Papi.

Aoi.
7 min readDec 3, 2023

--

cw // mention of drug usages , sexual harassment , self harm , negative thoughts

Ini tentang Papi, dan kisah yang dikubur.

Sorot cahaya kamera dan sorak penggemar dulunya selalu menemani setiap langkah seorang Lee Dokyeom.

Suaranya yang indah bak alunan melodi tercipta tanpa cela, wajah mungilnya yang senantiasa tersenyum manis menebar kebahagiaan, serta sikapnya yang lembut bak kapas namun dapat menggumpal menjadi sebuah canda tawa. Lee Dokyeom dulunya terkenal dengan segala kesempurnaan, bak berlian terindah yang pernah menyapa dunia. Elu dan sahut kasih sayang kerap ia terima setiap waktunya, pujian serta merta menjadi makanan sehari-hari. Tentunya segala hal tersebut ia raih dengan tangan kosongnya sendiri, membuatnya semakin tak tergapai di sudut pandang orang-orang.

Namun dunia itu, tidak selamanya berwarna putih.

Dunia itu, juga berwarna hitam.

Rasa kasih sayang yang terlalu dalam dapat berubah menjadi obsesi. Kesempurnaan yang rasanya tidak dapat digapai dapat dipaksakan, tanpa mengindahkan bagaimana caranya.

Tanpa memikirkan dalamnya jurang perasaan.

Dokyeom sangat amat takut. Dirinya kalut setengah mati ketika mendapati tangan yang terikat dan kamar asing sesaat setelah kedua matanya mengerjap perlahan. Badannya terasa sangat kaku, seperti sempat terhenti segala fungsinya untuk waktu yang cukup lama. Ia coba arahkan manik matanya ke arah kanan dan kiri, mengharap setidaknya ada hal berupa harapan tergeletak disana.

Namun, nihil. Tidak ada yang bisa menolongnya.

Kepalanya tiba-tiba terasa sangat sakit ketika ia berusaha mengingat apa yang terjadi. Dalam ingatannya hanya ada ia yang sedang menjalani salah satu jadwal pemotretan dalam kesehariannya, lalu ia yang berjalan masuk ke dalam ruang tunggu untuk beristirahat sejenak. Badannya yang sudah lelah seharian itu terasa panas, seperti ada bagian yang terbakar.

Rasa panas ini ia rasakan datang dari arah dada dan perut, yang membuat Dokyeom mengalihkan pandang ke arah bawah.

Baru ia tangkap dalam diamnya, ia dan tubuhnya itu, tidak terlindungi oleh apapun.

Suara pintu terbuka membuat Dokyeom berusaha untuk menyipitkan matanya, melihat ke arah datang cahaya terang. Kedua matanya membelalak sekuat yang ia bisa ketika orang tersebut mendekat, mengelus pelan pipi Dokyeom seraya tersenyum.

It seems that the drug’s effects have weakened since you’re awake.”

Pria yang terkukung itu kembali disadarkan dengan apa yang akan terjadi ketika perempuan itu beranjak naik ke atasnya, melepas apapun itu yang menjadi pembatas antara Dokyeom dan ketakutan yang kian dalam ia rasakan. Dalam segala upaya, badannya ia coba gerakkan untuk bertahan, bertahan dari apa yang akan menghancurkan dunianya.

Menghancurkan dirinya.

Namun kembali ia dapati badannya yang sangat amat kaku, seperti tertahan oleh sesuatu.

“Badan kamu masih kaku, anak kecil. The sleeping drug’s effect is the only one that has subsided,” ucap perempuan itu sembari meraih dagu Dokyeom. Tangannya yang bebas kini menyusuri badan Dokyeom perlahan, diiringi dengan bulir air yang keluar dari kedua manik mata Dokyeom.

“Ja… ngan…” Dengan susah payah Dokyeom berusaha untuk mengeluarkan suaranya, dan disambut dengan tawa oleh sang perempuan.

“Kata orang, kamu itu sempurna. Pahatan terindah yang orang-orang pernah liat. Dan aku, adalah satu dari banyaknya orang yang mau melihat pahatan indah itu secara langsung, menyentuh dan merasakannya secara langsung. It’s your own fault for being this perfect, don’t you think so, Dokyeomie?”

Dokyeom mencoba menggeleng menolak, matanya ia tutup erat untuk memfokuskan kekuatan pada tubuhnya. Yang ia dapati kembali hanyalah kekakuan, dan rasa tak berdaya dari gelapnya obsesi seseorang.

Dokyeom takut, Dokyeom benar-benar sangat amat takut.

“Obat yang aku pake terlalu kuat untuk kamu lawan, Lee Dokyeom. You don’t have to be worried though, dokter pribadiku bakal meriksa kamu setelah ‘kita' selesai. So, just enjoy the sights, and enjoy the fun with me, pangeran sempurna kebanggaan semua orang.”

Dan pada malam-malam itu, Dokyeom kembali tersadar.

Bahwa dunia kebahagiaannya, tidak selamanya putih bersih tanpa cela.

Kosong.

Dokyeom menatap langit kamarnya yang kosong itu tanpa peduli dengan kerasnya ketukan dan pukulan yang ia dengar pada pintu unit apartemennya. Suara teriakan frustasi Jihoon yang memanggil, Minghao yang menangis, serta Jun yang melirih berharap Dokyeom mau membuka dirinya kepada mereka, tiada membuat pria itu beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu.

Bulan-bulan itu berlalu dengan cepat, terlalu cepat, secepat Dokyeom yang menutup diri dari gemerlapnya dunia. Kegiatannya kini hanya berisi bertahan hidup dengan makanan yang biasa ditinggalkan Jihoon, Jun, maupun Minghao di depan pintu, kemudian ia lanjutkan dengan geletak tubuhnya di atas kasur. Tatap kosongnya tidak pernah lepas dari langit-langit putih tanpa hiasan, sebelum kembali dan kembali lagi tangis itu keluar dari kedua manik mata cokelatnya.

Tangan Dokyeom dengan tidak sadar menggosok kedua lengan kasar, mengakibatkan semburat warna merah membekas. Bibir bawahnya ia gigit dengan sangat amat keras, rasa seperti besi dapat terasa jelas di dalam mulut seraya ia berusaha menghapus semua jejak-jejak itu.

Kotor.

Dokyeom merasa dirinya sangat kotor.

Kini, tidak hanya bekas berwarna merah seperti pukulan yang terlihat di kedua lengan tersebut, namun gores-gores halus perih akibat gesekan kuku panjang tak terawat yang semakin cepat, salah satu upaya yang Dokyeom lakukan untuk membersihkan diri dari semua ingatan yang ingin ia hilangkan dan juga lupakan.

Kedua kaki jenjang itu pun ikut mendekat pada tubuh bagian atasnya, membuat Dokyeom terbaring dalam keadaan meringkuk. Kepalanya sangat amat penuh dengan berbagai macam kemungkinan, giginya gemeretak menubrukkan satu sama lain dengan bahu yang naik turun bergetar.

Dalam kepalanya terngiang tubuhnya, dan segala ketakutannya.

Dalam kepalanya, terngiang tawa perempuan itu, dan apa yang ia lakukan terhadapnya.

Dalam kepalanya, terngiang bagaimana dirinya yang tidak bisa melawan dan hanya bisa menangis, menangisi hitamnya obsesi belaka yang tidak pernah ia inginkan.

Dalam kepalanya, Dokyeom berteriak meminta tolong, meminta bebas dari semua luka yang tertumpuk.

Tatapan Dokyeom kini bukan lagi terarah pada langit-langit kamar, namun sebuah inkubator kecil yang terletak tepat di hadapannya. Pandangannya itu tidak pernah lepas sedikit pun dari ketiga bayi mungil yang dipasangi selang ventilator, guna membantu mereka untuk bertahan hidup dan tumbuh dengan baik, walau lahirnya mereka ke dunia tidak diminta oleh siapapun.

Termasuk Dokyeom.

Tangannya yang terlalu kurus itu mengepal ketika amarah masuk ke dalam pikiran, bercampur aduk dengan ketakutan yang sudah ia kubur terlalu jauh dalam ingatan.

Dan kini, perasaan itu kembali merekah ke atas permukaan, dengan hadirnya mereka-mereka yang tidak pernah Dokyeom inginkan.

Sama sekali.

You’re supposed to be one of the most perfect person in this world, tapi ternyata anak-anak kamu itu, enggak ya.” Suara yang Dokyeom coba hilangkan dari ingatannya setiap hari itu pun terdengar, tanpa pandang bulu memutar ingatan yang kian menyiksa Dokyeom.

“Padahal harusnya kita gak pernah ketemu lagi since I already have my shares of fun. Tapi ternyata,” tawa yang Dokyeom benci dengan sekujur tubuhnya itu terlontar masuk ke telinganya, “ikatan kita lebih kuat dari itu. Emang ya, we’re very much compatible with each other.

“Sayangnya,” perempuan itu meraih dagu Dokyeom dan menolehkan kepalanya untuk bertatap, “I never want them in the first place, jadi aku serahin mereka ke kamu, orangtuanya. Terserah apa yang bakal kamu lakuin setelah ini, tapi kamu cukup ingat satu, Lee Dokyeom. Aku, gak ada sangkut pautnya sama kalian, or you’ll lose everyone you cherish around you.”

Dokyeom menggigit bibir bawahnya sebagai respon, tiada sepatah kata pun keluar dari mulutnya bahkan ketika perempuan itu melepas tangannya dan pergi meninggalkan Dokyeom. Pandangan pria bermarga Lee tersebut kini kembali menghadap ketiga bayi yang belum mengenal kerasnya dunia. Tiada suara berisik tangis yang keluar dalam lelap tidur ketiganya. Yang ada hanyalah suara monitor detak jantung yang berirama, seperti sedang berusaha berbicara dengan ‘ayah’ mereka.

Memberitahukan kepada sang ‘ayah' bahwa semua keputusan, kini ada di genggaman tangan Dokyeom.

Sulut amarah Dokyeom sesaat mendapati sumber akhir ventilator berupa tombol nyala yang tergeletak tidak jauh darinya. Tangannya terarah ke tombol switch tersebut, jarinya berhenti pelan tepat di atas. Kilat amarah campur takut yang sejak tadi berbisik keras di dalam kepala semakin terdengar, menyuruh Dokyeom untuk menekan tombol tersebut dan pergi meninggalkan bayi-bayi itu.

Setidaknya dengan ini, mereka tidak perlu merasakan kelamnya bagian hitam dari dunia.

Setidaknya dengan ini, mereka tidak perlu memiliki kesempatan untuk merasakan hal yang sama seperti Dokyeom.

Setidaknya, dengan ini, Dokyeom dapat mengubur semua hal ini seorang diri dan melanjutkan hidup.

Kali ini, demi dirinya sendiri.

Namun setidaknya yang ia pikirkan itu tidak kunjung datang ketika matanya menangkap mata yang sedikit terbuka dan senyum kecil yang terbit pada wajah bayi yang terbaring tepat di tengah. Ketahuilah bahwa Dokyeom pun tidak tahu bagaimana ia paham bahwa bayi itu sedang tersenyum, tapi kala itu, tangannya secara otomatis tertarik jauh dari tombol switch dan beralih terletak di atas tutup transparan inkubator.

Kembali manik mata Dokyeom menangkap mata terbuka dan senyum yang ikut mengembang di wajah kedua bayi di kanan dan kiri. Senyum manis merekah seperti menyambutnya, ayah mereka, Dokyeom, untuk terakhir kali.

Atau mungkin pertama kalinya.

Karena kini yang tersisa dari Dokyeom hanya isak tangis membuncah. Amarah yang semula menguap bercampur takut telah tergantikan oleh rasa bersalah. Rasa bersalah karena memiliki pikiran untuk egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Rasa bersalah karena tidak memikirkan bahwa kini, setengah dari dirinya ada pada mereka.

Bayi-bayi kecilnya.

Anak-anaknya.

Dokyeom kini merogoh saku celananya dan segera mencari nama familiar dalam daftar kontak. Dering pertama dari telepon tersebut langsung di sahut oleh teriakan kala isak tangis Dokyeom semakin terdengar.

“Kyeom? Kyeom kenapa? Kyeom jawab kakak! Adek? Kamu nangis? Kamu dimana?!”

“Kak Ji…,” suara Dokyeom keluar seiring dengan tangisnya, “To — long… aku…”

“To — long a — ku… Tolong… anak — anakku…”

Anak-anak kesayangan Papi.

Ini anak-anak kesayangan saya! Betul, mereka kembar tiga atau kalau bahasa kerennya triplets ya? Bener kok itu. Foto saya? Gak usah mungkin ya, pokoknya saya mirip sama mereka karena saya Papi mereka. Oh boleh boleh, perkenalkan saya Dokyeom, Lee Dokyeom. Papinya Lee Seungkwan, Lee Vernon, dan Lee Chan. Saya papi tunggal disini, jadi mohon bantuan semuanya!

--

--