Hobi: Coba-coba

Mengantisipasi Kejadian Tak Terduga

M. Abdurrohman Faqih
9 min readJun 9, 2024
Photo by Gianandrea Villa on Unsplash

Menyusuri dunia yang semakin berkembang, tentu secara tak langsung menuntutku untuk harus bisa beradaptasi dengan segala perubahannya. Perubahan yang terkadang aku sendiri tidak mengerti alasan dibaliknya. Alih-alih bergulat menggunakan idealisme naif yang kumiliki, alhasil malah membuatku sering kali terjerumus dan berakhir pada penyesalan akibat perbuatanku sendiri.

Tentu butuh waktu yang relatif lama bagiku untuk mengubah penyesalan itu menjadi bahan bakar agar aku bisa kembali berjalan di jalan yang sudah aku tentukan, mulai dari menerima, refleksi (muhasabah), berencana kembali (tawakal), sampai akhirnya berdiri kembali di jalan yang dimaksud.

Lambat laun aku mulai mengerti bahwa semakin aku berusaha mengejar ketertinggalan dari lajunya dinamika kehidupan, maka tidak pernah ada kata terlambat bagiku dalam menggapai sesuatu.

Refleksi (muhasabah) akan kalimat di atas, dimulai dari salah satu materi dari mata kuliah yang aku pelajari di semester satu:

Johari Window Model

Model ini digagas oleh Joseph Luft dan Harry Ingham, merepresentasikan dinamika manusia sekaligus berperan sebagai kerangka yang membantu mengembangkan manusia itu sendiri yang mencakup kesadaran diri, kesadaran akan orang di sekitar (observasi), pemahaman akan pentingnya kemampuan interpesonal, bahkan peningkatan kemampuan interpesonal.

Kerangka di atas memiliki empat kuadran yang memiliki penjelasan:

  1. Open Area yang menjelaskan segala informasi yang diketahui baik oleh diri sendiri dan orang lain. Contohnya adalah keterampilan menghitung mahasiswa jurusan matematika.
  2. Blind Area yang menjelaskan segala informasi yang tidak diketahui oleh diri, tapi diketahui oleh orang lain. Contohnya adalah ketidakpercayaan diri, orang mungkin akan lebih dapat menilai ketidakpercayaan diri seseorang dibanding dengan dirinya sendiri.
  3. Hidden Area yang menjelaskan segala informasi yang diketahui oleh diri, tapi tidak diketahui oleh orang lain. Contohnya adalah informasi pribadi yang memang tidak ingin untuk diketahui orang lain.
  4. Unknown Area yang menjelaskan segala informasi yang tidak diketahui oleh diri dan tidak tidak diketahui oleh orang lain. Contohnya adalah bakat yang belum menemukan wadah ekspresinya.

Kita tidak akan mempermasalahkan Open Area dan Hidden Area, karena kita sama-sama tahu bahwa dua hal itu secara sadar bisa kita manfaatkan ketika datang kesempatan. Namun, dinamika kehidupan sering kali mempertemukan kita dengan keadaan “buntu” atau “tak terduga” dimana kita tidak memiliki informasi atau bahkan keterampilan untuk menghadapi keadaan tersebut.

Kebuntuan itu sering kali aku klasifikasikan dalam kuadran Blind Area. Kuadran yang memang membutuhkan feedback secara langsung dari orang lain sebagai informasi bagiku untuk menghadapi keadaan yang mungkin serupa di masa yang akan datang. Penilaian tambahan pada kuadran ini terletak dari bagaimana strategi kita untuk mengontrol diri dan mengolah feedback yang didapat.

Lantas bagaimana dengan Unknown Area? Tentu lebih banyak variabel yang dibutuhkan untuk menemukan sebuah informasi di kuadran ini. Seperti yang dijelaskan pada gambar di atas, kuadran ini merupakan gabungan dari tiga variabel, yaitu self-discovery, shared discovery, dan other’s observations. Sehingga akan menjadi pembahasan yang lebih panjang dibanding dengan kuadran lainnya (jadi kita akan bahas di tulisan lain, sebelum semakin ngalor — ngidul bahasannya haha).

Kembali ke topik, lalu apa yang biasa aku lakukan untuk mengantisipasi “kebutuan” atau hal “tak terduga” tersebut?

Divergensi

Photo by Mieczysław Marków on Unsplash

Divergensi mungkin jadi istilah yang cukup populer di beberapa bidang, diantaranya matematika, fisika, geografi, ekonomi, dsb. Bahkan dalam bidang matematika terdapat teorema khusus yang membahas tentang divergensi (Gauss’s Divergence Theorem).

Eitss… Tenang, kita ga akan panjang lebar bahas tentang teori dan simbol-simbol berikut. Tapi gambar balon udara di atas adalah ide sederhana tentang teorema tersebut.

  1. If I fill a balloon with air, then I make several holes in the balloon, and press the balloon, then I will feel the gas moving out at a certain speed. The volume of gas in the balloon will decrease as the balloon is compressed.
  2. Let’s say I have a rigid container filled with some gas. If the gas starts to expand but the container does not expand, what has to happen? Since we assume that the container does not expand (it is rigid) but that the gas is expanding, then gas has to somehow leak out of the container. (Or I suppose the container could burst, but that counts as both gas leaking out of the container and the container expanding.)
  3. If I go to a gas station and pump air into one of my car’s tires, what has to happen to the air inside the tire? (Assume the tire is rigid and does not expand as I put air inside it). The air inside of the tire compresses.

Inti dari penggunaan teorema di atas adalah untuk mengetahui fluks (baca: aliran) total dari suatu medan vektor yang keluar dari permukaan tertutup. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa divergensi dalam contoh di atas hanya berlaku terhadap sesuatu yang memiliki vektor. Vektor sendiri secara sederhana merupakan besaran yang memiliki nilai dan arah (dalam kasus ini kecepatan partikel gas saat memuai atau terkompresi).

Alih-alih menghitung fluks yang keluar dari balon menggunakan perhitungan yang rumit seperti evaluasi langsung integral permukaan, pemanfaatan simetri, penggunaan numerik, atau penggunaan koordinat khusus. Teorema Divergensi Gauss berfungsi sebagai alternatif “shortcut” yang mempermudah pencarian fluks medan vektor yang keluar dari permukaan.

Bagiku untuk mempermudah memahami pentingnya divergensi ini, mari kita mulai kembali dengan dua kasus:

  1. Aku merupakan mahasiswa Psikologi, aku punya hobi mengamati sekitar.
  2. Aku merupakan mahasiswa Psikologi, aku punya hobi memasak.

Dari dua kasus di atas, manakah yang bisa disebut sebagai divergensi?

Yapp,, nomor dua adalah contoh kasus divergensi. Mengapa demikian? Mari kita kupas satu — per — satu.

Nomor satu, alih-alih mengantisipasi kejadian tak terduga dimana aku tidak memiliki informasi atau keterampilan sebelumnya (jalan buntu), justru malah membuatku semakin terampil untuk mengaplikasikan hal-hal yang aku pelajari selama kuliah, salah satunya ditandai dengan meningkatnya awareness terhadap lingkungan.

Cerita singkat, sepulang aku bimbingan tugas akhir, aku berjalan ke parkiran bersama kakak tingkatku. Di perjalanan pulang, dari arah yang berlawanan terdapat dua mahasiswi dengan barang bawaan mereka. Meski tidak aku perhatikan secara jeli, namun terdapat barang bawaan mereka yang terjatuh dan sontak aku memanggil mahasiswi tersebut “Teh, itu bawaannya jatuh”. Kakak tingkatku pun melihat ke arahku dan berkata “Urg pun ga nyadar barangnya ada yang jatuh”. Bagiku cerita atas adalah contoh dari tajamnya keterampilan.

Nomor dua, mungkin bagi beberapa kalangan, masih cukup “aneh” mengetahui laki-laki yang memiliki hobi memasak. Tapi sekarang bagiku, itu adalah fungsi dari divergensi yang aku maksudkan di atas.

Beberapa waktu ke belakang, aku menjalani program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di salah satu kota di Jawa Barat. Setelah sosialisasi program, membentuk struktur kelompok, muncullah anggaran program. Bagiku anggaran program ini menjadi pusat perhatian, karena selama kegiatan berlangsung, setiap pengeluaran ditanggung oleh mahasiswa, salah satunya makan.

Beruntungnya kami menghadapi “kebuntuan” dimana banyak proyeksi pengeluaran selama kegiatan berlangsung, kami dapat memanfaatkan hobi memasakku sebagai “shortcut” dan menekan pengeluaran makan selama 30 hari (maafkan aku, sudah menjadikan teman KKN-ku sebagai kelinci percobaan masakanku di setiap harinya).

Begitulah maksud bahwa divergensi menjadi alternatif atau antisipasi menghadapi hal tidak terduga “buntu”.

Anything I Can Help?

Photo by Annie Spratt on Unsplash

Pertanyaan di atas adalah pengajaran untuk memupuk empati yang selalu dicontohkan bahkan sedari aku kecil. Selain bertujuan untuk memupuk empati, pengajaran tersebut intinya menuntut kita untuk belajar tentang mengambil risiko dan bertanggung jawab. Seiring berjalannya waktu, pertanyaan itu aku temui juga dalam lingkungan kampus, kantor, atau masyarakat.

Bagiku, pertanyaan ini punya dua peluang jawaban sebagai berikut (anggap kita menghilangkan opsi orang yang ditawari menolak tawaran kita):

  1. Aku dimintai bantuan tentang hal yang sudah aku ketahui sebelumnya.
  2. Aku dimintai bantuan tentang hal yang tidak aku ketahui sebelumnya.

Sekali lagi, aku tidak akan mempermasalahkan ketika dimintai bantuan tentang hal yang sudah aku ketahui sebelumnya, seperti membuat riset tentang suatu program, mengadaptasi program, merancang project plan atau sebagainya karena memang itu pekerjaanku. Namun, ketika aku dipertemukan dengan kondisi dimana aku dimintai bantuan tentang hal yang tidak aku ketahui, di situlah moment bagiku untuk belajar keluar dari zona nyaman, belajar mengambil risiko, dan bertanggung jawab atas tawaran bantuanku kepada orang lain (meskipun harus aku akui akan muncul sedikit penyesalan ketika bertemu kondisi seperti itu yang dipicu oleh ketidaknyamanan).

Trust me, stres atau ketidaknyamanan adalah tanda sedang berada di jalan yang tepat.

Pengalamanku baru-baru ini dalam mempraktikan pertanyaan di atas adalah ketika magang di bagian Development Program salah satu perusahaan di Bandung. Tentu berawal dari iseng bertanya kepada senior di kantor:

“Teh, ada yang bisa aku bantuin?” Tanyaku.

“Kamu dari Psikologi,’kan?” Tanyanya.

“Iyaa, Teh. Ada yang bisa aku bantu?” Jawabku.

“Nah coba ini ada file spreadsheet, isinya CV. Minta tolong buat screening berkas CV nya ya, kamu udah familiar,’kan?” Ucapnya.

Sontak aku terdiam dan sedikit mulai menyesali tindakanku saat itu, mengingat ketertarikanku belum terlalu mendalam pada bidang industri dan organisasi, tentu aku tidak punya bekal untuk menuntaskan pekerjaan tersebut. Terlebih berkas yang harus aku periksa sebanyak 500-an berkas (aku gatau ini banyak atau engga, tapi bagiku sebagai pengalaman pertama, “lumayan” haha).. Tapi yah, nasi sudah menjadi bubur kalo kata orangmah.

Singkat cerita aku menyelesaikan pekerjaan tersebut, tentu dengan bimbingan dari senior kantorku. Tidak berhenti sampai di situ, setelah screening CV muncul lah interview, ya setidaknya aku pernah punya bekal semasa kuliah karena sempat roleplay sebagai interviewer dan user.

Dari cerita yang dimulai dari pertanyaan dan penyesalan di atas, tentu aku belajar bagaimana mengambil risiko dan keluar dari zona nyaman dari sekedar pertanyaan “Ada yang bisa aku bantuin?”, kemudian bertanggung jawab ketika aku mendapati bantuan untuk mengerjakan sesuatu yang baru, sehingga aku harus mempersiapkan beberapa hal sebelum aku mengerjakan pekerjaan tersebut.

Juga menjadi salah satu cara yang aku ambil untuk mengantisipasi Blind Area atau moment “buntu” di masa yang akan datang.

Fear of Missing Out (FOMO)

Meski gengsi awalnya aku harus mengakui bahwa Fear of Missing Out atau FOMO juga terkadang memberikan dampak yang baik bagiku, terlebih dalam upaya menutupi Blind Area yang kumiliki. Tapi, nyatanya terkadang FOMO itu baik.

Disclaimer bahwa poin ini tidak akan se — ekstrem ketika melihat fyp random di sosial media, kemudian plek-ketiplek pengen ikut-ikutan. Tidak. Poin ini justru akan aku mulai dengan curiosity atau rasa penasaran.

Aku merupakan orang yang lebih memilih untuk berdiam diri di rumah, membaca buku, coret-coret buku kosong dalam rangka menuangkan ide-ide, baca-baca info dunia luar, atau segala aktivitas yang memang bisa dilakukan di rumah. Begitupun kebanyak dari teman-temanku yang memiliki preferensi menghabiskan waktu luangnya dengan cara yang sama.

Perbedaan antara aku dan mereka adalah mereka tetap bisa menghasilkan karya, sedang aku tidak (setidaknya belum; semoga bukan prokrastinasi haha). Dalam konteks ini, karya yang di maksud adalah tulisan yang memang berisi insight atau temuan dalam kehidupan mereka. Dan kebetulan aku memiliki beberapa teman yang memang seorang penulis, entah tulisan mereka diterbitkan sebagai sebuah buku atau tulisan-tulisan melalui media sosial.

Hal yang membuatku bingung adalah lama — kelamaan aku mulai “terusik” dengan postingan mereka tentang tulisan-tulisan mereka. Fyi, aku memang sudah punya rencana untuk menulis sebuah buku, tapi aku adalah orang yang memiliki segudang angan-angan tinggi yang minim aksi (aku tidak bermaksud menyinggung siapapun kecuali diriku sendiri).

Postingan mereka akhirnya membawaku pada pertanyaan “how did they start?”, “what are they writing for?”, “what do they want to achieve?”, … sampai kepada “how do I start?”. Aku tipikal orang yang suka mengeksplorasi sesuatu melalui pikiranku sendiri, tentang apapun itu (bagiku, it’s so much fun exploring stuff in my imagination), bahkan sering kali pikiran itu membawaku pada monolog dalam menjabarkan sesuatu (pernah liat orang ngomong sendiri? Itu aku hahaha).

Dengan memberanikan diri untuk mencari tahu, aku memutuskan untuk bertanya kepada teman-temanku yang “penulis itu” tentang pertanyaan-pertanyaan yang sudah aku jabarkan sebelumnya. Jawaban yang aku temukan sangat beragam, tentu sangat berkaitan erat dengan idealisme yang mereka pegang. Salah satu teman yang menurutku memiliki beberapa kesamaan perspektif tentang menulis adalah Rakean Radya Al Barra (silakan mampir untuk melihat catatannya sebagai seorang pejalan). Kebetulan aku mengenal dia sudah cukup lama, jadi rasanya tidak akan terlalu canggung jika meminta bantuannya untuk berbagi temuan denganku.

Singkat cerita kami bertemu, bertukar pikiran, sampai akhirnya aku mutuskan untuk menulis di platform ini sebagai media latihan menuangkan temuan atau isi pikiran berantakan yang awalnya hanya bisa dimengerti oleh diriku sendiri menjadi tulisan semi — terstruktur yang juga dapat dibaca oleh orang lain (sebelum aku menuangkannya melalui buku). Aku akui itu semua bermula dari FOMO dan berjalan cukup baik sejauh ini.

Poin-poin strategi di atas adalah strategi yang biasa aku gunakan dalam keseharianku. Bermula dari cuman sekedang “iseng” atau “coba-coba” akhirnya malah menjadi pelajaran berharga bagiku. Dalam artinya tidak hanya berkesan baik secara mental, tapi juga persiapan menghadapi jalan “buntu” selanjutnya.

Tapi adakah alternatif tambahan yang bisa dilakukan jika dipertemukan dengan “kebuntuan” itu? Jika ada, senang rasanya bisa bertukar pikiran.

--

--

M. Abdurrohman Faqih

Sudut pandang lain dari perjalanan panjang hadir setiap hari Minggu.