Otak Kita itu Malas, Jangan Sampai Terjebak.

Aldo Aditiya
Relevate
Published in
8 min readMar 3, 2018
Orang sepintar Will dari “Good Will Hunting” pun terjebak dengan kemalasan otaknya. Source: http://bit.ly/2FQ3P5e

Otak kita? Malas?

Rasanya setiap kali mulai tidak produktif, protes pertama bakal datang dari otak. Bagaimana ceritanya otak kita malas?

Ah, tapi definisi malas disini berbeda dengan malas yang biasanya. Malasnya otak disini maksudnya adalah: kecondongan otak untuk mengambil jalan yang paling mudah, jalan yang butuh paling sedikit effort.

Satu hal lagi tentang kemalasan otak, seringkali kita tidak tahu kapan ini terjadi, karena dia terjadi di pikiran bawah sadar kita.

Mungkin agak susah terbayang kalau cuma dijelaskan secara teks, jadi coba kita beralih kepada sebuah contoh. Di bawah ini tertulis tiga argumen logika, 2 premis dan satu konklusi. Coba tentukan dengan secepatnya, apakah konklusi dari argumen di bawah ini benar.

Semua asisten dosen adalah mahasiswa

Beberapa mahasiswa pemalas

Jadi beberapa asisten dosen pemalas

Sudah dapat jawabannya?

Untuk sekarang, ingat — ingat dulu jawaban itu. Kita akan bahas lagi contoh di atas nantinya.

Sekarang kita berkenalan dulu dengan 2 pemain utama dalam tulisan ini. Sistem 1 dan Sistem 2.

Sistem 1 dan Sistem 2

Muller-Lyer. Source: http://bit.ly/2EUSHWT

Coba perhatikan gambar di atas.

Gambar yang simpel, 2 garis berbeda panjang dengan bentuk “V” yang menunjuk ke arah yang berbeda. Garis bawah jelas kelihatan lebih panjang daripada garis atas.

Tapi kemungkinan terbesarnya, kamu sudah pernah melihat gambar ini, dan kamu sudah tahu kalau kedua garis tersebut sama panjangnya. Gambar ini disebut ilusi “Muller-Lyer” dan saking terkenalnya, tidak banyak orang yang akan terkecoh untuk berpikir kalau kedua garis di atas berbeda panjangnya. Kecuali orang yang belum pernah melihat ilusi ini.

Coba kita ingat — ingat sudut pandang kita yang dulu, saat kita belum pernah melihat ilusi ini sebelumnya.

Ketika pertama melihat gambar ini, pikiran kita langsung berkesimpulan kalau kedua garis di atas berbeda panjang. Tapi berikutnya kita diberitahu oleh orang lain kalau ternyata tidak begitu, dan untuk membuktikannya kita bisa mengukur dan membandingkan kedua garis. Setelah kita ukur dan bandingkan, terbukti kalau kedua garis sama panjangnya. Sekarang, setiap kali melihat gambar ini kita bisa memberi kesimpulan yang benar.

Tapi otak kita akan selalu “melihat” kedua garis ini sebagai sama panjang, walaupun di dalam “pikiran” kita tahu kalau keduanya beda panjang. Kita tidak bisa memilih untuk “melihat” kedua garis ini sebagai beda panjang. Kita bisa mengatakan kalau keduanya beda panjang hanya karena kita sudah tahu yang sebenarnya.

Dari sini kelihatan 2 cara berpikir yang berbeda di dalam otak kita. Saya akan menyebut kedua cara berpikir ini sebagai “Sistem 1” dan “Sistem 2”.

Sistem 1 bisa didefinisikan sebagai cara berpikir otak kita yang bekerja secara spontan dan otomatis, tanpa perlu dikendalikan secara sadar, biasa diseut intuisi. Sedangkan Sistem 2 bisa didefinisikan sebagai cara berpikir otak kita yang bekerja dengan menggunakan upaya dan atensi sadar kita. Bisa disebut juga pikiran yang aktif. Dimana semua aktivitas “berpikir” kita terjadi.

Beberapa contoh aksi otomatis yang dikendalikan oleh Sistem 1 antara lain:

· Melihat objek mana yang lebih kecil di sebuah gambar

· Memindahkan atensi kepada suara keras yang mendistraksi

· Kaget kepada suara dan cahaya dari petir

· Menjawab 1 + 1 =?

· Memunculkan perhatian kepada sesuatu yang unik di tengah — tengah keramaian

· Menjawab “Apa ibukota Indonesia?”

Sedangkan contoh aksi yang dikendalikan Sistem 2 antara lain:

· Memilih untuk tidak melihat ke arah suara keras yang kita dengar

· Menahan marah kepada orang lain

· Mencari seseorang di tengah keramaian

· Membaca buku berat

· Menjawab 12x27=?

· Menjawab “Apa ibukota Portugal?” (kecuali kamu sudah hafal)

Interaksi antara kedua sistem ini bisa dirangkum sebagai berikut:

Sistem 1 akan berjalan secara otomatis, dan Sistem 2 akan berjalan dalam mode low-effort. Sistem 1 akan terus menerus memberikan saran, intuisi, impresi, dan perasaan kepada Sistem 2. Ketika semuanya berjalan lancar (yaitu, di sebagian besar waktu), dan bila kedua sistem setuju, Sistem 2 akan menerima saran — saran dari Sistem 1 dan mengubahnya menjadi aksi. Tapi ketika Sistem 1 mengalami masalah yang tidak bisa dijawabnya (sesuatu yang butuh mental effort) dia akan meminta bantuan Sistem 2. Sistem 2 akan aktif setiap kali ada kejadian sulit yang tidak bisa diselesaikan oleh Sistem 1, dan setiap Sistem 2 tidak setuju dengan kesimpulan Sistem 1.

Jadi, kebanyakan yang kita (Sistem 2 kita) pikir atau lakukan, alasannya akan bersumber dari Sistem 1. Tapi Sistem 2 akan turun tangan saat Sistem 1 kesulitan, atau ketika merasa kalau Sistem 1 melakukan kesalahan.

Untuk melihat lebih jelas tentang interaksi ini, kita kembali lagi pada gambar ilusi di atas.

Ketika melihat gambar ini, Sistem 1 kita akan otomatis menyimpulkan banyak hal. Salah satu kesimpulan yang dia dapat adalah tentang perbedaan panjang kedua garis. Kesimpulan ini tidak diterima oleh Sistem 2 kita, yang sebelumnya sudah kenal gambarnya. Karena itu Sistem 2 mengubah kesimpulan dari Sistem 1, bahwa kedua garis ini sama panjangnya.

Tapi kalau sebelumnya kita tidak mengenal gambar ini, Sistem 2 kita akan lebih besar kemungkinannya untuk setuju dengan saran yang salah dari Sistem 1. Kesalahan ini bisa saja dilewati, kalau kita secara aktif meminta Sistem 2 kita untuk mempertanyakan dulu apakah saran dari Sistem 1 benar, sebelum memberi kesimpulan.

Tapi kita kan tidak tahu kapan Sistem 1 kita akan salah, bagaimana caranya kita tahu kapan kita harus meminta Sistem 2 untuk aktif?

Ada satu sifat lain dari Sistem 1 dan Sistem 2, yang membuat kita sulit untuk mengetahui ini. Sulit, tapi masih mungkin.

Ada yang Lebih Mudah? Loncat Kesana!

Loncat! Source: http://bit.ly/2oBnZsE

Coba kita kembali lagi ke pertanyaan di awal artikel ini. Masih ingat jawaban yang dipilih?

Kalau kamu berpikir bahwa kesimpulannya salah, maka kamu memilih jawaban yang benar. Walaupun semua asisten dosen adalah mahasiswa, dan beberapa mahasiswa itu pemalas, bukan berarti beberapa asisten dosen itu pemalas. Bisa saja di antara mahasiswa yang pemalas tidak ada asisten dosen.

Sekilas cukup masuk akal kalau kita simpulkan beberapa asisten dosen itu pemalas.

Inilah alasan kenapa kita sering melakukan kesalahan berpikir, Sistem 2 kita cepat loncat pada kesimpulan yang dipercaya benar oleh Sistem 1. Sedangkan, Sistem 1 cenderung untuk percaya kepada apa yang paling mudah dipercaya menurutnya.

Fenomena ini diukur menggunakan cognitive ease, atau seberapa mudah sesuatu untuk diproses dalam pikiran kita. Sesuatu yang mudah menandakan keadaan aman, sehingga Sistem 2 kita lebih cenderung percaya kepada Sistem 1 kita. Sedangkan sesuatu yang sulit menandakan keadaan yang memerlukan atensi dan usaha lebih dari Sistem 2.

Contoh sesuatu yang pikiran kita anggap mudah:

· Kita merasa familiar dengan hal itu

· Sebuah paragraf yang font dan warna-nya membuat mudah dibaca

Contoh sesuatu yang pikiran kita anggap sulit:

· Tidak pernah kita lihat sebelumnya

· Kita tahu kalau hal ini perlu usaha berpikir lebih untuk diselesaikan

· Sebuah paragraf yang font dan warna-nya membuat susah dibaca

Pertanyaan di awal artikel ini dirancang untuk memunculkan rasa kemudahan di pikiran pembaca. Setelah membaca 2 induksi pertama, Sistem 1 kita akan mengatakan kalau kesimpulannya benar. Tanpa usaha lebih dari Sistem 2, kita akan mengikuti saran dari Sistem 1, dan berkata kalau kesimpulannya benar. Orang yang menganggap pertanyaan ini mudah akan lebih cenderung mengikuti saran Sistem 1.

Tapi kemungkinan besarnya, pembaca akan skeptis terhadap pertanyaan di atas. Lagipula untuk apa penulis menanyakan pertanyaan itu kalau tidak ada “kejutan” nantinya?

Orang — orang yang lebih skeptis akan lebih cenderung menolak saran dari Sistem 1. Mereka sudah sadar, kalau untuk pertanyaan “jebakan” seperti ini perlu ada usaha lebih dari Sistem 2 untuk mengecek asumsi awal dari Sistem 1 mereka.

Satu hal lagi tentang cognitive ease, dia juga bekerja sebaliknya. Seperti Sistem 2 kita akan aktif ketika melakukan sesuatu yang sulit, bila kita merasa melakukan sesuatu yang sulit maka Sistem 2 kita akan lebih aktif.

Contohnya, bila sekarang kita sedang dalam mood yang baik (mood baik tidak memberikan beban usaha kepada pikiran kita) maka kita akan cenderung lebih mudah percaya dengan Sistem 1 kita. Sedangkan bila mood kita buruk, kita akan cenderung lebih hati — hati dan lebih aktif dengan Sistem 2 kita.

Ini menjadi alasan kenapa penulis menaruh pertanyaan di bagian awal. Dengan menanyakan pertanyaan ini di awal, penulis bisa meminta pembaca untuk mengingat jawabannya. Pembaca perlu memberikan sedikit usaha dari Sistem 2 untuk mengingat jawabannya.

Dengan memberikan sedikit usaha, Sistem 2 pembaca menjadi lebih aktif, dan lebih atentif ketika membaca artikel ini.

Implikasi

Fake News. Source: http://bit.ly/2FaZ0m1

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, otak kita itu malas. Dia lebih cenderung untuk memiliih jalan yang menurutnya paling mudah. Atau lebih spesifiknya, Sistem 1 kita akan memilih jalan yang mudah, dan Sistem 2 umumnya cenderung untuk percaya kepada apa yang dipilih oleh Sistem 1.

Dua contoh di atas kelihatannya cuma seperti “ilusi” yang memang didesain untuk mengecoh pikiran kita. Bagaimana dengan kehidupan sehari — hari?

Kalau misal otak kita lebih cenderung untuk memilih yang mudah untuknya, berarti kita tidak bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang muncul pertama di pikiran kita. Sama seperti ilusi di atas dimana Sistem 1 kita mengatakan jawaban yang salah, di dalam kehidupan sehari — hari kita juga ada beberapa keadaan dimana intuisi kita berkata hal yang salah.

Tapi karena lebih mudah, hal yang salah itulah yang dipilih. Coba kita lihat sebuah contoh yang saat ini cukup marak di dunia, berita hoax.

Satu alasan kenapa berita hoax berdampak sangat buruk, adalah karena manusia cenderung menganggap apa yang mudah diambil dari pikirannya sebagai benar. Pikiran kita langsung loncat kepada kesimpulan bahwa apa yang pertama muncul di pikiran kita adalah benar.

Misal kita membaca sebuah berita yang mengatakan kalau Orang X berhubungan dengan pengedaran narkoba. Berita yang kita baca ini akan masuk ke pikiran kita, dan lebih mudah diambil nantinya.

Ketika nantinya kita ambil berita itu dari pikiran kita, Sistem 1 kita akan loncat kepada kesimpulan bahwa Orang X memang mengedarkan narkoba.

Kecuali kalau kita lebih skeptis terhadap kesimpulan itu.

Kemalasan ini tidak terjadi hanya untuk hal — hal yang besar seperti berita hoax. Tapi juga pada hal — hal kecil yang kita katakan dan pikirkan setiap harinya.

Asumsi awal kita ketika memikirkan sesuatu adalah menganggap kalau apa yang kita pikirkan adalah benar. Pikiran kita kadang tidak mengakomodasikan kemungkinan kalau kita bisa saja salah.

Sama seperti ilusi — ilusi yang sebelumnya kita lihat, disini Sistem 1 kita menganggap pikiran kita (yang bisa diakses dengan mudah) sebagai benar, dan Sistem 2 kita cenderung setuju dengan anggapan dari Sistem 1.

Kita bisa menghindari kesalahan ini. Kalau kita mempertanyakan terlebih dahulu anggapan awal kita. Kalau kita lebih mengaktifkan Sistem 2 untuk menantang anggapan awal dari Sistem 1.

Kalau kita terus ingat bahwa anggapan awal kita tidak pasti benar.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

Sitasi

[1] Daniel Kahneman. “Thinking, Fast and Slow”. Farrar, Strauss, and Giroux (2011)

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

Hei! Terima kasih sudah memberi waktunya untuk baca artikel ini!

Artikel ini saya tulis berdasarkan buku Daniel Kahneman, yaitu “Thinking Fast And Slow”. Di dalam buku ini, Kahneman menjelaskan 2 Sistem yang ada di dalam otak, dan bagaimana mereka berinteraksi satu dengan lainnya. Dia juga banyak menjelaskan “kesalahan” yang muncul antara interaksi kedua sistem tersebut, salah satunya adalah cognitive ease seperti yang saya jelaskan di artikel ini. Buku ini terutama menjelaskan psikologi manusia dalam memilih sebuah pilihan, dan kesalahan — kesalahan yang bisa muncul ketika melakukan itu.

Apa yang saya tulis disini hanya benar — benar dasarnya saja, bahkan tidak representatif isi bukunya. Tapi akan sangat sulit menuliskan semua informasi dari buku itu kesini, tanpa menulis artikel yang lebih panjang lagi. Kelihatannya artikel sekarang sudah cukup panjang.

Sangat direkomendasikan membacanya bila tertarik mulai belajar Psikologi.

Saran, atau Kritik? Cek Twitter: https://twitter.com/aditiya_aldo

Tertarik baca lebih? Kunjungi Medium: https://medium.com/@aldoan

Sekali lagi, terima kasih sudah membaca!

--

--

Relevate
Relevate

Published in Relevate

Thought provoking materials about human relationships.

Aldo Aditiya
Aldo Aditiya

Written by Aldo Aditiya

Learning by Stumbling. Twitter: @aditiya_aldo