Sounds of Enola: Sadness Hiding Inside the Sound

adam sudewo
8 min readSep 10, 2023

--

“We don’t even ask happiness, just a little less pain”

– Charles Bukowski

Saya merasa hidup terasa berat belakangan ini. Tapi saya tak tahu betul apa yang membuatnya demikian dan pikiran macam ini yang kemudian terus mengganggu kepala saya. Seakan kepala saya ditendang sampai ke ruangan sebelah dengan keras. Toh, saya tak pernah bersinggungan dengan orang lain dan lebih memilih menutup diri dari orang banyak dan hanya mengerjakan beberapa hal yang saya sukai: membaca novel, menulis esai atau puisi, mendengarkan musik, menulis untuk band, membikin diskusi, mengurus beasiswa, atau sekadar membunuh mesin waktu yang kian brutal.

Tapi, di samping rutinitas yang makin melingkar itu, ada saat-saat di mana saya merasa begitu hampa dan tak mengerti bahwa kehampaan bisa seberat ini. Kehampaan yang menggedor pintu kamar saya jam tiga pagi ketika berpikir dan menyadari bahwa saya memang payah dalam beberapa hal.

Memang, saya tahu betul bahwa hanya orang kepalang ajaib yang mampu mengerjakan banyak hal sekaligus dengan baik. Saya tahu. Dan di dunia yang kadung rongsok ini, orang ajaib bisa dihitung di luar kepala dan hanya jadi mitos yang tak lagi dipercaya. Karena itu, tak apa tak menjadi orang ajaib yang bisa mengerjakan banyak hal sekaligus, pikir saya. Bukankah pada faktanya kebanyakan dari kita memang kacrut dan tak ajaib?

Sialnya, saya terus-menerus menyangkal hal tersebut. Emosi telah membajak pikiran saya seperti sawah yang basah. Membuat saya percaya bahwa siapa pun bisa jadi ajaib. Termasuk saya. Meskipun kemungkinnnya amat kecil dan butuh dua kali kiamat untuk mencapainya.

Keyakinan macam itu yang kemudian membuat saya mencoba banyak hal. Membongkar-pasang sesuatu di tubuh saya seenak jidat sendiri tanpa memikirkan konsekuensinya dan membuat saya tak bahagia. Sesuatu yang menguras uang, pikiran, tenaga, bahkan air mata. Sesuatu yang sebenarnya saya pun tak tahu ujungnya, seperti berada di tengah jalan yang sudah dan belum dilalui.

Mungkin itulah alasan mengapa saya uring-uringan setelahnya dan hidup saya terasa amat berat. Membuat saya tambah sunyi dan terus terjaga tiap malam dengan gelisah. Membuka lemari es dan tak menemukan apapun. Merokok dan mematikannya ketika di tengah batang. Melihat foto keluarga dalam bingkai kayu patah. Kemudian memasang headphone dan mendengar Enola – yang karenanya, saya merasa terselamatkan.

Sebab mendengar Enola, bagi saya, seperti mendengar jeritan rasa sakit yang apa adanya, yang terlampau jujur, atau barangkali sebagai sesuatu yang mesti dirayakan. Seperti mendengar sirine ambulan mendekat setalah saya terapung-hanyut di lautan lepas kemudian terdampar di pulau antah berantah tanpa siapa pun.

Potret macam ini yang kemudian membawa saya pada suatu kemungkinan lain atas rasa sakit (atau apa pun itu) yang saya alami ketika mendengar Enola. Misalnya, dalam potret yang samar itu saya akan membayangkan tubuh saya berbaring sambil memandang langit mendung dengan perasaan tak berdaya. Memang, semuanya mungkin terdengar sangat menyakitkan. Tapi begitulah adanya. Rasa sakit, barangkali, mesti diterima dan dirayakan. Sebagaimana yang dilakukan Enola dengan musiknya.

Enola, unit shoegaze asal Surabaya, merilis mini albumnya “Does Anyone Else” akhir Juli 2021 setelah sempat melepas Demo MMXX di tahun 2020. “Does Anyone Else” berisi 5 track yang sama panjang melengkingnya (Śūnyatā, Fill the Void, Blue Waves, Does Anyone Else, dan Skin to Skin) dan dirilis oleh salah satu label rekaman underground paling melesat saat ini, Greedy Dust.

Mengutip interview di zine garapan teman saya, Use Your Voice Zine, Enola terbentuk karena kebosanan Ayiz (gitar) bermain musik yang itu-itu saja dan banyaknya draft materi tersimpan yang belum tahu akan dibawa kemana. Akhirnya, Ayiz mengajak Adi (drum & vokal) dan Dwiki (bass) untuk bergabung dalam project ini.

Lebih jauh, dalam zine itu juga Enola menjelaskan terkait proses kreatifnya bersama Angeeta Sentana (Grrrl Gang) dalam track Blue Waves, pemilihan nama Enola yang berasal dari kata Alone terbalik, persoalan menyakitkan selain cinta seperti halnya ditolak dan diabaikan, atau beberapa hal lain yang memiliki engahan nafas sama.

Dan engahan nafas macam itu yang saling mengejar-memburu saya belakangan terakhir. Membuat saya mendekat sekaligus menjauh dari diri saya sendiri. Pendek kata, Enola berhasil menyadarkan saya bahwa manusia memang tak bisa lepas dari keriuhan yang meletup dan pergulatan dengan dirinya sendiri.

Dan semenjak itu saya mendengar Enola secara terus-menerus dengan harapan pergulatan dalam diri saya meredam, atau sekadar untuk mengamini bahwa memang beginilah adanya. Dengan atau tanpa perlawanan yang pada akhirnya sia-sia.

Saya kerap menarik nafas panjang dan berkata “Inilah saatnya” ketika Śūnyatā diputar, dengan pukulan drum sakit dalam tempo lambat dan disusul fuzz gitar merapung. Kemudian saya akan menyulut rokok, memandangi jendela kamar setengah terbuka, dan tenggelam dalam kekosongan.

Sebab secara literal, Śūnyatā berarti kekosongan atau ketiadaan. Tentu, kekosongan di sini bukan berarti ‘sesuatu’ itu memang tiada dan terus tiada sampai akhir dunia, namun dari kekosongan inilah berbagai penciptaan akan terbentuk menjadi yang estetis dan sebagainya. Sesuatu yang terus mencari dan mencipta tanpa mengenal akhir.

Here we are

Behind the city of light

Where the trees grown up

In the middle of the whistle

Of the bird that sing to us

Please help

Somebody

I need your time, i need your hand, i need your voice, i need to know

Dari lirik Śūnyatā, saya kira Enola paham betul tentang kekosongan macam itu imbas dunia modern yang brutal. Di bait pertama, Enola menggambarkan lanskap apa adanya dari dunia modern yang sebetulnya saat melankolis.

Di sinilah kita, berdiri di antara lampu-lampu kota. Di mana pepohonan tumbuh di tengah kicauan burung bernyanyi. Mungkin, pepohonan dan burung bernyanyi adalah sesuatu yang tak nyata, sesuatu yang imajiner yang dibentuk Enola hanya untuk menciprati kakinya yang kotor. Mengingat pepohonan dan kicauan burung kian jarang ditemui di lanskap sebuah kota – yang hanya disesaki gulungan kabel dan mesin photo copy. Hal itu boleh jadi membuat manusia tercerabut dari akarnya dan mesti menghadapi kekosongan baru atas lanskap yang berubah jadi panas dan terus mempertanyakan eksistensi manusia dalam ketidakberdayaan.

Dan dalam menghadapi kekosongan baru itu, Enola mencoba meminta pertolongan seseorang yang memiliki perasaan sama atas apa yang ia rasakan untuk menghadapi kekosongan baru tersebut. Seseorang yang meberikan waktu, mengulurkan tangannya, dan memberi suaranya dalam obrolan hangat yang tak lagi dirasakan ketika kekosongan itu melebar dan menenggelamkan kepalanya dalam ketidakberdayaan absolut.

Namun, ketika tak ada seorang pun yang menolongnya, Enola menjawab pertanyaan retoris di Śūnyatā dengan terus terang di track selanjutnya, Fill the Void – sebuah upaya lain untuk mengisi kekosongan di Śūnyatā.

Waking up at dawn

And cried again

It feels like a dream

Your memories popped inside my head

When i kissed you

Kita bisa membayangkan bagaimana upaya lain untuk mengisi kekosongan tersebut dengan terbangun di subuh hari kemudian menangis (lagi). Meskipun terasa seperti mimpi, dengan menangis Enola mampu mengisi kekosongan dan terlebih mendobrak batas-batas maskulinitas toksik yang membelenggu. Hal inilah yang membuat rasa sakit Enola begitu jujur dan apa adanya.

Di samping itu, Enola juga mengupayakan pilihan lain untuk mengisi kekosongan dengan ingatan yang mungkin patah dan tersembunyi. Sebab, Your memories popped inside my head// When I kissed you dinyanyikan dengan begitu samar dan sembunyi di tengah keriuhan musik yang melankolis. Kesamaran dan ketersembunyian akan ingatan macam itu, saya kira, dilakukan Enola untuk menyarasar keperihan personal sekaligus komunal.

Berbeda dengan track sebelum dan sesudahnya, Blue Waves sangat spesial bagi saya mengingat dalam track ini saya dapat melihat sisi gelap dan kemurungan Angeeta Sentana yang tak bisa ditemui di Grrrl Gang. Juga representasi kesepian radikal melalui potret buram tengah malam yang dingin membuat track ini jadi favorit saya di “Does Anyone Else”. Dan track ini juga yang membuat saya memejamkan mata dan membayangkan saya terapung-hanyut di lautan lepas.

Blue Waves menghandirkan kebisingan melenting dalam diri saya ketika track ini dibuka dengan peristiwa di tengah lautan lepas yang mungkin gelap (My soul is in the waves). Peristiwa itu seolah sengaja diulang untuk penegasan atas diri yang hilang arah sebelum berpindah pada suatu ruang yang lebih personal yang mungkin lebih aman.

Had a dream the walls turned black

Woke up with sweat running down my back

A sense of dread hung in the air

That glued me to my bed

Tentu, bait tersebut memiliki keterkaitan dengan kecemasan yang dirasakan ketika berada di kamar tidur seperti yang saya alami di jam tiga pagi. Ketika dinding menghitam dan menutupi segala yang pasti. Membikin saya berkeringat dan merasakan ketakutan akibat tumpukan kekosongan selama ini yang pada akhirnya memaku saya di tempat tidur.

Tapi, setidaknya, Blue Waves tidak berhenti sampai tempat tidur. Tokoh imajiner dalam Blue Waves terus mencari sesuatu yang kelak mengisi kekosongannya dengan sedikit keraguan: pergi ke pusat kota dan mencari taksi dan tak ingin jadi bagian waktu, tapi di sisi lain ia hendak merokok dan juga ditemani seseorang. Hingga pada akhirnya ia berlari mendekati pantai, embus angin terasa seperti roh yang melolong, dan kemudian menyadari bahwa ia adalah manusia satu-satunya di dunia.

Kemudian adegan berlanjut pada Does Anyone Else yang mengajak jantung kita berlari cepat kemudian melambat dengan sebuah hantaman di kamar yang sureal. Trapped in the room // Full of bloom // We lied down // On the field // Of sunflower. Tapi sebelum itu, akan ada suara misterius yang menanyakan keberadaannya dalam kekosongan yang nyaris menyelimuti seluruh hidupnya (Don’t you see me? Don’t you see me?).

Di titik ini, mungkin Enola menolak ingatan sebagai sesuatu yang mampu menutupi kekosongannya. Sebab di sepanjang track, pertanyaan atas ingatan yang patah tersebut terus-menerus dilontarkan dan pada akhirnya tak menjawab apa pun. Yang ada hanyalah suara rasa sakit dari seseorang yang perlahan menyusut seperti kabut dan dinyanyikan dengan sangat depresif:

Don’t you see me?

I want you to be here

Don’t say goodbye

I want you forever

Alih-alih mengisi kekosongan yang diutarakan di track-track sebelumnya. Does Anyone Else seakan mencapai titik permulaan sebuah kekosongan baru yang perlahan muncul. Kekosongan diri yang benar-benar total dan tak dapat dijamah. Hal itu juga kembali ditegaskan dalam track terakhir Skin to Skin:

Hand in hand

Skin to skin

When I feel you

Do you feel me to?

Skin to Skin merepresentasikan suatu kekosongan total yang sepi. Misalnya, Enola menggambarkan sesuatu yang dapat disentuh secara indrawi namun tak bisa dirasakan dengan cara yang sama. Hal itu kemudian bergeser ketika Enola sibuk mondar-mandir dengan gelisah sambil berteriak mengingat kehidupan sebelumnya yang menyenangkan, penuh gairah, dan emosional.

Namun, kehidupan macam itu sudah lesap. Ia mesti menghadapi kehidupan baru yang kosong meskipun secara terus-menerus mempersembahkan hidupnya sendiri untuk seseorang. Di titik inilah kekosongan Enola menjadi total dan dirayakan dengan semacam spirit untuk membentuk sesuatu yang bising dan tak pernah selesai.

Sesuatu yang mungkin menjadi belati analisis Enola di karya-karya selanjutnya terkait kehidupan yang terus berlari, rutinitas kerja, hubungan antar manusia, gempa informasi, atau bahkan dirinya sendiri.

Tigapuluh menit telah berlalu dan menit-menit setelahnya menjadi begitu panjang. Does Anyone Else berhenti. Enola beranjak dari kuping. Saya teringat kehampaan yang saya alami dengan enggan. Kehampaan dari total keseleruhan persoalan yang menumpuk bertahun-tahun: potret samar masa lalu yang mengambang di kepala saya lengkap dengan bebatuan dan kerikil tajam. Saya menyulut rokok yang tinggal setengah itu dan menangis.

--

--