KALENG SODA

aghni
10 min readJan 30, 2024

Qia selalu minum soda kalau Ayah jauh dari rumah. Katanya, itu minuman yang paling mengingatkannya akan Ayah, juga mendekatkannya. Tapi hari ini, Ayah ada di rumah — dan Qia minum soda. Kata Qia, meskipun Ayah di rumah, tetap saja rasanya jauh. Lelaki yang sudah mulai beruban itu (karena kebanyakan mikir, bukan tua) belakangan ini sering sekali memarahi Qia meski gadis itu sudah ikut aturan.

Dua minggu ini Qia pulang malam dan Ayah jelas tidak suka itu. Padahal Qia sudah izin detail. Qia sudah menuruti semua perintah Ayah. Qia juga sudah izin Bunda. Qia juga tidak melewatkan perintah Bunda — atau Kak Ann. Tapi Ayah tetap tidak suka Qia selalu pulang malam.

“Sekali lagi Qia pulang malam, tidur di luar. Ayah nggak mau toleransi lagi!” begitu ancamnya (setidaknya sejauh ini masih hanya berupa ancaman).

Di rumah Qia ada empat orang : Ayah (paling galak, paling berkuasa, paling tidak suka Qia pulang malam), Bunda (paling baik, paling tidak tega kalau anak-anaknya — re : Qia — dimarahi Ayah), Gianna Nareswari (dipanggil juga Ann, Kak Ann, Kakak), dan Qianna Prameswari (Qia). Ann adalah anak pertama yang mengambil peran Bunda [baik hati, lembut, penyayang, dan tidak pernah marah]. Ann hanya terlihat dingin karena mewarisi mata Ayah yang setajam malam, juga auranya yang sedingin musim. Sementara Qia, parasnya sepenuhnya milik Bunda. Ramah, menggemaskan (diam-diam Qia juga suka marshmellow dan kucing), tapi sikapnya — sepenuhnya milik Ayah [garang, pemarah, tidak sabaran, self-centered, percaya diri tinggi, pemberani, pengembara, pembunuh bayaran — ].

Kalau katanya buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, maka Qia adalah buah yang tidak jatuh dari pohonnya. Ia menempel setia pada sang pohon, tumbuh merambat sampai membentuk perkebunan sendiri. Maka sejauh apapun ia menjalar, Qia tetap bagian dari pohon buahnya. Qia membawa jiwa dan gagasan Ayah ke manapun gadis itu melangkah, berlari, atau tersungkur sekalipun. Kalau Gianna adalah gadis Ayah, maka Qianna adalah jagoan Ayah.

Gadis dengan rambut panjang bergelombang itu menyesap sodanya, bulir-bulir gelembung terasa seperti kembang api di lidahnya sendiri. Sudah malam — kemungkinan pukul setengah sepuluh — dan Qia berada di luar rumah. Qia tadi sudah pulang, dari rumah teman sehabis berlatih drama untuk pengambilan nilai Bahasa Inggris besok. Ia pulang dengan wajah terlipat seperti buku-buku yang ia masukkan asal ke dalam tas. Sekolah sudah pulang sore, lalu lanjut ke rumah teman untuk berlatih drama yang dialognya masih banyak revisi pada H-1 pementasan, lalu memikirkan konsep outfit untuk para tokohnya, menyiapkan konsep latar menggunakan power point, musik latar, dan lain-lain. Capek.

Namun, dengan segala keletihannya, bukan peluk hangat Bunda atau susu cokelat hangat buatan Kak Ann yang menyambutnya, melainkan tatapan marah Ayah. Qia menghela napas dan segera menjelaskan, “HP Qia mati, Ayah… Tadi Qia mau charge dulu, tapi takut makin malem pulangnya. Ini Qia ngebut — “ mata Ayah semakin melotot, “ — biar cepet sampai rumah…”

“Jadi remaja bukan berarti kamu bisa seenaknya sama orang tua kamu, Qianna!”

“Siapa yang seenaknya? Qia, kan, udah izin dari semalem, kemarin-kemarin, dan sebelum-sebelumnya. Ayah, nih, nyimak nggak, sih, kalau Qia izin!? Kenapa setiap izin Qia selalu dipermasalahin begini ujungnya!? Iya, Qia salah karena ngebut-ngebut. Tapi nanti kalau pulang lebih telat, Qia makin salah, kan!? Ayah, tuh maunya apa, sih!? QIA CAPEKK!”

Jawabannya membuat Ayah semakin naik pitam. Qia takut, tapi sama seperti Ayah, Qia jago menyembunyikan kelemahannya di depan lawan. Dan saat ini, lawannya adalah Ayah. Mungkin Qia memang anak durhaka. Tapi kata teman-teman Ayah, Ayah juga dulu pernah punya hubungan tidak baik dengan Opa. Mungkin Qia adalah karma yang setimpal untuknya. Sudah dibilang, Qia adalah buah yang tumbuh merambat dari pohonnya.

Yang terjadi selanjutnya adalah Qia segera melarikan diri. Ia sempat berbalik lagi dan bilang, “Jadi orang tua juga bukan berarti Ayah bisa seenaknya sama anak!” lalu BRAK! Qia membanting pintu rumah. Kak Ann dan Bunda mencegahnya pergi, tapi sama-samar Qia bisa dengar Ayah berteriak. “Biarin aja. Pergi sana yang jauh! Nggak usah pulang!”

Maka di sinilah Qianna Prameswari, di salah satu bangku kosong sebuah minimarket yang lampunya masih menyala pukul segini. Sebenarnya Qia punya nama tengah, yang kata Ayah adalah nama favoritnya. Artinya “yang disayangi”. Tetapi, mengingat kondisinya dengan Ayah sekarang, Qia ragu masih bisa mengklaim hak milik nama tengahnya.

Sudah satu jam lebih sejak Qia kabur dari rumah, sudah lima kaleng soda ia habiskan dan remukkan (dan sedang meminum yang keenam). Persetan dengan sakit perut atau penyakit saluran pencernaan lain, Qia muak. Masih bagus ia tidak meminum minuman keras — adakah yang lebih keras dari Ayah? Bahkan Qia ragu soal itu.

Jadi begini keadaannya sekarang : ponsel Qia benar-benar mati, uang di sakunya hanya tersisa untuk bayar parkir, tidak membawa baju ganti, seragamnya sudah kusut dan kusam (besok harus dipakai lagi), kaki tangannya penuh lecet (beberapa dari lukanya mengeluarkan darah) — terjatuh dari motor karena mengendarai sambil emosi, rambutnya berantakan, badannya penuh keringat karena belum mandi sore, di hadapannya berserakan sampah (bungkus bandaid, botol obat luka, lima kaleng soda remuk, dan bungkus marshmellow). Berantakan, luar dan dalam.

Qia menopang dagunya dengan tangan kanan, tangan kirinya kembali meremukkan kaleng soda keenam. Kemudian berniat membuka satu kaleng lagi. Sayang, tangannya terlalu lemas (Qia belum makan sejak sore), dan kaleng soda itu terlepas dari tangannya. Tergelinding, yang Qia yakin, isinya pun sudah terguncang. Qia membungkuk seraya merintih guna mengambil seonggok kaleng yang isinya masih utuh, kembali ke tempat duduknya di mana tasnya berada, dan mulai membuka isinya. Naas, sodanya muncrat membasahi rok putihnya. Setelah ini Qia juga harus minta maaf pada Bunda karena mengotori benda pusaka itu.

Qia tidak menghindar, gadis itu diam saja. Pasrah. Dipandanginya sekaleng soda di tangannya, isinya mungkin sisa setengah. Qia tak jadi meminumnya. Kini gadis itu termenung, ia melipat tangannya di meja dan menaruh dagunya di sana. Masihkah minuman itu mendekatkannya dengan Ayah? Bahkan hingga hari ini?

Ayah suka sekali soda. Menurut Qia, Ayah adalah soda, dan soda adalah Ayah. Gadis itu pertama kali meminum soda secara tidak sengaja. Ketika itu Ayah sedang menaruh kembali sebotol soda raksasa (waktu itu Qia lima tahun) dan dengan teledor Ayah meletakkan gelas tanpa tutup berisi soda di meja ruang tamu yang rendah. Melihat gelembung-gelembung kecil yang meletup di permukaan kaca dalam gelas, Qia penasaran dan antusias. Asumsinya, apapun yang ditaruh di gelas itu bisa diminum. Gelembung yang biasa Qia punya tidak bisa diminum, tapi mungkin yang ini bisa. Maka dengan rasa berani Ayah yang dilapisi penasaran serta kepolosan Bunda, Qia meneguknya.

Mengejutkan. Kasar di lidah dan tenggorokan. Seperti tersengat listrik, namun menyenangkan karena ada letupan kecil di lidahnya. Baru sedikit, lalu gelas ditarik paksa oleh Ayah. “QIA!!! Qia belum boleh minum ini, Sayang. Ini punya Ayah… Nanti Qia minumnya kalau udah besar.” Qia bertanya sebesar apa, lalu Ayah menjawab, “Sebesar kalau rok sekolah Qia sudah warna biru tua.”

Lalu Qia menurut, mungkin yang ini gelembung milik orang besar. Ayah menjelaskan bahwa itu bernama soda, gelembungnya ada karena minumannya dikarbonasi. Qia kurang paham soal karbonasi, lalu Ayah bilang, “Nanti kalau rok Qia abu-abu, Qia mungkin bisa paham. Soalnya Qia lebih pintar dari Ayah.” Sekarang rok Qia masih ungu kotak-kotak, jadi mungkin Qia perlu menunggu sebentar lagi.

Ayah selalu begitu, ia selalu menjawab pertanyaan Qia dengan gambaran yang jelas. Misalnya :

“Ayah, temen-temen Qia pada pacaran. Qia boleh juga? Pacaran itu apa?”

“Boleh, nanti kalau Qia sudah besar.”

“Sebesar apa?”

“Sebesar … Kalau tingginya Qia sudah lewat dari Ayah.”

Qia kecil tidak mengerti dan hanya mengangguk. Sekarang Qia besar hanya bisa tertawa tiap kali mengingatnya. Ayahnya itu … Memang penuh akal bulus. Kalau dipikir-pikir, mana mungkin Qia dan Kak Ann yang hanya mewarisi tinggi Bunda dan secuil gen tinggi Ayah itu bisa tumbuh melebihi Ayah? Qia tersenyum tipis, mengingat betapa Ayah adalah seorang ayah yang posesif.

Qia merenung lagi. Dipandanginya kaleng soda yang berdiri tegak di hadapannya. Kalau dipikir-pikir, memori inti pertama yang tersimpan lekat dalam benaknya perihal Ayah, adalah memori tentang soda. Mungkin itu sebabnya ia selalu mencari soda ketika Ayah tidak ada. Kalau dipikir lagi, keduanya adalah sosok yang selaras.

Kadang-kadang, suara Ayah begitu menggelegar hingga membuat mata Qia menyipit sebelum akhirnya menjadi begitu tegar. Sama seperti air soda ketika pertama kali Qia menyesapnya.

Kadang-kadang, nasehat Ayah sukar diterima. Terdengar kasar di tenggorokan dan sulit dicerna, seperti air soda ketika pertama kali Qia menyesapnya.

Tetapi meskipun kasar, pahit, dan mengejutkan, soda tetap adalah gelembung (Qia sangat menyukai gelembung). Tetapi meskipun kasar, pahit, dan mengejutkan, soda tetap adalah minuman yang Qia habiskan hingga tujuh kaleng. Tetapi meskipun kasar, pahit, dan mengejutkan, soda tetap adalah Ayah. Dan meskipun kasar, pahit, dan mengejutkan, Ayah tetap adalah … Ayah.

Lalu Qia mulai menangis. Pandangannya kabur, sebagaimana ketika ia air soda menghalangi tembus pandangnya permukaan gelas bening dari dalam. Sedikit-sedikit, hatinya mulai berdenyut, sebagaimana lidahnya ketika merasakan letupan ketika air soda membasahi ruang mulutnya. Qia menyesal.

Ditatapnya kaleng soda merah yang tadi jatuh menggelinding. Qia semakin merengek, seakan kaleng itu bilang, “Banyaknya guncangan adalah yang membuatmu meledak, Qia. Bukan salah Ayah, bukan salah Bunda, apalagi Kak Ann. Salahmu yang memilih rute berantakan, salahmu yang tidak becus memegang semuanya, padahal Ayah sudah bilang hati-hati.”

Qia menangis keras, wajahnya terlungkup di tangannya sendiri. Qia mau pulang, tapi takut Ayah. Orang yang penuh salah mungkin memang selalu penuh takut — kalau hatinya masih berfungsi. Tetapi Qia bukan hanya bersalah, ia durhaka, dan hatinya sangat berfungsi. Maka Qia takut — takut Ayah, takut masuk rumah, takut … masuk neraka.

Gadis dengan rambut panjang bergelombang itu menangis hingga bahunya bergetar. Beruntung ini sudah malam, tidak terlalu banyak orang yang mampir di minimarket. Qia sudah tidak peduli lagi, bahkan jika ia muntah karena mualnya sudah tak tertahan — Qia tidak peduli lagi. Berapa usiamu, Qianna? Sudah merasa dewasa dan bisa sendiri, padahal kau tetap jagoan Ayah yang kecil.

Qia sudah tidak mendengar suara kendaraan yang membelah jalan raya. Suara tangisnya meredam suara dunia dan suara hatinya meredam suara marahnya. “Ayah…” Penyesalan memang selalu datang belakangan, buktinya sekarang Qia hanya bisa terisak.

“Qianna.”

Mengejutkan. Membawa letupan. Menggelegar. Qianna melotot dan tangisnya bagai dijeda otomatis. “Maaf.”

Keduanya terpaku. Qia terkejut di kursinya, dan Ayah yang baru saja datang dengan sendal jepit beda sebelah. Qia masih terpaku, sementara kedua mata Ayah beralih pada kaleng soda yang berdiri. Dari noda di rok putih Qia, Ayah pasti langsung tau bahwa soda itu telah menyemburkan isinya. Ayah menatap kaleng itu lekat, seakan sedang berdialog. Seakan kaleng soda itu bilang, “Besarnya tekanan adalah yang membuat isinya tumpah berserakan, Ayah.”

Ayah mengalihkan pandangannya dan menunduk. Bisa Qia dengar ada helaan napas gusar. Ayah sering bilang, ia bisa gila kalau ada satu saja anggota keluarganya yang celaka. Mungkin sekarang Ayah sudah mulai kehilangan akal sehatnya, sebab Qia sudah bisa dikatakan celaka jika menggunakan parameter Ayah.

Qia masih memandangi Ayah dengan pandangannya yang kabur. Dari mulut Ayah, Qia bisa dengar permintaan maaf yang selalu tulus dan rendah hati. “Ayah minta maaf, Qianna.”

Ayah maju selangkah demi selangkah, hati-hati sekali, seakan takut melukai dan menyakiti. Dan Qia terus mendongak, menanti pelukan Ayah sampai pada tubuhnya yang mungil (keturunan Bunda). Tidak sampai satu detik, Qia sudah menangis keras-keras seraya memeluk Ayah erat.

“Qia juga … Juga minta maaf …” ucapnya tersendat tangis. “Qia nggak mau kabur, Qia juga dari tadi mau pulang, Ayah… TAPI UANG QIA SISA SERIBU … NGGAK BISA BAYAR PARKIR! ROK QIA BASAH, AYAHH, QIA KAYAK NGOMPOOLL — HIKS!”

Qia tidak melihat wajah Ayah, tapi Qia tahu Ayah sedang menahan senyumnya. “Qia capekk, tapi Ayah marah-marah terus! Qia jadi kesel terus — TERUS JADI MARAH-MARAH SAMA AYAAHH…”

“Iya, makanya Ayah minta maaf. Ayah yang salah,” kata Ayah tenang. Sebelah tangan Ayah membalas pelukan Qia, sebelah lagi mengusap rambut panjang Qia. Biar kata jagoan, Qia juga tetap anak perempuan Ayah. Anak bungsu Ayah. Anak perempuan bungsu Ayah.

“Maafin Qia, Ayah.” Tangisnya sudah mulai reda. Qia mau menyeka ingus, tapi didahului Ayah dengan lengan bajunya yang panjang. Air matanya sudah mulai surut, dan Qia bisa melihat jelas wajah Ayah. Ini bukan mimpi. Ayah selalu tampan di mata Qia (juga Bunda dan Kak Ann). Qia juga mau punya pacar kayak gitu, pikirnya selalu.

“Maafin Qia karena kurang ajar sama Ayah. Jangan usir Qia ya, Yah? Qia mau pulang…”

“Ayah juga minta maaf, Qia. Ayah juga maunya Qia pulang, semua maunya Qia pulang,” balas Ayah. “Qia kenapa minum soda banyak-banyak gitu? Ini kenapa tangan-kakinya? Jatuh? Di mana? Mana lagi yang sakit?”

Qia terenyuh. Bunda bilang, dulu Ayah sedikit bicara. Tetapi Qia dan Kak Ann tidak mengenal sosok Ayah yang itu. Ayah yang mereka tahu, adalah Ayah yang selalu berisik, banyak omong, dan panjang sekali ceramahnya. Entah apa yang mengubahnya.

“Qia nggak apa-apa.”

“Ah, suka gitu!”

“Ayah juga biasanya gitu!” jawab Qia. “Lagian besok Qia jadi bawang putih, makin keliatan teraniaya semakin bagus.”

Keduanya terkekeh bersamaan. Qia benar-benar anak Ayah. Maka tak semua perlu diutarakan, keduanya sudah mengerti satu sama lain. Seperti buah yang merambat, sejauh apapun, selalu terpaut. “Qia minum soda tiap kali Ayah nggak ada di rumah. Kalau Ayah lagi jauh. Soalnya cuma itu yang bisa bikin Qia merasa tetap ada Ayah.”

Ayah tersenyum getir. “Ini, Ayah di sebelah Qia, kok.”

Gantian Qia yang tersenyum getir. Matanya berkaca-kaca lagi. Muncul pertanyaan di benaknya. Masihkah ia menjadi satu dari tiga kesayangan Ayah? Setelah ia sedurhaka itu pada Ayah?

“Ayah,” panggilnya. Ayah hanya mengangkat sebelah alisnya. Sumpah Qia mau punya pacar kayak gitu. “Qia… Juga masih Kalila-nya Ayah, kan?”

Ayah terkekeh pelan. Sumpah Demi Tuhan, Qia mau punya pacar kayak gitu!!!

“Qia masih mau nerima Ayah nggak?”

“Masih.”

Ayah tidak langsung menjawab. Tubuhnya yang sangat tinggi beliau bungkukkan, menatap kedua mata Qia lekat-lekat. Kedua pipi Qia ditangkup dalam kedua tangannya yang besar, juga kasar. Kerja kerasnya menghidupi keluarga mungilnya terbuktikan. “Kalau gitu jawaban Ayah juga sama,” kata Ayah.

“Masih, Kalila.”

Qia tertegun. Sekon berikutnya ia tersenyum sumringah. Lega. Sangat lega. Kemudian Qia menyerahkan kaleng soda ketujuh yang gagal ia minum. Isinya masih setengah, dan ia berikan kepada Ayah. Qia terkekeh ketika melihat Ayah melakukan cheers di udara pada Qia. Dalam sekali teguk, soda itu tandas. Kedua hal yang selaras bagi Qia itu bersatu padu.

Kasar, pahit, mengejutkan. Membawa letupan. Apapun rasanya, Qia tetap bisa menerima soda. Kasar, pahit, mengejutkan. Membawa letupan. Bagaimanapun dirinya, Qia tetap bisa menerima Ayah.

Qia selalu minum soda kalau Ayah jauh dari rumah. Qia selalu minum soda kalau Ayah jauh darinya. Katanya, itu minuman yang paling mengingatkannya akan Ayah. Bahkan sejak memori inti pertamanya, soda adalah yang selalu menyatukan Qia dan Ayah. Membuatnya mengerti satu sama lain tanpa perlu banyak bicara. Keduanya seakan berbagi pikiran lewat sekaleng soda — entah penuh atau separuh.

Soda adalah yang selalu menyatukan Qia dan Ayah. Begitu pula hari ini.

--

--