Aku Mencintai Sunyi, dan Merindukan Ramai

Lia A.
2 min readSep 19, 2016

--

Aku tumbuh sebagai seseorang yang lebih mencintai kesunyian. Mungkin karena ditempatku tumbuh, kesunyian hadir hampir setiap hari. Tidak terlalu banya suara disana, hanya gemericik sungai, bisikan angin sawah, lambaian manusia jerami, gumaman air mendidih dan sesekali tawa riang anak-anak kecil.

Mungkin bagi sebagian orang, kesunyian itu mencekam. Tapi bagiku, kesunyian menawarkan tempat yang luas untuk diriku bercakap-cakap dengan segala jenis suara dikepalaku.

Kepalaku adalah hutan liar, dimana bermacam suara tumbuh subur disana. Dan kesunyian adalah pupuknya. Aku bisa kesana kapanpun aku butuh itu. Nyatanya, hutan liar menyelamatkanku dari liarnya dunia nyata.

Karena itulah, aku mencintai kesuyian.

Phot by David Hlinka

Di tempat dimana siang dan malam sama ramainya, aku tak bisa menemukan diriku. Aku seringkali tersesat diantara percakapan dan tawa keras. Lampu warna-warni itu sebenarnya adalah penghiburan atas kegelapan dalam diri penghuninya. Musik keras adalah cara mereka menumbuhkan suara hutan di kepala mereka. Dan kata-kata tumpah ruah*; di dinding toilet**, di pinggir jalan, di belakang truk…

Karena itulah, aku benci ramai.

Mungkin karena sunyi sudah terlalu jenuh. Dan setiap hari hanya terdengar suara yag sama dari hutan itu. Seringkali mereka mencuat seenaknya, menumpahkan riak air sungainya, yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Membuatku merindukan ramai.

Aku butuh suara yang lebih keras untuk menenggelamkan suara-suara kacau di kepalaku. Terpikir bahwa suara bising dari dinding gedung bioskop mungkin berguna. Terkadang pula aku merindukan lampu-lampu silau itu, untuk menyesatkan diriku, untuk memahami bahwa tak ada yang lebih baik dari berada di rumah dan menikmati secangkir teh di musim hujan.

Ya, tempatku pulang memang sunyi, tapi hutan di kepalaku tak pernah sunyi. Ya, aku benci ramai, tapi menjadi tersesat di dalamnya tak pernah gagal menunjukkanku jalan pulang. Ya, aku rindu ramai, tapi aku tak pernah berpikir untuk tinggal disana.

*terinspirasi dari Seno Gumira Ajidarama, dari bukunya Sepotong Senja untuk Pacarku.

**terinspirasi dari Eka Kurniawan, dari bukunya Corat-coret di Toilet

P.S. Catatan kecil dari seseorang yang lahir dan tumbuh di desa, namun kadang main ke kota.

Photo by Yasaman Jafari, David Hlinka

--

--