Maklumat 2/2024: Selia Simfonia

Sebuah pertunjukan seni yang kompleks, harmonis, dan selaras

Agoy Tama
6 min readMay 28, 2024
Foto dokumentasi Selia Simfonia

Baru kali ini saya alami baca puisi dan menangis sejadi-jadinya di atas panggung. Entah, alasan apa yang membuat airmata seseorang jatuh dan tak mampu dibendung sekuat apa pun itu.

Hari Minggu, 26 Mei 2024 kemarin saya berkesempatan untuk membacakan sebuah puisi di acara Selia Simfonia. Filosofi dari tajuk acara seni pertunjukan ini, yaitu sebuah ajakan kebaikan kepada, khususnya, generasi Z dengan kemasan kompleks, tetapi tetap harmonis, dan selaras — teratur dan relevan — dalam geraknya.

Saya tidak akan menceritakan seluruh isi dan bagaimana acara tersebut berlangsung. Saya hanya ingin sedikit berbagi pengalaman soal bagaimana saya menulis puisi yang dibaca di atas panggung tersebut. Selain itu, saya hendak berbagi cerita perihal bagaimana perasaan saya ketika membaca puisi di atas panggung tersebut. Pada akhirnya, saya hendak mencari-cari tentang mengapa saya bisa menangis sejadi-jadinya di atas panggung tersebut.

Puisi untuk acara Selia Simfonia itu saya beri judul “Wasiat Muhammad dan Rindu yang Lebat”. Sedari awal, saya membayangkan bahwa yang akan membaca atau mendengarkan puisi ini adalah anak-anak remaja generasi Z. Maka, saya kumpulkan beberapa fenomena yang terjadi pada generasi Z. Mulai dari pacaran, FWB-an, kesehatan mental, flexing, ngonten di medsos (umbar aib), eksploitasi rasa iba demi cuan semata, pergaulan bebas, dst. Kemudian untuk bahan perbandingannya, saya baca sebuah buletin berisi 75 wasiat Rasulullah yang diterbitan oleh Daarul Qashim, Riyadl-KSA, dan ditulis oleh Abu Abdurrahman Umar Munawwir berjudul Washiyyah li Asy-Syabab.

Ketika membaca 75 wasiat Rasulullah tersebut dan melihat fakta pemuda atau generasi muda saat ini, rasanya ironis sekali. Apa yang diwasiatkan Muhammad Rasulullah kepada para pemuda tersebut— barangkali juga sebuah harapan besar — ternyata hari ini faktanya sangat bertentangan dengan kondisi yang ada pada pemuda atau generasi muda.

Lantas, apakah itu semua cukup membuat saya menangis sejadi-jadinya di atas panggung? Atau ada faktor lain yang membuat saya secara sadar atau tidak sadar mendadak menjatuhkan airmata?

Foto dokumentasi Selia Simfonia

Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya, At-Takattul al-Hizbiy, halaman 27 mengatakan bahwa, “… masyarakat adalah satu kesatuan yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Kehancuran masyarakat tidak lain adalah akibat dari rusaknya pemikiran, perasaan, dan peraturannya, bukan dari kerusakan (akhlak) manusia-manusianya.” Jadi, untuk memperbaiki masyarakat, kita perlu memperbaiki pemikiran, perasaan, dan aturannya. Kenapa bukan akhlaknya? Sebab, akhlak itu lahir dari aturan yang diterapkan. Jika aturannya baik, otomatis akhlaknya juga baik. Bukan berarti ketika kita berfokus untuk menerapkan aturan yang baik, lantas mengabaikan akhlak yang baik, bukan?

Satu lagi momen ketika saya menyadari begitu pentingnya pemikiran, perasaan, dan aturan itu. Ketika usai membaca puisi sembari mengusap airmata yang terus mengalir bahkan di belakang panggung. Kemudian saya berkata kepada Mas Alif sembari terus menyeka airmata di pipi, “kebawa suasana dan perasaan, Mas”.

Pada titik itulah saya menyadari, betapa pentingnya suasana dan perasaan yang mungkin “memaksa” kita untuk baik dan membaikkan sekitar — lingkungan kita. Tentu dengan pemikiran dan aturan yang juga mendukung kebaikan. Jadi, membangun dan membangkitkan masyarakat yang baik itu diperlukan pemikiran, perasaan, dan aturan yang juga baik.

Untuk menutup tulisan singkat ini, saya hendak menampilkan teks puisi yang saya bacakan di acara kemarin. Semoga ada kebaikan dan manfaatnya.

Foto dokumentasi Selia Simfonia

Wasiat Muhammad dan Rindu yang Lebat

I

Di dalam kepala, rindu beranak pinak sejak lama.
Semenjak lahir dari rahim jiwa yang tertaut cinta
dan raga yang terpaut ruang dan waktu
tak sanggup menuai temu.

Kita merasa tak betah di dunia,
karena rindu kian hari kian bertumbuh —
menjalar hendak menggapai langit dan
mengetuk pintu-Nya sembari berkata:
maaf, apakah Muhammad Rasulullah ada?
Saya umatnya, hendak bertamu,
sudah lama ingin bertemu.

Atau kerap kali kita mengadu:
Ya Allah, sampaikan salamku untuknya;
sungguh aku rindu kepadanya;
tak sabar aku melihat wajahnya dan
hendak memeluk tubuhnya segera.

Entah, dengan apa Allah mesti
mengizinkan kita menuangkan rindu itu
di pelukan Muhammad Rasulullah.
Sebab, itibak kita juga tak seberapa,
meskipun mulut selalu berkata
rindu, rindu, dan rindu.

II

Apakah kita tahu, Muhammad Rasulullah
pernah berkata, “Aku wasiatkan kepada kalian
agar bertakwa kepada Allah, serta agar kalian
mendengar dan patuh.”

Namun, ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan ikhlas dan larangan riya’,
kita justru pamerkan amalan-amalan baik
di depan kamera, flexing barang-barang mewah,
dan bikin konten-konten penuh aib dan iba
demi cuan semata.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan beritibak kepada Nabi,
kita justru berkiblat pada Barat dengan
gaya hidup sedikit kapitalis dengan
isi kepala cenderung sosialis-komunis.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan sadar Allah Mahatahu,
kita justru bebal bertelinga tebal bebas bergaul
sesuka hati — menurut pada hawa nafsu duniawi
yang penuh tipu daya ini.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan jagalah shalat di awal waktu
dan berjamaahlah, kita justru lebih parah lagi:
entah shalat atau tidak sama sekali.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan bacalah Al-Qur’an;
hadirilah majelis zikir; makan dan minumlah
dengan yang halal; dan masih banyak lagi.
Kita justru seakan hendak menyelisihi itu semua.
Entah, apa yang ada di dalam pikiran kita.
Mungkin, sebagaimana minyak dan air,
kita dan agama seolah tak dapat menyatu
dan menjadi utuh.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan beramal saleh;
berdoa memohon surga dan berlindung
dari api neraka; serta berselawat
kepada Muhammad Rasulullah.
Kita justru beramal salah; betah di dunia fana;
serta berselawat hanya ketika hendak
meminta nikmat duniawi, semisal
mobil mewah (Allahumma shalli ‘ala Muhammad),
rumah istimewa (Allahumma shalli ‘ala Muhammad),
perhiasan “wah” (Allahumma shalli ‘ala Muhammad),
dan apa-apa yang bersifat duniawi
(Allahumma shalli ‘ala Muhammad).

Entah, dengan apa Allah mesti
mengizinkan kita menuangkan rindu itu
di pelukan Muhammad Rasulullah.
Sebab, itibak kita juga tak seberapa,
meskipun mulut selalu berkata
rindu, rindu, dan rindu.

III

Bayangkan, jika Muhammad Rasulullah itu
mengetuk pintu rumah kita. Apakah kita akan
mempersilakannya masuk dan berkata:
Duduklah, Ya Rasul. Aku sungguh merinduimu
setiap waktu. Aku berdoa setiap selesai shalat
agar bertemu denganmu. Bolehkah
aku memelukmu, Ya Rasul?

Atau bayangkan, jika Muhammad Rasulullah itu
benar-benar masuk ke rumah dan duduk
di hadapan kita. Apakah kita akan merasa
biasa saja: sibuk membalas pesan dari pacar
atau FWB-an kita, sibuk main bareng teman
sembari sebat dan sambat perihal
kesehatan mental, atau buru-buru
sembunyikan gambar-gambar vulgar,
video-video dewasa, dan hal-hal lain
yang kita lupakan sehabis kepala gegar
dipukul jarum jam kehidupan
dan virus media mematikan.

Dan bayangkan, jika Muhammad Rasulullah itu
datang kepada kita dan bertanya,
“Benarkah kau rindu kepadaku;
benarkah kau ingin bertemu denganku;
benarkah kau ingin memelukku?”

Sebelum sempat kita menjawabnya,
bagaimana jika Muhammad Rasulullah itu
kemudian berkata,
“Amalan apa yang sudah kaukerjakan
sebagai bukti bahwa kau sungguh merindukanku?”

Mendadak mulut kita terbata,
badan kita membatu, mata kita berat berair lebat.
Dan Muhammad Rasulullah itu perlahan
meninggalkan kita dengan punggung kekecewaan
yang teramat menyakitkan.
Kemudian Muhammad Rasulullah itu
hilang di tikungan waktu.

Malang, 18 Mei 2024
*Dibacakan pada acara Selia Simfonia (Ciputra Hall Surabaya, 26 Mei 2024)

Oh, ya. Jika kamu ingin mendukung kerja kreatif kami, silakan membeli buku-buku dan produk digital original di @kerjarasa (diskon 50%: terbatas untuk 10 pembeli pertama). Kami juga mengelola agensi kreatif bernama @perajinkatacom yang siap bantu kamu menyelesaikan segala macam permasalahan penulisan kreatif, sastra, dan media sosial, bahkan identitas jenama (brand identity).

Dapatkan kiat praktis memahami + menulis puisi di @mahirmenyair. Monetisasi puisimu dan tingkatkan pendapatan pasif serta pendapatan aset digitalmu bersama penerbit digital @ruangrasaproject.

Tabik!

AGOY TAMA
Perajinkata™ + Penyair Digital, Founder Ruangrasa Project

--

--

Agoy Tama

Perajinkata™ + Penyair Digital. Hendak memuisikan yang terlalu prosa dan drama. Founder @ruangrasaproject, bantu amatir @MAHIRMENYAIR.