksud di sini adalah Angkatan Darat. Karena sebagaimana kita tahu hingga sekarang, AD selalu menjadi kendali dalam politik militer di negeri ini. Dalam hal pembangkangan AD pada pemerintah, sudah terlihat sejak kemerdekaan diproklamirkan. AD yang kala itu didominasi oleh mantan PETA tak mau tunduk sepenuhnya pada pemerintahan sipil.

Ada dua hal yang telah menggerakkannya untuk tidak tunduk pada pemerintah. Pertama, karena mendapat pengaruh fasisme Jepang dan kedua disebabkan oleh kecurigaan yang berlebihan terhadap upaya-upaya pemerintah dalam membangun hubungan dengan militer. Salah seorang yang ditentang mereka adalah Perdana Menteri Sjahrir, karena orang ini punya paham antifasis sekaligus menolak praktek militerisme seperti yang dilakukan tentara saat itu. Dengan tegas, Sjahrir mengungkapkan antipatinya pada militerisme di pamflet Perdjoeangan Kita. Berikut penggalannya:

“Tahun-tahun yang kemudian ini, kita terlalu merasakan kekuasaan militer. Tak urung hal ini dan didikan militer yang diberi-kan pada pemuda-pemuda serta rakyat kita umumnya, dapat menimbulkan kekeliruan, seolah-olah perjuangan kita ini perjuangan militer. Hanya pengertian tentang dasar kemasyarakatan perjuangan kita ini, dapat menghindarkan kekeliruan ini. Dalam perjuangan kita yang berupa dan memakai alat negara Indonesia, kita terpaksa harus mengadakan alat perjuangan kenegaraan, yaitu bala tentara. Itu takboleh berarti bahwa kita menjadi abdi kenegaraan atau menjadi abdi kemiliteran, alias fasis dan militeris. Batas-batas hal ini dengan semangat revolusi kerakyatan kita, harus ditajamkan sehingga jangan kita membunuh semangat serta revolusi kita oleh karena kita sesat pada militerisme dan fasisme (Pontoh, 2005)”

Setidaknya Sjahrir mempersoalkan empat hal dalam tulisan tersebut. Pertama, ia merasakan suasana kekuasaan militer dalam politik negara. Kedua, menganggap perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan perjuangan militer. Ketiga, perjuangan lewat militer adalah jalan yang ditempuh secara terpaksa. Keempat, menolak untuk menjadi abdi kenegaraan atau kemiliteran (seperti yang dilakukan oleh para fasis).

Sjahrir yang menentang militerisme/sumber: histori.id

Militer jelas tak terima pada Sjahrir, karena mereka merasa punya peran banyak dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Sehingga klaim Sjahrir di atas, yang menganggap perjuangan Indonesia bukan perjuangan militer, sangat menyinggungnya. Selain itu, lambatnya pemerintah dalam membentuk tentara nasional pasca kemerdekaan makin mengundang sikap sinis tentara kepada pemerintah. Apa yang dikatakan A.H Nasution bisa menggambarkan betapa tentara seolah dinomorduakan.

“Begitu RI diproklamasikan seharusnya saat itu juga TNI dibentuk”.

Pernyataan di atas adalah bentuk kecemasan militer pada posisinya. Padahal, situasi di pasca hari proklamasi belum memungkinkan untuk membentuk tentara nasional, lantaran pemerintah mesti mengakomodir semua kekuatan dahulu dalam menghadapi musuh. Itulah alasan kenapa pemerintah membentuk terlebih dulu Badan Tentara Rakyat, yang bisa merangkul seluruh angkatan bersenjata republik. Baik itu para mantan KNIL, PETA, atau pun para laskar.

Setelah dibentuk badan yang menaungi tentara ini, AD masih mengeluh. Khususnya di kalangan perwira KNIL yang ingin tubuh militer langsing dan memenuhi syarat pendidikan formal. A.H. Nasution ingin jumlah tentara sebanyak 150 ribu orang saja, sementara kala itu jumlah tentara menyentuh angka 500 ribuan orang untuk TNI rakyat, dan 200 ribu untuk tentara reguler. Kali ini PETA dan para laskar yang terancam. Karena secara pendidikan formal, mereka kebanyakan tidak memenuhi kualifikasi. Para mantan perwira KNIL menganggap laskar tidak punya disiplin saat perang. Hal itu dipandang akan mengganggu kelancaran strategi peperangan. Selain itu, wacana rasionalisasi tentara ini menjadi alasan lain bagi retaknya keharmonisan antaranggota tentara.

Soal peran militer dalam perjuangan kemerdekaan sendiri memang perlu diperhitungkan, karena tanpa perlawanan secara militer, sulit sepertinya Indonesia untuk bisa merdeka. Kita tahu, musuh kala itu menjinjing senjata untuk melawan kita. Namun, kenyataan ini bukan berarti gerakaan militer untuk kemerdekaan lebih dominan daripada gerakan sipil. Anggapan ini dilandasi dengan kenyataan bahwa gerakan militer kala itu merupakan hasil kerja keras para aktivis gerakan, bukan inisiatif yang murni dari diri tentara.

Apa yang dilakukan para aktivis gerakan kala itu sehingga bisa menggerakkan kelompok bersenjata? Mereka mengutus beberapa kelompoknya menjadi anggota PETA. Gerakan mereka disebut gerakan bawah tanah. Tugas anggota aktivis itu memberi kesadaran pada kawan PETA lainnya, bahwa Bangsa Indonesia sedang dijajah, dan mesti merebut kemerdekaannya sendiri.

Hasilnya, ada beberapa pemberontakan anggota PETA yang pernah dilancarkan menjelang hari-hari proklamasi. Pihak yang absen dari perlawanan militer yang paling dini tersebut adalah para mantan KNIL. Karena beberapa dari mereka ada yang masih mau memegang sumpah setia pada Belanda. Lagipula, hari itu belum ada kepastian bahwa Indonesia akan merdeka, sama tidak pastinya tentang masa depan para tentara bayaran tersebut.

Upaya-upaya Kudeta

Salah satu aktor AD yang sangat vokal menentang pemerintah adalah A.H. Nasution. Ia pernah mengungkapkan secara terang-terangan bahwa dirinya tidak senang dengan campur tangan pemerintah, tidak senang dengan kekacauan yang terjadi, tidak senang dengan korupsi, dan lain-lain. Ia bahkan pernah memperingatkan pemerintah bahwa dia bukan hanya tidak senang tapi, juga bisa bertindak.

Apa yang dikatakannya “juga bisa bertindak” mungkin wujudnya berupa upaya-upaya kudeta militer. Salah satu percobaannya pada 17 Oktober 1952. Sebanyak 30.000 orang menduduki gedung Parlemen. Mereka merusak barang yang terhampar di gedung itu sambil mengacungkan poster-poster yang menuntut pembubaran parlemen. Kerumunan lainnya berdesakan di sekitar gedung Kabinet. Massa demonstran kemudian mulai bergerak meninggalkan gedung parlemen dan gedung kabinet. Tujuannya istana Presiden.

Dalam waktu sekejap, Jakarta sudah dikuasai. Menurut pengakuan Kemal Idris, pukul 06.00 WIB, tempat-tempat strategis seperti stasiun RRI, Istana Presiden, dan gedung DPR (waktu itu masih di lapangan Banteng), sudah disiagakan tentara. Bahkan di sana sudah disiapkan meriam di depan istana. Kudeta ini dilakukan untuk merespon persetujuan parlemen pada Mosi Manai Sophian.

Apa yang dilakukan TNI ini sama seperti yang dilakukan banyak militer di negara berkembang, yakni ketika politisi sipil sudah ikut campur dalam urusan internal militer. Misalnya, kasus kudeta seperti ini pernah terjadi di Mesir pada masa Raja Farouk, di Brazil pada masa kepemimpinan Presiden Goulart, dan di Ghana pada zaman Nkrumah.

Tanggal 17 Oktober kala itu bukan waktu pertama kalinya AD berupaya ingin membubarkan kabinet. Sebelumnya, pada 3 Juli 1946, tentara AD sudah pernah melakukannya. Saat itu maksudnya untuk merespon keputusan Linggarjati. Sjahrir yang sempat diculik saat itu hingga mengundang perhatian presiden.

Perasangka-perasangka di tubuh sendiri

Para eks-KNIL, PETA, serta jajaran para laskar, sebetulnya sama-sama membangkang keputusan pemerintah. Inti yang mereka tentang adalah tidak mau diatur oleh pemerintah sipil. Keinginannya ialah independen, segala urusan TNI mesti diketahui, dan diselesaikan oleh internal TNI sendiri. Namun, kenyataan ini bukan berarti hubungan di antara mereka penuh cinta dan kasih sayang. Para eks-PETA dan jajaran laskar punya kendongkolan juga pada eks-KNIL, yakni ketika tentara bekas kolonial Belanda itu ingin merampingkan tubuh tentara.

Perampingan anggota tentara atau rasionalisasi tubuh TNI ini sempat mengundang kecurigaan Jenderal Sudirman dan sebagian besar perwira eks-PETA. Mereka curiga pada Simatupang dan lingkarannya bahwa wacana merupakan intrik untuk menyingkirkan Sudirman dari kursi Panglima Besar. Konflik ini menjadi bukti bahwa tentara kerap cek cok soal perebutan kedudukan. Para eks-PETA dan para laskar merasa pantas menjadi tentara, begitu pun yang dirasakan eks-KNIL.

Jenderal Soedirman yang kerap menengahi konflik militer vs militer dan/atau militer vs sipil/ sumber: iyakan.com

Selain itu, para eks-PETA merasa pantas karena mereka telah berjasa selama mempertahankan kemerdekaan, sedangkan para mantan KNIL merasa dirinya lebih profesional untuk mengisi kursi TNI. Alasan mereka pantas ini sangat bisa diterima, karena KNIL terbukti bisa mengurus persoalan administasi tentara. Sementara eks-PETA dan para laskar menjadi pasukan terdepan dalam perang gerilya saja.

Para tentara kala itu juga kerap berusaha untuk mendapat dukungan dari rakyat. Soal ini, para mantan PETA dan laskar yang lebih berhasil mengambil hati rakyat, lantaran PETA dan laskar lebih sering terlibat dalam peperangan gerilya yang terlihat gerakannya oleh mata rakyat. Sementara para eks-KNIL punya citra yang buruk di masyarakat, karena masa lalunya yang sempat membantu kolonial Belanda untuk merampas hak rakyat.

Konflik TNI baik yang terjadi dengan pemerintah sipil dan internalnya sendiri bisa diredam selama Sudirman duduk di kursi Panglima Besar, karena jenderal ini sangat bisa diandalkan untuk menjadi duta TNI di hadapan para politisi sipil, dan bisa memberikan solusi yang dapat diterima oleh semua kubu di internal TNI.

Kepada siapa TNI mengabdi?

Sejak awal kelahirannya, TNI ingin menjadi lembaga yang bisa aktif berpolitik. Lembaga ini tidak ingin menjadi ‘alat’ mati negara, sebagaimana yang diinginkan presiden RI ke-1. Maka apa yang dilakukan TNI dari dulu adalah mewujudkan cita-citanya ini. Coen Husain Pontoh telah menguak berbagai intrik yang dilakukan pembesar-pembesar TNI untuk mencapai cita-citanya tersebut. Ia menguraikannya di buku Menentang Mitos Tentara Rakyat.

Pada awalnya, cita-cita itu sulit sekali untuk digapai, karena TNI menghadapi para sosialis yang antimiliterisme. Hingga tiba saatnya TNI mendapat tiket menuju gelanggang politik yang lebih leluasa. Yakni tatkala terjadi pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958. Kemudian presiden menyatakan negara dalam keadaan darurat, dan menyerahkan penyelesaiannya pada AD.

Terhitung dari situ, struktur organisasi AD berdiri sejajar dengan struktur pemerintahan sipil. Atas nama keadaan negara darurat dan demi stabilitas negara, Jenderal A.H. Nasution melucuti hak-hak politik sipil, seperti melakukan operasi militer tanpa koordinasi lebih dulu pada pemerintah sipil setempat, dan menciduk orang-orang yang dianggapnya pendukung gerakan PRRI, seperti yang dilakukannya pada partai-partai yang dianggapnya sebagai pendukung pemberontakan PRRI/Permesta. Di mana cabang-cabang Masyumi, PSI, Parkindo, dan IPKI di daerah-daerah yang bergolak, dipersempit gerak politiknya.

Setelah menumpas lawan-lawan politiknya seperti yang dilakukan di atas, AD kemudian memperkuat dirinya dengan membentuk organisasi sipil. Wujudnya adalah Badan Kerja Sama Sipil-Militer (BKS-SM). Organisasi ini melebar ke berbagai lapisan kehidupan sipil. Pada bidang perburuhan, dibentuk BKS-SM Buruh, Petani BKS-SM Tani, BKS-SM Wanita, BKS-SM Pengusaha, BKS-SM Ulama, dan BKS-SM Angkatan ’45 (Pontoh, 2005).

Menurut Adnan Buyung Nasution, organisasi-organisasi ini fungsinya untuk menjadi pendukung kebijakan yang diusulkan AD, sekaligus lambat laun menjadi alat untuk memperlemah pijakan partai politik di pelbagai golongan dalam masyarakat. Apa jadinya kalau sudah begini? Ketika para pemegang kekuasaan di AD memberi kebijakan, organisasi inilah yang akan mengiyakannya. Sehingga kebijakan AD menjadi beralasan, lantaran berdasarkan permintaan dari rakyat. Walau pada dasarnya, rakyat yang disebutnya itu merupakan rakyat buatan AD sendiri.

Lantas, bagaimana relevansi ‘tentara rakyat’ yang disebut A.H Nasution dengan kenyataan historis tentara yang begini? George Junus Aditjondro dalam pengantar buku Pontoh tersebut berani menyimpulkan, bahwa TNI bukan tentara rakyat. Lalu tentaranya siapa?

Judul: Menentang Mitos Tentara Rakyat| Penulis: Coen Husain Pontoh| Tahun: 2005| Penerbit: Resist Book| Jumlah halaman: 192|.

--

--