Balada Orang-orang Obskur

Adli Muaddib
1 min readOct 23, 2022

--

Untuk Kawan-kawanku di Jalan Buntu

Kita berjalan, penuh pelan menyusuri jalan buntu
di sebuah bilangan marjinal Jakarta Selatan
sesekali menjadi para normal, tabib, atau bayang Athena
sesekali lagi mewujud setan

Kami semua menggandeng kekasih
yang bersandar di pagar-pagar menara gading
Tangan kanan menenteng renteng tasbih/botol arak lusa malam
di belah tangan kiri memangku buku biografi Soeharto
dan tak tersisa lagi tangan untuk mencabut nyala rokok dari bibir
sembari mengata-ngatai sunyi tower listrik
yang serupa mercusuar

Besar harapan kami menadah pada tanaman mint mati,
edelweis kebun, dan alir selokan bersih
mural jalang, tentang matinya simbol-simbol
dan perjalanan kokok ayam di jam sebelas malam

Semua menyala: tong pembakaran dengan plastik-plastik banal
sesaat harus mampu mengelabui buntu, dari sketsa gemintang
tangis terbendung, dan kisah-kisah terpuruk;
membakar surat-surat asmara

“Aku di sini, Ind, menjadi matahari atau menjadi mata api
di sepanjang harimu, naif dan tergesa-gesa
mengekori guru-guru, dan mengedepankan anak-anak;
belajar tentang Widji, belajar tentang ibuku”

“Tetapi nun menuju cerah dan warna, kau bertahan pada gigih
warna yang mahal, sementara aku memilih tak memihak….”

Sebuah pesan di gawai, dari tuan, semerta
“pulang, rendaman baju sudah bau!”

Saat matahari terbenam, aku memanggil ketakutan yang enyah
dari sepersepuluh kisah harian, kemudian lenyap tak tersisa;
hanya ruang digital
dan ketakutan, dan bayang juru ‘sudah’

Jalan Buntu
Agustus, 2020

--

--