Perkenalan Pertama dengan Puisi

El Rui
8 min readJul 3, 2019

--

Photo by Free Creative Stuff from Pexels

Jika ada yang bertanya kapan pertama kali saya berkenalan dengan puisi, saya akan menanggapinya dengan jawaban yang berubah-ubah, tergantung sebaik apa kondisi ingatan dan mood saya saat itu.

Jika kondisi ingatan dan mood saya sedang buruk dan malas menanggapi dengan jawaban panjang, saya akan menjawab: saat sekolah. Di SMP. Mendengarnya dari guru Bahasa Indonesia yang menerangkan puisi secara alakadarnya dan terus terang, membosankan, dan saat itu saya sama sekali nggak tertarik pada puisi.

Jika kondisi ingatan dan mood saya berada di antara baik dan buruk, saya akan menjawab: saat menemukan puisi-puisi jelek dan yang setelah belasan tahun kemudian saya tahu bahwa sebenarnya tulisan itu belum bisa dikatakan sebagai puisi, yang ditulis oleh bapak saya untuk beberapa kekasihnya sewaktu ia muda, dan tentunya jauh sebelum menikah dengan Emak. Saya tanpa sengaja menemukannya dalam buku catatan seukuran saku dengan permukaan kecokelatan dan dipenuhi bercak sisa-sisa tetesan hujan yang saya yakin sudah puluhan tahun mengering, dan sedikit menjamur, dalam lipitan kantung penutup kulkas (benda satu ini apa disebutnya, sungguh sampai saat ini saya nggak tahu). Saya baca puisi pertama dan tertawa. Saya baca puisi kedua dan tertawa makin keras. Semakin banyak puisi di dalamnya yang saya baca, tawa saya semakin nyaring, sampai kepergok oleh Bapak dan catatan itu berpindah ke tangannya. Dari saat itu saya nggak pernah melihatnya lagi, maksud saya buku catatan seukuran saku itu, dan menganggap puisi sebagai lelucon. Nggak lebih.

Jika kondisi ingatan dan mood saya sedang baik, atau baik sekali, saya akan menjawab: persiapkan dirimu untuk membaca (boleh dibaca: mendengar) cerita yang cukup panjang ini.

Anggap saja saya kini tengah berada pada saat kalender di rumahmu (jika kamu punya kalender dan jika kamu punya rumah) menunjukkan bulan Januari 2012. Dalam sebuah ruangan yang nggak pernah saya ukur, bahkan untuk sekadar mengira-ngira pun nggak, berapa luasnya. Saya mengenalnya sebagai ruang RB3. Letaknya di areal luar Rumah Dunia yang sekarang cat dindingnya berwana merah muda, seperti warna hatimu saat dilanda asmara. Saya duduk di sana, di antara puluhan anak muda lain, setelah dirayu dan sedikit dipaksa untuk menemani seorang kawan yang baru saya kenal di Kelas Menulis Rumah Dunia angkatan 19. Saya mau saja meski nggak sepenuhnya paham tujuannya untuk apa. Kawan saya bilang untuk mendaftar ke Majelis Puisi. Saya sama sekali nggak tertarik karena sampai detik itu saya masih menganggap puisi sebagai lelucon. Sama seperti belasan tahun lalu, setelah saya menemukan buku catatan seukuran saku milik bapak saya. Ingat?

Di hadapan saya dan puluhan anak muda lain itu, berdiri seorang lelaki setengah baya, bertubuh kecil dan tegap dengan mata yang dari tempat saya duduk tampak menyipit, mulai melontarkan sapaan kemudian meminta salah seorang relawan yang membantunya untuk mengedarkan formulir pendaftaran agar diisi oleh para peserta.

Saya sama sekali nggak tertarik dengan formulirnya. Keriuhan anak muda lainnya yang tampak nggak sabar ingin segera menerima dan mengisi formulir pendaftaranlah yang menarik bagi saya. Saya berpikir, kenapa mereka begitu antusias pada lelucon semacam puisi? Saya membayangkan puisi-puisi yang kelak mereka tuliskan hanya akan berakhir dalam buku catatan seukuran saku dengan permukaan kecokelatan dan dipenuhi bercak sisa-sisa tetesan hujan yang sudah puluhan tahun mengering, dan sedikit menjamur, yang akan ditemukan oleh anak mereka dalam lipitan kantung penutup kulkas. Tentu saja jika di masa depan penutup kulkas itu masih diproduksi.

Di depan, di tengah kondisi masih setengah riuh, lelaki setengah baya, bertubuh kecil dan tegap dengan mata yang dari tempat saya duduk tampak menyipit itu, mulai menjelaskan, bahwa menurutnya, puisi adalah sesuatu yang amat digemari sekaligus dimarjinalkan oleh kebanyakan dari kita. Ia dianggap istimewa sekaligus dianggap sepele. Ia di-suhun di kepala sekaligus dinjak-injak kaki kita, baik itu oleh pembacanya maupun penulisnya. Paling nggak itulah yang bisa saya ingat dari penjelasannya yang cukup panjang. Hanya saja, bukan penjelasannya mengenai puisi itu yang menarik mata saya untuk tetap mengamatinya. Dalam pikiran saya, sepanjang apa pun beliau menjelaskan, puisi masih saya anggap sebagai lelucon. Cara dan gayanya menjelaskan jauh lebih menarik dari segalanya. Terlepas dari apa pun yang beliau jelaskan saat itu.

Lugas dan menyenangkan; santai, tapi serius; barangkali itu ungkapan yang tepat untuk mewakili cara dan gayanya saat menjelaskan sesuatu.

Tengah asyik mengamatinya menjelaskan perihal puisi, seorang anak muda berambut keriwil dan innocent, yang baru saya sadari keberadaannya di sisi saya, menegur dan menyodorkan selembar formulir pendaftaran kepada saya. Setelah sebulan berjalan saya kemudian tahu nama anak muda berambut keriwil itu Syakky. Formulir yang ia sodorkan adalah formulir terakhir yang ada. Seharusnya itu untuknya, tapi dengan enteng ia menyerahkannya kepada saya, dan dengan enteng pula saya menyerahkan kembali formulir tersebut kepadanya. Saya katakan kepadanya bahwa ia jauh lebih membutuhkan formulir itu dibanding saya, tapi malah mengembalikannya lagi kepada saya.

“Nggak papa, relawan lagi ngopi formulirnya lagi buat saya,” katanya. Ah, dia nggak mengerti bahwa saya berada di situ bukan karena ingin ikut Majelis Puisi, tapi juga malas menjelaskan karena perhatian saya segera teralih kembali ke lelaki setengah baya, bertubuh kecil dan tegap dengan mata yang dari tempat saya duduk tampak menyipit, yang ada di depan. Jadi, formulir itu saya terima dan tololnya saya mengisinya. Ketololan yang kemudian hari saya syukuri.

Dalam formulir tersebut ada beberapa pertanyaan yang mesti saya isi. Di antaranya terkait biodata pribadi. Bagian itu mudah sekali mengisinya. Pada pertanyaan terakhir saya berhenti. Di sana terbaca: alasan apa yang membuat saya ingin mempelajari puisi? Kalau dijawab dengan jujur tentu saya sama sekali nggak punya jawabannya. Alasannya kenapa, tentu kamu akan tahu kenapa kalau kamu benar-benar membaca ocehan saya ini dari awal.

Saya berhenti mengisi dan melirik ke arah Syakky. Saya berharap si Keriwil itu sudah lenyap dari sisi saya biar saya bisa meremas-remas saja formulir itu dan melemparnya ke tempat sampah yang kebetulan nggak jauh dari tempat saya duduk, dan terbebas dari pertanyaan semacam tadi. Sebagai anak muda yang (untungnya masih) memiliki kadar kebaikan sebanyak 10%, saya punya rasa nggak enak padanya. Coba pikir, ia sudah tulus memberikan formulir terakhir itu, lalu dengan enteng saya meremas-remas dan membuangnya. Apa yang akan dipikirkannya jika itu terjadi? Di sisi lain, saya masih ingin dianggap sebagai manusia yang cukup baik karena percayalah, cuma itu satu-satunya hal yang bisa saya banggakan hingga saat kamu membaca ocehan ini. Ya, kadar kebaikan yang cuma 10% itu. Barangkali karena alasan itulah saya kemudian nggak melakukannya karena demi Gin dan Bourbon yang belum pernah saya cicipi, jika saat itu saya melakukannya, barangkali sampai saat ini saya masih menganggap puisi sebagai lelucon. Nggak lebih.

Maka dengan upaya yang sedikit lebih keras saya pun berhasil menaklukan pertanyaan itu dengan jawaban: ingin mengetahui puisi lebih dalam (padahal permukaannya saja saat itu saya belum tahu). Tertawalah, kamu nggak dilarang tertawa sekarang.

Dari sana pembahasan mengenai puisi dan beberapa hal mengenai profil peserta yang tertera dalam setumpuk formulir pendaftaran yang kini ada di tangan lelaki setengah baya, bertubuh kecil dan tegap dengan mata yang dari tempat saya duduk tampak menyipit itu, berlanjut. Sialnya, beliau bahkan membahas jawaban “ingin mengetahui puisi lebih dalam” itu. “Wiiih, emangnya sumur,” celetuk beliau. Semua calon penulis puisi di hadapannya tertawa.

Pada pertemuan berikutnya saya hadir kembali. Bukan untuk “mengetahui puisi lebih dalam” seperti yang saya tuliskan dalam fomulir itu, melainkan untuk mengamati bagaimana lelaki setengah baya, bertubuh kecil dan tegap dengan mata yang dari tempat saya duduk tampak menyipit itu, bisa menjelaskan sesuatu dengan lugas sekaligus menyenangkan; santai, tapi serius. Kali ini, di akhir pertemuan beliau memberi saya dan peserta lainnya tugas menulis puisi. Satu hari satu puisi, jadi seminggu berikutnya, paling nggak saya dan kawan lainnya harus menyerahkan tujuh puisi yang tercetak pada kertas A4 dan tersusun rapi dalam map kepadanya. Meski sedikit enggan, saya mengerjakannya. Full, tujuh puisi. Betapa teladannya saya, bukan? Kamu boleh menjawab bukan kalau itu bisa bikin kamu bahagia.

Pada pertemuan ketiga, puisi-puisi itu dikumpulkan. Pada pertemuan keempat, puisi-puisi itu dikembalikan dengan beberapa coretan berupa koreksian: petunjuk agar pemilik puisi memperbaikinya. Peserta lain, hampir semuanya, mendapatkan coretan koreksian itu, tapi saya nggak. Puisi-puisi saya masih sama seperti saat saya menyerahkannya kepada beliau. Nggak ada apa pun yang bisa dijadikan petunjuk di bagian mana saya harus memperbaikinya. Sampai di sini saya nggak memikirkannya. Bahkan cenderung mengabaikannya. Nggak merasa senang, juga nggak merasa sebal. Biasa saja.

Pada pertemuan berikutnya, beliau memberi kami tugas menulis esai yang berkaitan dengan puisi. Dengan susah payah (iya, kali ini saya melakukannya dengan susah payah karena itulah pertama kalinya saya menulis esai, terkait puisi lagi!) saya mengerjakannya, dan hasilnya, kali ini berbeda. Esai yang saya tulis itu mendapatkan cukup banyak coretan: petunjuk agar saya memperbaikinya. Saya, anehnya, mulai merasa senang.

Di pertemuan berikutnya dan berikutnya, beliau lebih sering memberi kami tugas menulis puisi ketimbang menulis esai, dan selama itu, puisi-puisi saya masih lebih banyak diabaikannya. Hanya beberapa puisi yang saya amati mendapatkan coretan berupa koreksian sekadarnya, tapi lebih banyak yang nggak. Saya mulai sebal.

Di pertemuan berikutnya, beberapa puisi terakhir yang saya kumpulkan bahkan kembali sama sekali nggak mendapatkan coretan koreksian. Berbanding terbalik dengan peserta lain. Maka saat beliau mengajukan pertanyaan apakah ada yang ingin kami tanyakan terkait apa yang barusan dijelaskannya, saya memberanikan diri mengacungkan tangan dan menanyakan mengapa puisi-puisi saya nggak mendapatkan koreksian, sementara yang lainnya dapat. Jawabannya membikin saya makin sebal. Beliau bilang nggak ada hal menarik yang bisa ia komentari dari puisi-puisi saya saat itu. Puisi saya biasa saja. Secara EyD (sekarang disebut PUEBI) dan tata bahasa nggak ada yang keliru, tapi juga nggak menarik. Sama sekali nggak menarik. Beliau bilang esai yang saya tulis justru jauh lebih menarik ketimbang puisi-puisi saya dan menyarankan saya untuk fokus mempelajari esai.

Saya (yang memiliki kadar kejahatan 90% ini) tentu saja nggak sependapat dengan beliau. Saya pikir siapa pun bisa menulis puisi yang menarik jika ia ditunjukkan di mana letak kesalahan yang harus diperbaikinya dan sungguh-sungguh berusaha mempelajarinya. Petunjuk untuk memperbaiki kesalahan itu penting bagi saya. Sejak itu saya mulai melirik puisi untuk dipelajari dengan lebih serius. Saya nggak lagi menganggapnya sebagai lelucon. Seperti Pluto yang kini saya amati benar-benar, begitulah saya memperlakukan puisi kemudian.

Lalu di entah bulan keberapa, begitu saja saya jatuh hati padanya. Puisi maksudnya. Mulai mengamatinya, baik dari jauh maupun dekat, mencari tahu segala hal tentangnya, menggali lagi dan lagi apa saja yang belum saya ketahui dan kuasai tentangnya, dan saya cenderung nggak pernah puas dan malah semakin merasa nggak tahu apa-apa tentangnya. Bahkan beberapa tahun setelah saya bergumul dengannya (puisi maksudnya), mempelajarinya dari beliau dan dari seorang penyair senior lain (meski pada akhirnya sepertinya ia bosan menghadapi saya), kini, saya masih merasa ada banyak pengetahuan terkait puisi yang belum benar-benar bisa saya pahami dan kuasai.

Barangkali saya memang perlu tersesat dulu untuk bisa menemukan kesalahan yang saya lakukan sendiri, dan rasanya sejauh ini tersesat itu nggak buruk. Ketersesatan rupanya malah membuat saya menemukan beberapa kawan baru yang juga sama-sama mencintai puisi, dan sepertinya mereka juga sedang tersesat. So, welcome to the tersesat club![]

Catatan:

Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan sebelumnya di blog saya, soearalain.wixsite.com/elrui.

--

--

El Rui

Full time reader. Menulis di Medium, IDN Times, dan blog pribadi. E-mail: aielrui3111@gmail.com.