A Walk Into Sensory Science

Ade Sababurrohmah
11 min readSep 20, 2020

--

Hello, I am Ade. I participated in the DQ-Weekend Challenge from DQLAB about “A Walk Into Sensory Science” that was analyzed using R. This project coming from Data Analyst of Jabar Digital Service, Mr. Muhammad Aswan Syahputra.

Sebelum saya membahas lebih jauh mengenai ilmu sensoris, saya akan memberikan sedikit pengantar. “A Walk Into Sensory Science” adalah modul yang baru dirilis DQLab pada Jumat, 18 September 2020. DQLab merupakan platform kursus data science online berbasis project. Kali pertama saya melihat notice di Instagram Official Account DQLab, saya segera membuka website DQLab. Saat saya melihat sekilas materi modulnya, I was shocked. Saya benar-benar merasa asing dengan ilmu ini. “Wah, ternyata ada ya, orang kerjanya gini”, dalam benak saya. Karena ini pengalaman baru bagi saya, maka saya sangat semangat untuk mencari tahu lebih banyak terkait analisis sensoris dan bertekad menyelesaikan modul tersebut. Oke, kita langsung masuk ke substansinya, ya!

Well? Apa sih ilmu sensoris itu? Gimana sih aplikasinya?

Figure 1. Sensory Evaluators

Ilmu sensoris, biasa disebut sebagai ‘evaluasi sensoris’ atau ‘organoleptik’ adalah disiplin ilmu yang digunakan untuk membangkitkan, mengukur, menganalisis, dan menafsirkan tanggapan tersebut terhadap suatu produk yang dirasakan oleh indera penglihatan, penciuman, perasa, sentuhan, dan pendengaran (Stone and Sidel, 1993). Sederhananya, ilmu ini bertujuan mendapatkan respon dari orang-orang terhadap produk dalam hal bagaimana rasa, aroma, tampilan, tekstur, dan suaranya yang kemudian informasi tersebut digunakan untuk membuat suatu keputusan. Subyek yang melakukan riset sensoris disebut ‘Sensory Evaluators’.

Ilmu sensoris diterapkan di berbagai bidang industri, seperti produk pangan, pewangi, dan kosmetik. Karena ilmu ini mempelajari persepsi dan perilaku konsumen, maka aplikasinya tidak hanya sebatas produk pangan, pewangi, dan kosmetik. Sistem audio seperti headphone, earphone, dan sistem audio pada mobil atau ruangan juga menerapkan riset sensoris. Bahkan, bentuk desain kemasan, pemilihan warna, nama, serta jenis font logo yang akan digunakan pada suatu merk produk juga menerapkan prinsip riset sensoris. Wah! Menarik sekali bukan?

Setidaknya terdapat tiga istilah yang familiar dalam ilmu sensoris, antara lain:

· Sampel: Produk yang akan dinilai karakteristik sensoris atau mutu organoleptiknya. Contohnya parfum, cokelat, earphone, dan sebagainya.

· Atribut sensoris: Karakteristik suatu produk yang dapat dinilai/dievaluasi dengan menggunakan panca indera manusia. Contohnya rasa, aroma, tampilan, tekstur, dan suara.

· Panelis: Individu yang memiliki kapabilitas untuk melakukan penilaian karakteristik sensoris produk. Panelis dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat keahliannya, seperti panelis ahli, panelis terlatih, dan panelis tidak terlatih (konsumen). Contoh panelis ahli adalah Q Grader pada cup testing kopi atau evaluator kualitas tembakau.

Metode riset sensoris terbagi menjadi tiga berdasarkan tujuannya, antara lain:

1. Uji Afektif: Dilakukan untuk mengetahui penerimaan, kesukaan, dan preferensi konsumen terhadap produk.

· Paired Preference

· Preference Ranking

· Hedonic Rating

2. Uji Deskriptif: Dilakukan untuk mendeskripsikan karaketristik sensoris produk.

· Flavor Profile

· Quantitative Descriptive

· Flash Profile

· Check All That Apply

3. Uji Deskriminatif: Dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang terdeteksi antara suatu produk dengan produk lainnya.

· Triangle Test

· 2-AFC

· Dio-Trio

· Tetrad

Setelah mengenal sedikit teori tentang ilmu sensoris, sekarang mari kita belajar sedikit lebih dalam mengenai analisis data riset sensoris. Kita akan melakukan analisis data untuk mempelajari karakteristik sensoris produk cokelat komersial.

1. Library yang Dibutuhkan

Langkah pertama kita harus menyiapkan library yang digunakan, diantaranya:

· Library(readr),

· Library(skimr),

· Library(dplyr),

· Library(FactoMineR),

· Library(agricolae), dan

· Library(factoextra).

2. Mengenal Data

Data yang akan dilakukan riset sensoris tersedia pada laman https://dqlab-dataset.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/chocolates.csv.

Riset produk cokelat ini dilakukan menggunakan metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA). Sesuai namanya, metode QDA termasuk jenis uji riset deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan karaketristik sensoris pada produk.

Berdasarkan kedua output diatas, terdapat 348 observasi (baris) dan 18 variabel (kolom). Tipe variabel yang disajikan terbagi menjadi 4 kolom kategori faktor dan 14 kolom kategori numerik. Variabel kategori numerik merupakan atribut sensoris yang dievaluasi, diantaranya cocoa_a, milk_a, cocoa_f, milk_f, caramel, vanilla, sweetness (rasa manis), acidity (rasa asam), bitterness (rasa pahit), crunchy (rasa renyah), astringency (rasa kuat/bau yang tajam), melting (meleleh atau daya leleh), sticky (lengket), dan granular (butiran).

Diketahui terdapat 6 sampel cokelat uji yang diberi label choc1, choc2, choc3, choc4, dan choc5, sedangkan jumlah panelis yang berperan dalam mengevaluasi sampel cokelat sebanyak 29 orang.

Dari 29 panelis memberikan rentang nilai antara 0 sampai 10 pada setiap atribut sensoris yang diuji.

3. Analysis of Variance (ANOVA)

Dalam analisis sensoris data uji deskriptif, fokus pertama yang dilakukan adalah inspeksi atribut sensoris satu persatu untuk mengungkapkan karakteristik produk. Analisis statistik yang akan dilakukan adalah uji univariat. Dalam metode QDA, uji univariat yang umum digunakan adalah analisis ragam atau biasa disebut ANOVA (Analysis of Variance). Hal tersebut dilakukan salah satunya karena data yang didapatkan dari metode riset sensoris QDA memiliki jenis rasio.

Sekarang kita akan melakukan inspeksi atribut sensoris rasa pahit (bitterness) dari produk cokelat yang telah dievaluasi oleh panelis. Model yang akan digunakan adalah model lengkap dengan mempertimbangkan efek dari sampel, panelis, sesi pengujian, dan urutan sampel dalam pengujian.

Berdasarkan hasil pengujian signifikasi ANOVA (nilai p-value dalam kolom Pr(>F)), diperoleh sebagai berikut:

Kriteria Pengujian: Pengaruh signifikan terdeteksi dari suatu faktor apabila nilai p-value < 0,05 (jika menggunakan tingkat kepercayaan 95%).

Dapat dilihat bahwa faktor ‘product’ memiliki pengaruh signifikan dengan angka p-value < 0,05. Artinya, secara statistik terdapat perbedaan signifikan pada atribut rasa pahit yang disebabkan oleh keragaman sampel produk cokelat.

4. Komparasi Rasa Pahit Antar Sampel Produk Cokelat

Oleh karena atribut rasa pahit disebabkan oleh keragaman sampel produk cokelat, maka tahap selanjutnya akan dibandingkan rasa pahit antarcokelat. Adapun uji statistik yang digunakan adalah Student’s t-test untuk membandingkan angka koefisien antarlevel.

Summary model bitterness diatas memuat informasi bahwa angka koefisien dari choc2 adalah -1,74. Ini berarti, angka tersebut menunjukkan bahwa selisih nilai antara rerata choc2 terhadap rerata choc1. Dengan kata lain, skor rasa pahit dari choc2 adalah 1,74 poin lebih rendah dibandingkan dengan choc1. Lalu, bagaimana dengan choc3, choc4, choc5, dan choc6 ?

· Skor rasa pahit dari choc3 adalah 6.34 poin lebih rendah dibandingkan dengan choc1.

· Skor rasa pahit dari choc4 adalah 2.42 poin lebih rendah dibandingkan dengan choc1.

· Skor rasa pahit dari choc5 adalah 3.45 poin lebih rendah dibandingkan dengan choc1.

· Skor rasa pahit dari choc6 adalah 4.78 poin lebih rendah dibandingkan dengan choc1.

Dapat disimpulkan bahwa semakin rendah nilai koefisiennya menunjukkan bahwa semakin rendah skor rasa pahitnya (cenderung ke rasa manis). Sebaliknya, semakin besar nilai koefisien, maka semakin pahit rasa yang ditonjolkan. Sehingga, sampel cokelat yang memiliki tingkat rasa pahit terendah (cenderung sedikit manis) dibandingkan dengan choc1 ialah choc3.

5. Konfigurasi Jenis Kontras Sampel Produk Cokelat

Sebelumnya kita membandingkan rasa pahit pada sampel cokelat dengan choc1 sebagai acuan. Bagaimana jika sebenarnya kita tidak memiliki produk tertentu sebagai acuan? Hal ini dapat dilakukan dengan cara konfigurasi jenis kontras, yakni membandingkan rasa pahit suatu sampel cokelat dengan rasa pahit produk cokelat ‘rata-rata’.

Hasil uji T-test diatas menunjukkan bahwa angka koefisien dari choc2 adalah 0,34 (dibulatkan). Angka tersebut mengindikasikan bahwa rerata skor rasa pahit choc2 adalah 0,34 poin lebih tinggi dibandingkan dengan rasa pahit ‘rata-rata’ cokelat secara keseluruhan. Bagaimana dengan sampel cokelat yang lain?

· Rerata skor rasa pahit choc1 adalah 2.46 poin lebih tinggi dibandingkan rasa pahit rata-rata cokelat secara keseluruhan.

· Rerata skor rasa pahit choc2 adalah 0.34 poin lebih tinggi dibandingkan rasa pahit rata-rata cokelat secara keseluruhan.

· Rerata skor rasa pahit choc3 adalah 3.22 poin lebih rendah dibandingkan rasa pahit rata-rata cokelat secara keseluruhan.

· Rerata skor rasa pahit choc4 adalah 0.57 poin lebih tinggi dibandingkan rasa pahit rata-rata cokelat secara keseluruhan.

· Rerata skor rasa pahit choc5 adalah 0.28 poin lebih tinggi dibandingkan rasa pahit rata-rata cokelat secara keseluruhan.

· Rerata skor rasa pahit choc6 adalah 0.43 poin lebih rendah dibandingkan rasa pahit rata-rata cokelat secara keseluruhan.

Jika diurutkan berdasarkan sampel cokelat dari yang paling pahit dimiliki oleh choc1 dengan koefisien estimate tertinggi yakni 2.46, selanjutnya sampel choc4, choc2, choc5, choc6, terakhir choc3 merupakan sampel cokelat yang paling tidak pahit dengan koefisien -3.22. Dengan demikian, sampel produk choc1 adalah sampel produk cokelat yang paling pahit dan choc3 adalah sampel produk cokelat yang paling tidak pahit (cenderung sedikit manis).

6. Perbandingan Rasa Pahit Antar Sampel Produk (Uji Lanjutan Post-Hoc)

Salah satu cara untuk membandingkan rasa pahit antarsampel produk adalah dengan melakukan uji lanjut (post-hoc test) menggunakan metode Tukey HSD. Dimana uji-t post hoc digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan rata-rata secara lebih detail. Uji ini biasanya digunakan apabila sampel bersifat homogen dan jumlah sampel untuk setiap kelompok sama.

Pada kolom ‘groups’ menunjukkan apakah terdapat perbedaan yang bermakna antarproduk cokelat berdasarkan atribut rasa pahit (bitterness). Perbedaan rasa pahit antar sampel produk secara rinci terbagi ke dalam 5 kategori, yakni:

a: Rasa paling pahit

b: Rasa pahit sedang

bc: Rasa pahit rata-rata

c: Rasa pahit rendah

d: Cenderung sedikit manis

Apabila diketahui berada pada group yang sama, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara sampel tersebut. Pada sampel produk cokelat choc2 dan choc5, memiliki huruf yang sama dan masuk ke dalam satu grup yakni grup bc. Artinya, rasa pahit yang dihasilkan kedua sampel tersebut adalah pahit rata-rata.

Hal ini juga dibuktikan dari grafik komparasi antarproduk. Dari grafik diatas terlihat bahwa sampel produk choc2 dan choc5 memiliki kemiripan yang sangat dekat. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan yang signifikan diantara keduanya.

7. Korelasi AntarAtribut Sensoris pada Produk Cokelat

Di dalam ilmu sensoris. ada suatu istilah yang disebut dengan persepsi multisensoris (multisensory perception). Apakah persepsi multisensoris itu? Secara sederhana, persepsi multisensoris merupakan konsep yang menyatakan bahwa suatu produk tidak hanya dinilai berdasarkan satu aspek inderawi saja. Manusia cenderung menilai suatu produk secara holistik dengan mengintegrasikan persepsi dari berbagai aspek inderawi, oleh karena itu, sulit untuk menilai suatu produk jika hanya berdasarkan satu atau sedikit atribut sensoris. Pelru dilakukan analisis yang mempertimbangkan banyak atribut sensoris sekaligus, sehingga mendapatkan karakteristik sensoris produk secara holistic. Berikut visualisasi angka korelasi antaratribut sensoris dari produk cokelat.

Visualisasi diatas menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif atau negatif antar atribut sensoris yang dirasakan oleh panelis. Sebagai contoh, rasa pahit dirasakan berbanding terbalik dengan rasa manis dan rasa susu, serta berbading lurus dengan aroma cokelat dan rasa asam. Atau misalnya rasa sepat yang dirasakan berbanding lurus dengan rasa asam dan juga rasa pahit. Kemudian, aroma vanila juga berbanding lurus dengan rasa manis dan melting/leleh.

8. Principal Component Analysis (PCA)

Selain menggunakan matriks korelasi, interaksi dan asosiasi antar atribut sensoris tersebut selanjutnya juga dapat direpresentasikan ke dalam sebuah peta persepsi (perceptual map) atau ruang sensoris (sensory space). Peta ini selanjutnya dapat digunakan untuk memetakan produk berdasarkan karakter sensoris yang holistik.

Untuk membuat peta persepsi atau ruang sensoris diperlukan analisis multivariat. Karena pada data QDA semua atribut dinilai menggunakan skala numerik, maka uji statistik yang dapat Anda gunakan adalah Principal Component Analysis (PCA). Apakah ada yang familiar dengan nama tersebut? (Maaf, saya iklan sebentar yaaa hehehehe)

Saat saya mengerjakan modul “A Walk Into Sensory Science” dan membaca Principal Component Analysis (PCA), saya terdiam sejenak. “Tunggu, hubungannya apa ya”, pikir saya. Saya cukup familiar dengan metode Principal Component Analysis (PCA). Tapi, metode ini bukan dalam ilmu sensoris. Metode PCA yang saya tahu penerapannya di bidang geoscience. Yaps. Metode yang berguna untuk mengetahui kecenderungan arah pergerakan gelombang. Dengan menggunakan persamaan matriks kovarian, PCA dapat mengkarakterisasi pergerakan tanah secara tiga dimensi. Hmm, sepertinya prinsipnya tidak jauh beda yaaa sama PCA di dalam ilmu sensoris!

OKE KEMBALI KE TOPIK AWAL…

Secara umum, Principal Component Analysis (PCA) adalah suatu teknik untuk mengurangi dimensi kumpulan data yang berisi sejumlah besar variabel yang saling terkait, namun tetap mempertahankan sebanyak mungkin variasi yang ada dalam kumpulan data tersebut (Mishra, et.al., 2017).

Berdasarkan hasil diatas, setiap sampel cokelat memiliki nilai pada 14 kolom atribut sensoris. Kolom dan baris ini nantinya akan digunakan dalam pengujian menggunakan analisis PCA.

Output diatas menujukan bahwa angka eigenvalue > 1 ditemukan pada dua principal component atau dimensi pertama. Selain itu, persentase varian kumulatif juga menunjukan nilai yang sangat besar (>75%).

9. Peta Sebaran Produk Cokelat

Grafik tersebut menunjukan posisi dari setiap produk cokelat pada peta persepsi atau ruang sensoris. Prinsipnya produk yang letaknya berdekatan adalah produk yang memiliki karakteristik sensoris serupa, sedangkan produk yang terletak berjauhan artinya memiliki karakteristik sensoris yang berbeda. Selain itu, produk yang terletak mendekati titik 0 atau pusat grafik artinya memiliki karakteristik ‘rata-rata’.

Berdasarkan grafik peta sebaran, sampel produk choc3 dan choc6 adalah sampel produk yang berlawanan dengan sampel produk choc1. Dengan kata lain, choc3 memiliki karakteristik sensoris yang berbeda dengan choc1. Begitupula halnya dengan choc6. Sedangkan choc2, choc4, dan choc5 adalah sampel produk yang berdekatan dan serupa karakteristik sensorinya dengan sampel produk choc1 (perhatikan pada daerah grafik).

10. Peta Persepsi Kategorisasi Produk Cokelat

Peta persepsi pada atribut sensoris dalam riset bertujuan supaya dapat dilihat lebih mudah secara holistik.

Dari grafik tersebut kita juga dapat mengetahui korelasi antar atribut dengan mudah. Prinsipnya adalah apabila panah atribut sensoris menuju ke arah yang sama dan berhimpitan, maka terdapat hubungan berbanding lurus yang kuat diantara atribut sensoris tersebut. Apabila panah antar dua atribut sensoris membentuk sudut hampir siku, maka korelasi antar atribut sensoris tersebut relatif lemah.

Misalnya, atribut sensoris daya leleh (melting) dengan daya lekat atau lengket (sticky) memiliki korelasi paling besar pada produk cokelat sehingga dapat dikatakan memiliki hubungan yang kuat. Sementara itu, atribut sensoris rasa manis (sweetness) dengan kerenyahan (crunchy) memiliki korelasi paling rendah pada produk cokelat sehingga relatif lemah hubungannya.

11. Gabungan Antara Peta Sebaran dan Peta Persepsi Kategorisasi Produk Cokelat

Berdasarkan gabungan grafik berikut, kita dapat dengan mudah menyimpulkannya. Sampel produk choc3 diwakilkan dengan atribut sensori yang cenderung ke arah rasa manis. Hal tersebut dicerminkan pada atribut melting, sweetness, dan lain-lain. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa sampel produk choc3 ini ialah sampel yang memiliki karakteristik berlawanan dengan produk acuannya yaitu sampel produk choc1 yang dominan memiliki rasa pahit pada produk cokelatnya. Sedangkan, sampel produk choc4 memiliki karakteristik sensoris hampir serupa dengan sampel choc1 diwakili dengan rasa asam (acidity), astringency, dan bitterness (rasa pahit).

So, what do you think about sensory science? That’s incredible, right? Gimana nih? Kalian tertarik buat mempelajari sensory science lebih dalam? Caranya gampang kok. Kamu bisa mulai dari belajar R di platform DQLab secara GRATIS!

Thanks for visiting my first story! Hopefully, this summary is useful and anyone can give me some inputs to make my publications better next time.

References:

Mishra, Sidharth Prasad., Uttam Sarkar, Subhash Taraphder, Sanjay Datta, Devi Prasanna Swain, Reshma Saikhom, Sasmita Panda, and Menalsh Laishram. (2017). Multivariate Statistical Data Analysis - Principal Component Analysis (PCA). India: West Bengal University of Animal and Fishery Sciences. International Journal of Livestock Research. eISSN : 2277–1964 NAAS Score -5.36

Stone, H., and J. L. Sidel. (1993). Sensory Evaluation Practice. Academy Press. New York.

https://academy.dqlab.id/main/package/practice/281?pf=0

https://academy.dqlab.id/main/package/practice/162?pf=0

https://www.peasonmoss.com/2017/05/21/what-is-sensory-science/

http://repository.upi.edu/5076/6/S_KTP_0705828_Chapter3.pdf

--

--