Damn, why did I take too long to get ready?! Jadi telat, kan.
Winter, gadis berambut coklat sepundak yang lurus dan rapi — hasil catokan — itu merutuki dirinya sendiri. Helaan napas dan hentakan kaki menghiasi suasana pagi ini.
Jarum pendek di jam tangan yang melingkari lengan ramping sang gadis telah menuju ke angka 9, dan kelasnya sudah akan dimulai dalam 20 menit. Lagi-lagi, Winter merutuki dirinya. Karena, seharusnya, ia berangkat dari sekitar setengah jam lalu, mengingat perjalanan ke kampusnya yang cukup memakan waktu jika harus menggunakan angkutan umum seperti bus.
Demi mengejar waktu, Winter akhirnya memutuskan untuk memesan ojek online. Meskipun harganya jauh lebih mahal dari ongkos biasanya, ya, mau bagaimana lagi? Ia tidak boleh telat untuk kelas ini, karena ini adalah pertemuan pertama dan dosennya cukup strict.
Menit berlalu, sebuah notifikasi menandakan bahwa terdapat driver yang mengambil pesanannya.
“Karina Y.” Winter menggumamkan nama sang driver. Hum, keren, driver-nya mba-mba, ujarnya dalam hati. Entah mengapa, Winter selalu terpukau ketika ia menemukan seorang perempuan yang bekerja di bidang yang biasanya didominasi laki-laki. Menurut Winter, mereka adalah perempuan yang luar biasa, dan Winter bersyukur mendapatkan seorang wanita sebagai driver-nya kali ini.
Sebenarnya, driver Winter tidak memiliki foto profil, ia hanya mengasumsikan driver-nya perempuan karena namanya. Perempuan berambut coklat itu memberi pesan kepada sang driver, memberitahu bahwa rumahnya bernomor 11, dan ia sedang berdiri di gerbangnya, memakai baju berwarna abu-abu.
Jarum tipis di jam tangan Winter terus bergerak, tetapi pesannya masih belum dibalas, bahkan belum dibaca oleh driver-nya. Sang gadis baru saja ingin merutuki driver yang tadi ia syukuri itu, tetapi matanya menangkap sesuatu yang mendistraksi dirinya. Di seberang Winter berdiri, terdapat seorang perempuan dengan rambut hitam potongan wolf-cut, memakai kaos hitam serta jeans, dan ia sedang terduduk di atas motor. Dari penglihatan Winter, perempuan tersebut seperti sedang merutuki ponselnya, kemudian melempar asal benda persegi panjang itu ke dalam dashboard motornya. Perempuan itu melengos, dan saat ia menengok kiri, matanya menangkap eksistensi Winter. Ketika itu pula, kedua alis perempuan itu terangkat, seakan-akan menemukan jawaban dari pertanyaan yang tengah ia pikirkan.
Mata Winter membulat, perempuan tadi membawa motornya mendekat ke tempat Winter berdiri. Setelah melihat dari dekat, Winter meneguk ludah. Perempuan itu sangat… Cantik — Ah, tidak. Ia tampan. Tapi… Cantik juga… Campuran, deh. Cakep.
Perempuan berkaos hitam itu memarkirkan motornya di depan Winter. Ia tersenyum, seraya bertanya, “Mbak, nunggu ojek online kah?”
Mendengar itu, Winter terdiam sejenak. Berupaya memproses apa yang baru saja gendang telinganya tangkap. Suaranya… Suara Mbak itu, attractive banget…
“Mbak?”
Tersadar dari lamunannya, Winter menjawab, “I-iya, Mbak?”
“Nama driver-nya Karina dan tujuannya ke Universitas Kebangsaan, bukan?” tanya perempuan itu lagi.
Winter melihat ponselnya sekilas, lalu menatap Mbak Driver dan diikuti dengan anggukan.
“Ah… Itu saya, Mbak. Maaf, tadi hp saya tiba-tiba error dan sekarang mati, jadi ga bisa dihubungin…” jelas driver yang ternyata bernama Karina tersebut. Senyuman yang menunjukkan rasa tidak enak itu terlukis di wajahnya.
Hah? Gila, secakep ini jadi driver gue?! Seakan tidak percaya, Winter berkedip hingga dua kali.
“I-iya, gak apa apa.”
Karina tersenyum. Kemudian ia berkata, “Oke deh, Mbak. Saya siap-siap dulu,” sambil membuka jok motor untuk mengambil jaket berwarna hijau — khas ojek online tersebut — dan memakainya. Tidak lupa, helm yang tadinya ditaruh di kaca spion itu ia pakai di kepala mungilnya.
Setelah atributnya dipakai dengan lengkap, ia menyerahkan helm penumpang pada Winter, yang mana direspon dengan, “Saya gak usah pake-”
“Pake helm-nya, Mbak. Biar safe,” peringatnya. Kedua mata Karina melengkung seperti bulan sabit, mengikuti bibirnya yang juga tersenyum untuk meyakinkan penumpangnya.
Winter ikut tersenyum, seraya menerima helm dan memakainya. Persetan akan rambut indahnya yang menjadi rusak karena terbekap helm. Karina ingin ia memakainya, agar safe, dan ia pun tidak bisa apa-apa selain menuruti perkataan driver rupawan itu.
Sambil menunjuk ke arah tote bag Winter, Karina bertanya, “Mbak, barangnya mau taruh depan?” yang hanya dijawab dengan gelengan dari Winter.
Begitu Winter naik ke jok — tepat di belakang Karina — wangi yang manis seperti vanila itu menyapa indra penciumannya. Tentu, wangi itu bersumber dari sang driver. Rasanya, Winter ingin memeluk sambil menghirup-
“Udah siap, Mbak?” tanya Karina, begitu ia merasakan penumpangnya telah naik dan duduk di belakangnya.
Tersadar dari lamunannya, Winter segera menjawab, “Udah siap.”
“Eh iya, sebelumnya… Hp saya mati, jadi saya gabisa liat maps. Saya juga belum terlalu familiar sama perjalanan ke UK, jadi mungkin nanti saya bakal tanya-tanya sama Mbak, boleh?” ucap Karina sambil menyengir.
Winter tertawa kecil. “Iya, Mbak. Nanti ku kasihtau.”
Di situasi kepepet seperti sekarang, biasanya Winter akan menyuruh driver-nya ngebut. Persetan akan lalu lintas, yang penting ia sampai tepat waktu. Namun, ketika bersama driver yang satu ini… Rasanya ia ingin menghayati tiap detiknya, tidak ingin buru-buru. Persetan kelas, persetan dosen strict, persetan bokong tepos. Winter hanya ingin duduk di jok motor Aerox ini dalam waktu yang lama, bersama dengan driver yang super atraktif bernama Karina.
Selama di perjalanan, Winter bersyukur karena ia memutuskan untuk memakai masker sebelumnya. Pasalnya, ia tidak bisa berhenti senyam-senyum sejak awal duduk di jok ini. Arah pandangnya jatuh kepada spion yang menampilkan pantulan sang driver yang wajahnya terlihat serius menatap jalanan. Sungguh, sungguh atraktif. Pikiran Winter berfantasi, membayangkan bahwa perempuan di depannya ini adalah pacarnya. Ah, ia ingin sekali melingkari lengannya di pinggang si driver cakep.
Tidak ada obrolan antara kedua insan, karena yang satu fokus dengan jalanan, sedangkan yang satu lagi fokus curi-curi pandang si rupawan. Namun, tidak apa-apa, Winter menyukai suasana ini. Ia sudah senang dengan hanya melihat wajah rupawan sang driver lewat kaca spion itu. Lagian, Winter akui, ketika berada di motor, ia menjadi sedikit lebih ‘budeg’. Butuh beberapa kali “Hah?” untuk dirinya menangkap omongan driver, dan ia tidak ingin mempermalukan dirinya di depan Karina dengan hal itu.
Namun, ketika sedang asik curi-curi pandang ke spion dan sibuk dengan fantasinya sendiri, Winter dikejutkan dengan pertanyaan, “Mbak, lurus atau belok?”
“Hah?”
“Lurus. Atau. Belok?”
“Hah??”
“LURUS ATAU BELOK?”
Sebenarnya, Winter telah mendengar pertanyaan Karina bahkan sebelum “Hah?” yang pertama. Namun, dirinya refleks bertanya “Hah?” berkali-kali, karena ia bingung harus menjawab apa. Lagian, tiba-tiba banget, nanyanya. Maksudnya apa juga, nanya begitu? Bahkan, Winter sendiri sebenarnya masih bingung perkara hal tersebut. Gue harus jawab apa…
“Mbak???”
“Uh, anu… Saya… LURUS!”
Winter merasa bersalah. Lurus? Dirinya lurus?? Mana ada, seorang perempuan yang straight tapi senang menatap perempuan lain dan berfantasi sedang boncengan dengan pacarnya ketika sedang dibonceng oleh seorang perempuan. Bahkan, ingin memeluknya?! Tapi, mantan Winter laki-laki semua… Winter juga belum pernah memiliki gebetan perempuan (sebenernya pernah, ia denial aja). Tetapi, Karina…
Ah, apa harusnya gue jujur aja, ya?
Gadis yang sedang bergulat dengan pikirannya sendiri itu meneguk ludah, lalu memanggil, “Mbak?”
“Ya?”
Winter berbicara dengan pelan, “Saya…” helaan napas keluar dari mulutnya. Lalu, dilanjutkan dengan cepat dan lebih keras, “Kayaknya belok, deh.”
Setelah berkata seperti itu, rasanya beban di pundak Winter hilang. Oh, jadi gini, rasanya menerima diri sendiri dan ga denial lagi. Sungguh melegakan… Rasanya lega, akhirnya dapat mengakui dan menyuarakan tentang dirinya yang sebenarnya kepada orang lain. Namun, perasaan lega itu terhenti karena reaksi sang driver mengejutkannya.
“Yah, Mbak!”
Mendengar itu, Winter jadi panik. “K-kenapa??!”
“Ini belokan ada dimana lagi, ya? Kayanya cuma ada belokan yang tadi aja, deh… Jalanan ini lurus terus.”
Gadis dengan baju abu-abu itu terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia melihat sekitar, lingkungannya sangat tidak familiar… Lalu, ia pun tersadar — Bodoh! Winter bodoh! Tentu saja, Karina bertanya tentang arah jalan. Bukan seksualitasnya. Ya Tuhan… Malu banget…
“Mbak?” suara serak itu kembali memanggil.
Winter hanya bisa menghembuskan napas lemas, ia ingin sekali melompat ke dalam portal dan menghilang dari dunia ini.