Ibu, Ayah dan Luka yang Nyatanya Masih Membekas

Meysie
5 min readSep 21, 2023

--

“Udah dibilangin beberapa kali! Kalau barang punya anak saya itu jangan pernah dipegang-pegang! Kalau rusak begini memang kamu bisa ganti?!”

Ibu berujar seraya mencengkeram lengannya dengan keras, menarik Deo masuk ke dalam rumah setelah tetangga mereka datang membawanya pulang dengan tubuh penuh memar disertai ban depan sepeda milik Mas Jinan yang terlepas dari tempatnya

Cowok berusia delapan tahun itu meringis ketika tubuhnya di dorong sehingga terjatuh di lantai, mengusap lengannya yang sakit akibat cengkeraman Ibu juga karena pukulan anak-anak asing di taman yang tak terima salah satu temannya tertabrak Deo saat ia belajar mengendarai sepeda.

“Ma-maaf, Ibu. Tadi aku kena pukul karena gak sengaja tabrak anak-anak di taman,” jelas Deo, pelan.

Namun, Ibu tidak mau mendengar. Ibu justru semakin marah sebelum Deo menjelaskan lebih dalam alasan rusaknya sepeda Mas Jinan.

“Mau alasan apa pun kamu seharusnya jaga sepeda itu! Udah pinjam enggak bilang, sekarang jadi rusak, kan?! Kamu mau saya aduin ke suami saya?!”

Deo menggeleng brutal. Ia takut sekali dengan ayah sebab pria itu akan memberikan lebih parah, jika Ibu mengadu pada ayah maka tamatlah tubuhnya, bekas pukulan anak-anak yang mungkin usianya hanya berbeda satu atau dua tahun di atas Deo saja sudah merasa menyakitkan, apalagi ditambah dengan ayah.

“Jangan … I-bu. A-aku minta maaf, aku tadi cuma mau belajar sepeda biar enggak capek pulang sekolah jalan.”

Deo memohon dengan meraih jemari hangat Ibu yang lembut. Jika keluarga mereka baik-baik saja mungkin ia tidak perlu melakukan itu sebab Ibu akan menjemputnya pulang seperti yang dilakukannya pada Mas Juna dulu. Jika kehadirannya diterima mungkin Ayah bersedia mengajarinya bersepeda sehingga ia tidak harus belajar sendirian dan selalu akan ada tangan yang menangkapnya ketika terjatuh.

Namun, kenyataannya tidak sebaik itu, kan? Sebanyak apa pun Deo menolak, kehadirannya memang tidak pernah diterima.

“Kenapa lagi anak itu?”

Atensi keduanya beralih pada Ayah yang berdiri dengan wajah lelah. Deo melepaskan genggamannya dari Ibu lalu beringsut mundur. Jantungnya berdetak lebih cepat, kedatangan Ayah yang tiba-tiba membuat ketakutannya semakin besar.

“Sepeda Jinan rusak karena dia, Mas. A-aku udah berusaha jaga barang-barang Jinan sama Juna dari dulu, t-tapi sekarang rusak.” Ibu mulai menangis, jemarinya menunjuk Deo yang kini hanya bisa menuduk tanpa memohon ampun lagi.

“Dasar kamu, ya! Bikin susah mulu ma — ,”

“Adek!”

Deo tersentak ketika suara lantang itu terdengar tepat di telinganya. Napas anak itu memburu, matanya berair dengan sorot mata bingung. Kepala Deo lantas menoleh pada Jinan yang menatapnya dengan penuh khawatir. Kilas balik lukanya dulu ternyata berubah menjadi mimpi yang menakutinya.

“Adek kenapa? Astaga, Mamas panik lihat Adek tidur sambil nangis gitu.”

Jinan betul-betul panik ketika sesampainya di mobil — sehabis membeli barang yang lupa masuk dalam daftar belanjanya tadi — Deo terpejam dengan igauan serta air mata yang berjatuhan, Jinan sempat mengguncang bahunya dengan keras, tetapi adiknya masih tetap terpejam. Pemuda itu baru kembali melihat hal seperti ini setelah cukup lama Deo bisa tertidur dengan damai.

“Ma-af,” jawab Deo terbata. Jantungnya masih berdetak tak karuan setelah mimpi itu terasa sangat nyata. Gurat marah Ibu serta suara lantang Ayah masih berputar di kepalanya.

“Adek mimpi apa?”

Deo diam sebentar, menimang apakah harus ia sampaikan mimpi yang dialaminya. Namun, jika berbohong dan berkata tidak apa-apa pun Mas Jinan tidak akan percaya sebab sudah lebih dahulu melihat tidurnya yang tak nyaman.

“Adek?”

“Mimpi Ibu sama Ayah …, Mas.”

Di tengah rasa takut yang masih memeluknya, Deo bisa merasakan hangat tangan Mas Jinan membungkus dingin jemarinya, mengusapnya dengan pelan sehingga apa yang ada di dadanya berangsur mereda.

“Udah … Adek udah enggak apa-apa, ya. Adek sekarang ada Mamas di sini.”

Kendati Jinan berujar demikian untuk meredakan takut yang Deo punya, jauh di dalam hatinya rasa takut itu muncul juga. Jinan belum berbicara perihal kedatangan Ibu dan Ayah di rumah, lalu setelah melihat kejadian sore itu hatinya diliputi takut dan ragu.

Tidak lama setelah itu, mobil yang Jinan bawa mulai sampai di rumah. Keduanya turun secara bersamaan, tetapi kali itu tangan Deo yang biasanya hanya dibiarkan berada di dalam saku digenggam oleh Mas Jinan sebelum masuk. Ia sedikit kebingungan, tetapi hanya bisa menurut.

Langkah keduanya bergerak menuju pintu dengan Mas Jinan berjalan lebih dahulu, sementara Deo berada tepat di belakang laki-laki itu. Lalu ketika langkah keduanya melalui pintu, suara seseorang membuat Deo membeku

“Eh, udah pada pulang?”

Itu suara Ibu, Deo hafal betul. Kepalanya sedikit menyembul dari tubuh tegap Mas Jinan, memastikan apakah perasaanya salah. Di sana Ibu berdiri memandangi mereka, tangan wanita itu membawa piring besar yang Deo tak tahu itu apa. Tatapannya lembut, tetapi Deo justru merasa takut.

“Deo?” Untuk pertama kalinya, Ibu memanggil Deo selembut itu.

Genggaman tangan Deo mengerat, jantungnya kembali berdebar tak karuan. Meskipun hari itu Deo mengirimkan surat kepada Ibu dengan diiringi rindu, nyatanya ketika kembali bertemu rasa takut itu mengalahkan rindunya lebih dari apa pun. Semua luka yang Ibu goreskan, semua kejadian menyakitkan yang dialaminya dulu berputar selayaknya kaset rusak, terus-menerus.

“Eh, udah pada pulang, kan? Ayo, makan dulu, Ayah lapar lama nunggu, nih.”

Kemudian belum surut rasa takutnya pada Ibu, suara ayah terdengar menyusul. Deo semakin menunduk, genggam tangannya pada Mas Jinan terlepas dan bergerak mundur. Deo ingin pergi, ia takut kehadirannya di sini mengganggu, ia takut kembali menjadi bayangan di sana, Deo sangat takut.

“Deo kenapa, Nak? Deo kangen Ibu, kan?”

Tangan Ibu bergerak mencoba meraih jemarinya yang dingin. Namun, Deo kembali mundur lalu jatuh terduduk karena tersandung dengan napas yang memburu. Semua orang yang ada di sana serentak memanggil namanya karena panik, mereka semua mendekat untuk memastikan apakah ia baik-baik saja sebab jatuh dengan cukup keras.

“A-ampun … ampun, ma-af.” Deo meracau, kedua tangannya bergerak menutup telinga yang berdegung. Kepalanya berisik, dadanya terasa sakit. Deo tidak bisa mendengar jerit panik Mas Jinan yang segera mendekat, isi kepalanya penuh dengan banyak makian yang dahulu sering didengarkan.

Deo anak nakal.

Ibu sangat benci pada Deo.

Deo seharusnya tidak pernah hidup.

Deo menyusahkan.

Deo, mati.

“A-ku engga nakal … engga nakal … jan-ji.”

Jinan menahan kedua tangan Deo yang dengan brutal memukul kepalanya sendiri, menariknya ke dalam peluk agar anak itu sedikit lebih tenang. Bahu Deo bergetar sempurna, isak tangisnya terdengar menusuk semua orang yang ada di sana.

“Engga na-kal … ja-ngan pukul lagi.”

“Iya, adek bukan anak nakal. Adek anak baik. Maaf, maafin Mamas, ya, Adek.”

Jinan berujar dengan begitu pelan, terus mengusap bahu adiknya yang bergetar hebat karena tangisan. Jika luka diibaratkan seperti tulang yang patah, maka sembuhnya tidak akan pernah sempurna, cacat demi cacat di sana masih ada, membekas, selamanya.

Sementara di sana Ibu mulai maju memangkas jarak lebih dekat, berjongkok lalu memeluk tubuh kecil anak yang selama ini ia abaikan, ia salahkan kehadirannya. Jemari wanita itu ikut mengusap bahu kecil Deo yang masih bergetar, lalu menggenggam jemari dingin nan kasar milik anaknya untuk menyalurkan hangat.

“Adek, maafin Ibu, ya.”

Untuk pertama kali Ibu memeluknya dengan sangat erat, tapi yang Deo rasakan hanyalah keasingan.

--

--