Mortality Salience

Norma, Kesadaran, dan Perilaku

M. Abdurrohman Faqih
6 min read5 days ago
Photo by Zoltan Tasi on Unsplash

Siapakah makhluk fana yang kerap kali menisbatkan dirinya seolah-olah ia tidak akan pernah meninggalkan dunia? Manusia.

Termasuk aku, bagian dari kelompok “manusia itu”, yang tak jarang dalam pikirannya terbesit bahwa apa yang sedang diupayakan saat ini merupakan persiapan untuk menyejahterakan hidup di hari tua. Ironisnya, aku sering lupa kalau aku sendiri pun tidak memiliki kepastian akan hari esok. Haha.

Bergabung dengan perhelatan masyarakat dalam meraih sesuatu yang dianggap luar biasa, tentu aku pun sering terbawa suasana di dalamnya. Riuhnya perlombaan meraih impian yang tak kunjung usai, terlihat melalui berbagai platform sosial yang aku gunakan, dan sering kali hal itu menjadi distractor di beberapa hal yang sedang aku kerjakan. Apakah normal? Aku sendiri tidak berani menjawabnya.

Bukan maksudku bersikap sok dewasa dalam menyikapi sesuatu, tapi terkadang aku kewalahan menghadapi bentrokan antara idealisme-ku (atau mungkin bisa disebut dengan ego) dengan standar yang bertebaran. Sehingga, aku sering kali lebih mengedepankan idealisme di atas peraturan abstrak yang diada-ada secara sistemik. ((meskipun nyatanya aku selalu gagal dalam mengaktualisasikan idealismeku 100%))

Bentrokan-bentrokan itu membawaku pada pertanyaan:
Sampai kapan akan terus begini? Dimana akhir dari semua hal ini?

Hal itu pula yang membawaku memikirkan kenyataan yang seharusnya tidak perlu aku pikirkan.. Setidaknya untuk sekarang. Mungkin.

Siapa di sini yang pernah dengan sengaja berkunjung ke rumah sakit untuk berkeliling? Tanpa ada keluarga, sahabat, teman, atau rekan yang perlu dijenguk. Aku (di samping hiking sendirian mengelilingi perbukitan).

Aku tahu, mungkin sebagian kecil diantara orang seusiaku yang akhirnya memutuskan untuk merenung sembari berkunjung ke rumah sakit sekedar untuk melihat-lihat.

Bukan tanpa alasan, terlepas dari keterampilan yang harus aku kuasai dari bidangku, aku orang yang suka rela mendengarkan orang lain bercerita, poin plus ketika cerita itu bisa menjadi bekal berharga dalam hidupku kelak. Dan aku kira rumah sakit adalah tempat yang tepat untuk menemukan hal itu. Bisa bercengkrama dengan orang random pisan (huft), mendengarkan cerita mereka dan bersama menertawakannya, mendengarkan harapan-harapan mereka, mendengarkan wejangan-wejangan mereka, dsb. Terlebih ketika teman bicaraku adalah orang lanjut usia. Senang rasanya bisa sedikit mengarumi luasnya samudera kehidupan, meskipun itu semua terbatas pada alam persepsiku.

Semua kisah di atas, tentu mengantarkanku pada benang merah di antara sekian banyak orang yang aku temui di tempat itu. Kebijaksanaan. Hal yang sangat umum dimiliki oleh orang yang berada di tempat itu. Tapi aku mempunyai pertanyaan:
Apa yang mengantarkan mereka pada kebijaksanaan?

Jawaban itupun aku temui dari sisipan cerita-cerita mereka, yaitu ketidakberdayaan.

Kesamaan itulah yang paling aku sadari di antara mereka semua, mereka semua menerima ketidakberdayaan-nya dalam menghadapi kondisi mereka saat ini. Mereka menyerahkan seutuhnya hidup mereka pada hal yang tidak lagi dapat mereka kendalikan. Ketidakberdayaan itulah yang akhirnya mengantarkan mereka pada kesadaran utuh — kehadiran penuh akan kondisi mereka saat ini, menjadikan mereka berfokus pada diri mereka, mengenyahkan standar-standar di luar kodrat mereka, dan memaknai setiap hal kecil sedang mereka yang dilakukan.

Penyesalan? Tentu mereka punya. Penyesalan tentang masa-masa prima yang disia-siakan dahulu, kesempatan-kesempatan besar yang dilewatkan, sampai hal kecil yang berdampak buruk bagi mereka saat ini.

Pun harapan. Harapan tentang kembalinya masa prima mereka, aktivitas-aktivitas yang akan dijalankan ketika mereka pulih, tentu di dalamnya adalah hal yang akan dilakukan dan ditinggalkan ketika mereka kembali hidup normal.

Dikembangkan oleh psikolog Jeff Greenberg, Sheldon Solomon, dan Tom Pyszczynski dalam Terror Management Theory (TMT) yang menekankan pada penerimaan atas ketidakberdayaan, kesadaran akan ujung kehidupan, kecemasan eksistensial yang ngantar pada pencarian makna, itulah contoh dari Mortality Salience.

Pemberdayaan = Puncak

Penjualan buku berjudul “Man’s Search for Meaning” karya Viktor E. Frankl seorang psikiater asal Austria yang mampu menembus 16 juta eksemplar per tahun 2021 menarik perhatianku, mengingat pemenuhan kebutuhan akan jiwa yang haus juga mulai dilirik oleh masyarakat modern.

Modernisasi tentu menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hal di atas. Khususnya melalui proses akulturasi sosial — budaya. Ex. manusia yang dahulu berorientasi terhadap dominasi wilayah sebagai penanda kekuasaan dan kesejahteraan, sekarang mulai bergeser terhadap hal yang lebih “subjektif” sebagai tolak ukur kesejahteraan dalam pemenuhan hidupnya.

Abraham Maslow’s Hierarchy of Needs

Piramida di atas digagas oleh Abraham Maslow seorang tokoh psikologi asal Amerika. Piramida yang menjelaskan tentang pemenuhan kebutuhan manusia yang dimulai kebutuhan yang paling dasar, yaitu fisiologis sampai dengan transendensi. Aku tidak akan membahasnya panjang lebar, jadi aku bahas poin-poinnya:

((disclaimer bahwa kebutuhan kognitif, estetika, dan transendens dalam hierarki di atas tidak digagas oleh Maslow sendiri, tapi oleh para pengikut mazhab humanis setelahnya.))

Deficiency Needs: Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi seseorang untuk mencapai kesejahteraan psikologis dan stabilitas. Jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka seseorang akan mengalami ketegangan, kecemasan, dan ketidakpuasan. Di dalamnya terdapat:

Basic Needs

  1. Physiological Needs, menjelaskan tentang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan paling dasar dalam hidup manusia seperti makan, tidur, air yang intinya tanpa hal ini manusia tidak dapat hidup. ((secara harfiah))
  2. Safety Needs, menjelaskan tentang pemenuhan kebutuhan akan rasa aman dan terlindungi yang mencakup keamanan fisik dan lingkungan, stabilitas pekerjaan, serta perlindungan kesehatan.

Physchological Needs

  1. Belongingness & Love Needs, menjelaskan tentang pemenuhan akan rasa cinta dan keterikatan, persahabatan, serta hubungan keluarga yang diliputi oleh ikatan emosional.
  2. Esteem Needs, menjelaskan tentang pemenuhan akan penghargaan terhadap diri sendiri serta pengakuan dari orang lain akan dirinya yang mencakup harga diri, kepercayaan diri, dan prestasi.

Growth Needs: Kebutuhan akan pertumbuhan yang baru dicapai setelah kebutuhan-kebutuhan dasar dalam deficiency needs terpenuhi. Kebutuhan ini berkaitan dengan perkembangan pribadi dan realisasi dari potensi penuh seseorang.

Self Fulfilment Needs

  1. Cognitive Needs, menjelaskan tentang rasa ingin tahu, pencarian pengetahuan, serta pemahaman yang lebih dalam tentang dunia sekitar kita.
  2. Aesthetic Needs, menjelaskan tentang kebutuhan akan apresiasi atas keindahan berbentuk seni, alam, atau bentuk estetis lainnya yang erat kaitannya dengan harmoni, keteraturan, dan keindahan.
  3. Self-actualization, menjelaskan tentang keinginan untuk mencapai potensi penuh, kreativitas, pencarian makna hidup, dan pemenuhan pribadi lainnya yang ditandai dengan fokus terhadap tujuan yang menjadi cerminan nilai yang mereka yakini.
  4. Transendence, menjelaskan tentang kemampuan melampaui diri sendiri dan terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, biasanya ditandai dengan membantu orang lain mencapai aktualisasi diri mereka atau pengalaman spiritual mendalam.

Puncak dari semua itu adalah transendence atau berdaya.

Tentu akan menjadi perjalanan yang sangat amat panjang dalam menggapai puncak itu, bukan hanya sekedar berjibaku dengan norma atau standar abstrak di masyarakat, namun juga akan berjibaku dengan diri sendiri (pengenalan diri lebih dalam), serta aktualisasi dari norma dalam diri (idealisme) terhadap lingkungan masyarakat.

Sebagai seorang Muslim, tentu yang terlintas di kepalaku hanya mereka yang menyandang gelar itu, diantaranya adalah orang no. 1 paling berpengaruh di dunia. Tentu jika sedikit mengingat sejarah, begitu besar dampak yang diberikan oleh satu manusia yang mencapai titik ini.

Tapi bukankah Dia menyebutkan bahwa semua manusia dapat mencapainya?

Namun, jika kita sama-sama cari tahu apa yang sebenarnya orang nomor 1 ini kejar? Akan senang rasanya apabila kita sama-sama mencari tahu.

Meski penyampaian di atas agaknya belum dapat aku aktualisasikan dengan utuh dalam kehidupanku, terlebih per saat ini, aku masih berjibaku mencari alasan lebih kuat untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, dan harus melewati jenjang profesi terlebih dahulu, (walau aku tidak tahu batas waktu hidupku sampai kapan) tapi aku anggap perjalanan dalam mencari alasan ini sama halnya dengan pencarian makna hidup yang aku yakin Dia akan menerangi perjalananku ini dengan beribu hikmah.

Aku mungkin adalah anomali dalam kesempurnaan penciptaan semesta, makhluk kebingungan yang berada di persimpangan, yang tentu perlu diberikan arah, dan tempat untuk bergantung.

Meski demikian, anomali sepertiku tidak ingin termasuk pada golongan orang yang menyesal di kemudian hari.

Kalian juga, ’kan? Maka dari itu,

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

Guide us along the Straight Path,

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

the Path of those You have blessed — not those You are displeased with, or those who are astray.

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Ke(sok)sibukan”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

M. Abdurrohman Faqih

Sudut pandang lain dari perjalanan panjang hadir setiap hari Minggu.