Apa yang Lebih Nyata dari Paradoks?

Agung Adytia
3 min readMay 11, 2018

--

Dalam keseharian, seseorang sudah terbiasa dengan kata “kontradiksi”. Kata itu selalu dijadikan kata kunci atau kata ajaib yang keluar dari mulut seseorang ketika lawan bicaranya mengandung kata yang berlawanan dengan apa yang dia ucapkan. Apalagi mahasiswa yang dalam kurikulum pembelajarannya mendapatkan mata kuliah Dasar Logika.

Ya, kontradiksi adalah salah satu kata yang sering terucap oleh seorang aktivis di dunia pergulatan organisasi kampus. Sebuah pernyataan, sangat mudah sekali disimpulkan sebagai kontradiksi. Ada yang memakai dengan sifat-sifat logika atau pun tabel kebenaran (tabel dalam matematika yang digunakan untuk melihat nilai kebenaran dari suatu premis/pernyatan). Sederhananya, kontradiksi terjadi karena tidak dapat sama-sama benar pada waktu yang sama dan dalam pengertian yang sama.

Perbedaan yang signifikan terjadi di dalam sebuah kata “Paradoks”. Ada seseorang yang mengatakan ia merasa kesepian di tengah keramaian. Ada juga sebuah kejadian di dalam organisasi dimana satu orang anggota organisasi tersebut melakukan sebuah kesalahan fatal yang diakui oleh publik, bahkan ia pun mengakui bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Ada sebuah kebingungan yang terjadi yaitu ketika organisasi terkait harus menolong anggotanya yang telah mengakui kesalahannya. Apabila organisasi itu menolong anggota tersebut maka organisasi tersebut sudah membantu sebuah kesalahan untuk menjadi sebuah pembelaan yang berujung kepada kebenaran yang dipaksakan. Tetapi, ketika anggota tersebut tidak ditolong oleh organisasi tersebut akan dicap sebagai organisasi yang tidak memiliki keberpihakan kepada anggotanya sendiri. Dilema bukan?

Tetapi sialnya, dalam kenyataan paradoks pun mengandung sebuah kebenaran. Yang menjadi pertanyaan adalah kebenaran untuk apa dan siapa? Seperti yang terjadi dalam sebuah pernyataan seorang manusia yang merasa kesepian di tengah keramaian. Manusia itu sebenarnya tidak benar-benar kesepian, itu bohong. Bahkan ketika ia menghilang tak ada kabar, selalu ada teman, pacar, atau keluarga yang sekedar menanyakan ia dimana dan baik-baik saja atau tidak; bahkan ada yang sampai mencari kemana ia hendak pergi, alih-alih ia merasa kesepian. Lalu siapa atau apa yang bisa menjawab teka-teki ini? Kontradiksi memiliki kemungkinan besar untuk dapat diselesaikan dengan menggunakan sifat-sifat logika atau pun tabel kebenaran. Tetapi paradoks? Sepertinya tidak hanya hal itu saja, paradoks mungkin dapat diselesaikan dengan banyak pertimbangan, mungkin dengan keadaan jiwa atau pun perasaan yang perlu dilibatkan.

Sialnya lagi, paradoks menjadi sebuah hal yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seorang teman dapat mengklaim teman lainnya adalah bagian dari keluarga yang ia miliki. Lantas, apa kabar kedua orang tua atau adiknya di rumah? Apakah ia berbohong bahwa teman yang ia miliki adalah keluarga? Atau ada makna lain dalam kata keluarga yang ia lontarkan? Atau pun kejadian lain yang sering terjadi dalam dunia demokrasi misalnya, ketika mempermasalahkan orang yang tidak memilih; selalu dicap sebagai golongan putih (golput). Dalam kejadian ini pun terjadi paradoks, karena sebenarnya orang yang dicap sebagai golput itu kenyataannya dan sesungguhnya ia memilih untuk tidak memilih.

Ya, memang sebenarnya melihat paradoks itu jangan dalam sudut pandang tekstual saja, tetapi harus juga melihat dari sudut pandang kontekstualnya. Karena, menyimpulkan atau mengklaim sebuah kejadian sebagai kebenaran atau kenyataan yang paling nyata adalah sebuah hal sulit. Karena sesungguhnya perubahan atau pergerakan yang terjadi dalam kehidupan ini banyak yang bermuatan paradoks.

Hanya ada satu kemungkinan untuk menjawab teka-teki ini yang bahkan bermuatan paradoks, yaitu intuisi. Intuisi melibatkan banyak perasaan atau pun keyakinan, intuisi jauh sekali dari penalaran rasional dan intelektualitas. Ia bergerak karena dorongan, entah datangnya dari mana itu. Mungkin dorongan yang ada bisa jadi muncul dari hati, jiwa atau bahkan perasaan.

Dibalik semua paradoks yang terjadi ada satu hal yang paling nyata yaitu merasa kesepian di tengah keramaian. Ya, setidaknya kisah itu yang sering teredengar dan didukung kebenarannya oleh banyak orang. Apakah intuisi yang mendorong? Atau paradoks yang bersuara menggongong? Dan apakah logika bisa menolong?

Apakah itu sebuah perasaan? Ataukah sebuah keyakinan? Apakah intuisi menjadi hal yang paling tabu tapi nyata adanya? Atau bahkan, apakah paradoks adalah sebuah hal yang paling nyata dibandingkan dengan logika?

Sampai saat ini….

Pertanyaan itu masih berkutat dalam kepala ini. Ah sial! Atau pertanyaan itu berkutat juga dalam hati dan perasaan? Dimana pun pertanyaan itu muncul, sesuatu hal yang ada di dalam raga ini masih berusaha meraba untuk menjawabnya.

--

--

Agung Adytia

Sisi lain seorang manusia, dari sebuah nama yang tertulis salah.