Puisi: Wasiat Muhammad dan Rindu yang Lebat

Dibacakan pada acara Selia Simfonia (Ciputra Hall Surabaya, 26 Mei 2024)

Agoy Tama
4 min readMay 27, 2024
Foto oleh Royco

I

Di dalam kepala, rindu beranak pinak sejak lama.
Semenjak lahir dari rahim jiwa yang tertaut cinta
dan raga yang terpaut ruang dan waktu
tak sanggup menuai temu.

Kita merasa tak betah di dunia,
karena rindu kian hari kian bertumbuh —
menjalar hendak menggapai langit dan
mengetuk pintu-Nya sembari berkata:
maaf, apakah Muhammad Rasulullah ada?
Saya umatnya, hendak bertamu,
sudah lama ingin bertemu.

Atau kerap kali kita mengadu:
Ya Allah, sampaikan salamku untuknya;
sungguh aku rindu kepadanya;
tak sabar aku melihat wajahnya dan
hendak memeluk tubuhnya segera.

Entah, dengan apa Allah mesti
mengizinkan kita menuangkan rindu itu
di pelukan Muhammad Rasulullah.
Sebab, itibak kita juga tak seberapa,
meskipun mulut selalu berkata
rindu, rindu, dan rindu.

II

Apakah kita tahu, Muhammad Rasulullah
pernah berkata, “Aku wasiatkan kepada kalian
agar bertakwa kepada Allah, serta agar kalian
mendengar dan patuh.”

Namun, ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan ikhlas dan larangan riya’,
kita justru pamerkan amalan-amalan baik
di depan kamera, flexing barang-barang mewah,
dan bikin konten-konten penuh aib dan iba
demi cuan semata.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan beritibak kepada Nabi,
kita justru berkiblat pada Barat dengan
gaya hidup sedikit kapitalis dengan
isi kepala cenderung sosialis-komunis.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan sadar Allah Mahatahu,
kita justru bebal bertelinga tebal bebas bergaul
sesuka hati — menurut pada hawa nafsu duniawi
yang penuh tipu daya ini.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan jagalah shalat di awal waktu
dan berjamaahlah, kita justru lebih parah lagi:
entah shalat atau tidak sama sekali.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan bacalah Al-Qur’an;
hadirilah majelis zikir; makan dan minumlah
dengan yang halal; dan masih banyak lagi.
Kita justru seakan hendak menyelisihi itu semua.
Entah, apa yang ada di dalam pikiran kita.
Mungkin, sebagaimana minyak dan air,
kita dan agama seolah tak dapat menyatu
dan menjadi utuh.

Ketika Muhammad Rasulullah
mewasiatkan amalan beramal saleh;
berdoa memohon surga dan berlindung
dari api neraka; serta berselawat
kepada Muhammad Rasulullah.
Kita justru beramal salah; betah di dunia fana;
serta berselawat hanya ketika hendak
meminta nikmat duniawi, semisal
mobil mewah (Allahumma shalli ‘ala Muhammad),
rumah istimewa (Allahumma shalli ‘ala Muhammad),
perhiasan “wah” (Allahumma shalli ‘ala Muhammad),
dan apa-apa yang bersifat duniawi
(Allahumma shalli ‘ala Muhammad).

Entah, dengan apa Allah mesti
mengizinkan kita menuangkan rindu itu
di pelukan Muhammad Rasulullah.
Sebab, itibak kita juga tak seberapa,
meskipun mulut selalu berkata
rindu, rindu, dan rindu.

III

Bayangkan, jika Muhammad Rasulullah itu
mengetuk pintu rumah kita. Apakah kita akan
mempersilakannya masuk dan berkata:
Duduklah, Ya Rasul. Aku sungguh merinduimu
setiap waktu. Aku berdoa setiap selesai shalat
agar bertemu denganmu. Bolehkah
aku memelukmu, Ya Rasul?

Atau bayangkan, jika Muhammad Rasulullah itu
benar-benar masuk ke rumah dan duduk
di hadapan kita. Apakah kita akan merasa
biasa saja: sibuk membalas pesan dari pacar
atau FWB-an kita, sibuk main bareng teman
sembari sebat dan sambat perihal
kesehatan mental, atau buru-buru
sembunyikan gambar-gambar vulgar,
video-video dewasa, dan hal-hal lain
yang kita lupakan sehabis kepala gegar
dipukul jarum jam kehidupan
dan virus media mematikan.

Dan bayangkan, jika Muhammad Rasulullah itu
datang kepada kita dan bertanya,
“Benarkah kau rindu kepadaku;
benarkah kau ingin bertemu denganku;
benarkah kau ingin memelukku?”

Sebelum sempat kita menjawabnya,
bagaimana jika Muhammad Rasulullah itu
kemudian berkata,
“Amalan apa yang sudah kaukerjakan
sebagai bukti bahwa kau sungguh merindukanku?”

Mendadak mulut kita terbata,
badan kita membatu, mata kita berat berair lebat.
Dan Muhammad Rasulullah itu perlahan
meninggalkan kita dengan punggung kekecewaan
yang teramat menyakitkan.
Kemudian Muhammad Rasulullah itu
hilang di tikungan waktu.

Malang, 18 Mei 2024
*Dibacakan pada acara Selia Simfonia (Ciputra Hall Surabaya, 26 Mei 2024)

Baca jurnal puisi seumur hidup yang sempat saya dokumentasikan di sini.

Oh, ya. Jika kamu ingin mendukung kerja kreatif kami, silakan membeli buku-buku dan produk digital original di @kerjarasa (diskon 50%: terbatas untuk 10 pembeli pertama). Kami juga mengelola agensi kreatif bernama @perajinkatacom yang siap bantu kamu menyelesaikan segala macam permasalahan penulisan kreatif, sastra, dan media sosial, bahkan identitas jenama (brand identity).

Dapatkan kiat praktis memahami + menulis puisi di @mahirmenyair. Monetisasi puisimu dan tingkatkan pendapatan pasif serta pendapatan aset digitalmu bersama penerbit digital @ruangrasaproject.

Tabik!

AGOY TAMA
Perajinkata™ + Penyair Digital, Founder Ruangrasa Project

--

--

Agoy Tama

Perajinkata™ + Penyair Digital. Hendak memuisikan yang terlalu prosa dan drama. Founder @ruangrasaproject, bantu amatir @MAHIRMENYAIR.