Mengulik Tanggapan Indonesia terhadap Islamofobia di Xinjiang, China.

Adlan Athori
6 min readAug 30, 2024

--

Islamofobia, yang didefinisikan sebagai prasangka, ketakutan, atau kebencian terhadap Islam dan umat Muslim, telah menjadi fenomena global yang meluas dalam beberapa dekade terakhir. Di negara-negara Barat, Islamofobia seringkali termanifestasi dalam bentuk kebijakan diskriminatif, retorika politik yang bermusuhan, serta serangan fisik dan verbal terhadap individu atau komunitas Muslim.

Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sehubungan dengan hal itu, Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan diplomatik yang besar dalam menyuarakan isu-isu yang berkaitan dengan umat Islam di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki perhatian lebih terhadap isu Islamofobia, Indonesia menjalin kerja sama dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam memerangi Islamofobia di dunia. Pada tahun 2023, menganggapi isu pembakaran mushaf Al-Qur’an di beberapa negara di Eropa, Indonesia mengambil sikap tegas untuk tetap menekan dan mencegah adanya Islamofobia di dunia. Serta, Indonesia juga mendorong negara-negara yang tergabung dalam OKI untuk terus mendukung Palestina untuk mendapatkan hak-hak mereka yang telah dirampas oleh Zionis Israel, Indonesia menganggap bahwa salah satu dasar konflik Palestina-Israel ini yakni Islamofobia.

Islamofobia di Xinjiang, Tiongkok.

Islamofobia tentu bukanlah isu yang hanya ada di negara-negara bagian barat, dan di Palestina saja. Akan tetapi, di beberapa negara di Asia juga sering terjadi adanya Islamofobia. Salah satunya, seperti Islamofobia yang terjadi di Xinjiang, Tiongkok, Islamofobia ini sangat dirasakan oleh etnis yang mayoritas dari mereka memeluk agama islam, yakni etnis Uyghur.

Salah satu penyebab utama islamofobia di Xinjiang adalah kekhawatiran pemerintah terhadap ekstremisme dan separatisme. Pemerintah Tiongkok menganggap bahwa ada ancaman keamanan dari gerakan separatis di Xinjiang yang berusaha memisahkan diri dari Tiongkok dan mendirikan negara independen. Ketakutan ini diperparah oleh serangkaian serangan kekerasan yang dituduhkan pada ekstremis Uyghur, sehingga pemerintah merasa perlu untuk mengambil tindakan represif. Pemerintah mengklaim bahwa tindakan ini diperlukan untuk memerangi terorisme, namun, tindakan tersebut sering kali melebihi batas dan melanggar hak asasi manusia.

Laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia mengungkapkan bahwa pemerintah China telah menahan lebih dari satu juta orang Uyghur di kamp-kamp tersebut. Di dalam kamp, mereka dipaksa untuk meninggalkan identitas agama mereka, mengikuti program indoktrinasi politik, dan sering kali mengalami penyiksaan fisik dan psikologis. Tindakan ini, meskipun diklaim sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nasional, sebenarnya mencerminkan bentuk ekstrem dari islamofobia yang dilegitimasi oleh negara.

Selain penahanan massal, kebijakan pemerintah China terhadap Uyghur juga mencakup pengawasan ketat terhadap kehidupan sehari-hari, pembatasan praktik keagamaan, dan kontrol ketat terhadap kebebasan bergerak. Masjid-masjid dihancurkan, praktik keagamaan dibatasi, dan simbol-simbol keislaman dilarang. Ini menunjukkan bagaimana islamofobia tidak hanya merugikan individu secara fisik tetapi juga berusaha menghapus identitas budaya dan religius suatu komunitas.

Namun, Pemerintah Tiongkok membangun branding melalui media bahwa yang mereka lakukan bukanlah penahanan atau tindakan represif. Pemerintah Tiongkok mengatakan bahwa penahanan yang dimaksud adalah kamp re-education. Kamp ini disebut sebagai Kamp Interniran, Kamp yang didirikan oleh Pemerintah Tiongkok ini dinilai sebagai Kamp Pendidikan anti radikalisme. Kamp ini diisi oleh mereka yang telah dianggap telah terpapar oleh nilai-nilai radikal dan separatis. Sehingga, mereka perlu diberikan edukasi ulang mengenai nilai-nilai kebangsaan dan perdamaian. Pemerintah Tiongkok terus memberikan respon terhadap tuduhan yang ditujukan kepada pemerintah Tiongkok terhadap penahanan dan tindakan represif terhadap etnis Uyghur di Xinjiang China, melalui liputan media mereka, mereka membagikan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di kamp tersebut,. Didalam liputan kegiatan tersebut, mereka yang tinggal di kamp tersebut terlihat baik-baik saja, dan bahkan merasa senang bias berada didalam kamp tersebut.

Akan tetapi, banyak negara-negara di dunia khususnya negara-negara barat menaggapi liputan kegiatan di kamp tersebut merupakan liputan yang direncanakan, wawancara terhadap mereka yang tinggal di kamp tersebut, dianggap penuh dengan ancaman. Sehingga, mereka terpaksa untuk mengatakan bahwa kamp yang didirikan oleh Pemerintah Tiongkok ini sangatlah bermanfaat, agar mereka dapat selamat dari tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok.

Dilema Diplomatik Indonesia dalam Mengadvokasi Isu Uyghur

Isu Uyghur menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Indonesia dalam upayanya memerangi dan mencegah Islamophobia, serta membela hak-hak umat Muslim di dunia. Tindakan represif yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap Etnis Uyghur, telah dibantah oleh pemerintah Tiongkok. Pemerintah Tiongkok menyebut perlakuan terhadap Muslim Uyghur sebagai upaya melawan terorisme, banyak negara dan organisasi hak asasi manusia yang terus mendesak adanya transparansi dan pengawasan internasional terhadap situasi di Xinjiang.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, diharapkan untuk memainkan peran aktif dalam mengadvokasi hak-hak Uyghur. Terlebih, Indonesia telah mendeklarasikan untuk terus berusaha memerangi dan mencegah adanya Islamofobia di dunia, oleh karena itu, tanggapan dan sikap Indonesia terhadap isu uygur patut dipertanyakan. Namun, Indonesia berada diposisi yang sangat rumit untuk dapat berpihak dan menyuarakan Islamofobia yang dialami oleh etnis Uyghur. Di satu sisi, ada tekanan dari masyarakat sipil dan organisasi Muslim di Indonesia untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Tiongkok. Di sisi lain, Indonesia memiliki hubungan ekonomi dan diplomatik yang erat dengan Tiongkok, hal ini membuat pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam menyuarakan kritik terhadap negara tersebut.

Adapun, salah satu faktor yang menjadi hambatan Indonesia untuk mengambil sikap terhadap isu kemanusiaan di Uyghur yakni disebabkan masih adanya perbedaan pemikiran dan pandangan rakyat Indonesia terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami oleh etnis Uyghur. Sebagian rakyat Indonesia percaya terhadap adanya tindakan represif pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur. Namun, sebagian rakyat ndonesia juga tidak percaya terkait adanya tindakan represif Pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur. Rakyat Indonesia yang tidak mempercayai adanya tindakan represif ini beranggapan, karena minimnya bukti tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap Etnis Uyghur.

Upaya Indonesia dalam mengadvokasi Isu Uyghur

Meskipun menghadapi berbagai kendala, Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk mengadvokasi isu Uyghur. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah Indonesia telah menyampaikan keprihatinan atas situasi di Xinjiang dan mendesak Tiongkok untuk lebih transparan dan menghormati hak asasi manusia. Misalnya, pada Desember 2019, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menyatakan bahwa Indonesia terus memantau situasi di Xinjiang dan mendorong agar segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia dihentikan.

Dalam memerangi Islamofobia, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, diplomasi publik menjadi alat yang sangat penting. Diplomasi publik memungkinkan Indonesia untuk membangun citra sebagai negara yang moderat, toleran, dan berkomitmen terhadap perdamaian dan hak asasi manusia. Dalam konteks isu Uyghur, diplomasi publik dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran internasional tentang pentingnya menghormati hak-hak minoritas Muslim, serta untuk mempromosikan nilai-nilai Islam yang inklusif dan damai.

Selain itu, beberapa kelompok keagamaan juga kerap melakukan demonstrasi atau aksi untuk menyuarakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur. Selain itu, beberapa organisasi islam juga turut melaksanakan seminar maupun workshop mengenai isu kemanusiaan di Uyghur. Kegiatan seminar tersebut merupakan salah satu upaya untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat Indonesia mengenai isu kemanusiaan terhadap etnis Uyghur.

Seharusnya, Indonesia dapat memanfaatkan berbagai platform internasional untuk menyuarakan keprihatinannya terhadap Islamofobia dan untuk mengadvokasi perlindungan hak-hak Muslim, termasuk Uyghur. Indonesia dengan reputasinya sebagai negara dengan populasi muslim yang moderat, dapar mengambil peran sebagai fasilitator dalam inisiatif ini. Dengan menggandeng negara-negara Muslim lainnya, Indonesia dapat mendorong pembuatan resolusi internasional yang mengecam tindakan diskriminatif dan kekerasan muslim. Selain itu, kerjasama ini dapat mencakup pertukaran informasi dan praktik terbaik dadlam menanganin kasus-kasus Islamofobia di berbagai Negara.

Upaya Indonesia dalam mengadvokasi isu Uyghur dinilai kurang maksimal, dikarenakan Indonesia masih belum berani mengambil langkah konkrit untuk menyuarakan dan membantu etnis Uyghur mendapatkan hak-hak mereka. Hal ini dikarenakan, Indonesia masih memiliki banyak kepentingan terhadap China. Indonesia memiliki kerja sama yang cukup erat dengan China pada sektor-sektor strategis contohnya seperti sektor ekonomi dan investasi.

Sikap pasif Indonesia terkait isu Uyghur sangat terlihat jelas pada tahun 2022, Indonesia menolak usulan penyelenggaraan debat mengenai situasi muslim Uyghur di Xinjiang pada United Nation Human Right Council. Alasannya, Indonesia tidak ingin melihat Dewan HAM PBB dipolitisasi oleh negara-negara yang memiliki kepentingan sepihak, Indonesia menanggap usulan debat ini merupakan inisiatif Amerika Serikat untuk menjatuhkan rival nya, China.

Menghadiri sebagai pembicara pada kegiatan the 56 
sessions of the Human Rights Council membahas
tentang Countering Islamophobia in Asia: From Awareness
to Action di Kantor PBB Geneva, 5 July 2024

Namun beberapa masyarakat Indonesia menganggap, bahwa tindakan yang dilakukan oleh Indonesia merupakan tindakan pembelaan untuk China, dikarenakan jika Indonesia menyetujui diskusi tersebut khawatir akan memberikan dampak negatif terhadap hubungan diplomatik maupun kerja sama antara Indonesia dan China, yang dinilai Indonesia sangat bergantung dengan China terkait ekonomi dan investasi.

--

--