Jalan Mendaki
Saya sudah lama tidak membaca buku. Membaca dalam arti menyecap kata per kata, lembar per lembar halaman buku dalam suasana kontemplatif. Lebih banyak membaca cepat untuk kebutuhan memindai. Tidak lagi seperti di pondok, momentum membaca sekarang gampang sekali diinterupsi keabsurdan skrol gawai. Ada hubungan gelap antara sensasi keserbacepatan dan keinstanan medsos dengan pendangkalan proses membaca. Tentu, hubungan itu kian langgeng karena adaptasi saya yang jelek terhadap kelejitan kehidupan metro modern.
Situasi intim membuat bacaan jadi endapan pikiran yang erat dan sublim, beda dengan membaca cepat rasanya keras dan bertumpuk. Mirip dengan membandingkan saat menyilin petis ke toples dengan menuang garam kasar ke sak. Barangkali karena kontinuitas saya yang lambat, bagi saya seringkali ada situasi di mana keserbacepatan dan keinstanan justru membawa saya ke pojok kuldesak. Dan tiba-tiba digerayangi semacam kepiluan, ‘rasanya ada yang tertinggal di belakang’.
Saya merindukan titik pertigaan yang menjalin antara asupan bacaan dan kecambah pikiran. Titik itu adalah penghayatan akan realitas. Ada ritme yang anggun saat apa yang belakangan saya baca dan saya pikirkan bertemu dengan realitas yang menunjukkan bagaimana hasil bacaan dan pikiran itu ditakar dan dipijaki. Disitulah proses penarikan makna dan penghayatan realitas kehidupan tersituasi. Ada bunyi yang sembunyi yang hanya saya yang mendengarnya. Nikmat sekali.
Saya beruntung, di tengah keabsurdan hubungan saya dan bacaan, bunyi itu sesekali datang lewat suara kenangan.
Seperti saat ini, di tengah kelindan perasaan gabut seiring kecanduan skrol, bunyi itu memanggil kenangan pada bacaan-bacaan saya tentang absurditas di buku-buku Albert Camus. Tepatnya, ketika saya bertemu meme kutipan dari film Gadis Kretek yang bicara soal seni membesarkan hati. Kurang lebih kata Jeng Yah, “Semua orang punya titik terendah. Jika orang lain menganggapnya pederitaan, saya menganggapnya pelajaran hidup.” Saya ingat ketika Camus menghayati penyikapan absurditas ala Sisifus. Sisifus, tidak bisa mengubah absurdnya kutukan menggelinding batu yang dia harus jalani, tapi dia mengajari dirinya untuk berbesar hati. Maka kata Camus, “kita harus membayangkan Sisifus tersenyum”.
Maka saya sadar, saya agak berlebihan membenamkan diri dalam arus keserbacepatan dan keinstanan kini. Barangkali seirama dengan sisi berlebihannya kemurungan Camus sepanjang hayat memikirkan kehidupan lewat tubuhnya yang ringkih di bagian dalam dan kian ringkih hingga dia wafat. Setidaknya begitu yang saya ingat saat membaca catatan pinggir Goenawan Mohammad tentang Camus.
Ada yang subtil antara penghampiran saya menuju kepaduan gerak masa kini dengan memorabilia masa lalu. Dan beginilah kata Purwati di film Gadis Kretek, “Apapun yang Romo suruh ke kamu, kerjakan, Ibu cuma minta jangan bawa pulang ke rumah. Kadang ada hal-hal yang harus tinggal di masa lalu, tak perlu diungkit-ungkit lagi.” Dinding-dinding rumah masa kini saya tak bisa tutup kuping dari kegenitan masa lalu. Saya merasakan aroma kutukan yang terutama hadir dari tubuh saya sendiri ketika berhadapan dengan keserbacepatan dan keinstanan. Kutukan itu berupa candu kemalasan dan kelambanan.
Entah kenapa, saya lalu teringat suatu diskusi di Gandrung Syafaat. Saat itu Royyan Julian hadir sebagai pemantik. Dia bicara tentang dosa abadi, sebuah lingkaran akan utopia keabadian. Dia, kalau tidak salah ingat, bicara soal epos Gilgamesh tentang pencarian ramuan keabadian yang harus ditebus dengan penderitan. Kedinginan Aswatama yang dikutuk hidup abadi tanpa menanggung cinta. Kisah Adam dan Hawa, tentu saja, dan kenapa simbol ular dimitoskan sebagai makhluk yang tak pernah mati, dia hanya berganti kulit dan berganti kulit. Siklus ular terkutuk menggelinding seperti batu Sisifus. Dan itulah penderitaan yang tiada tara.
Ya, seperti batu Sisifus yang sedia menggelinding hingga kini dalam bentuk keabsurdan di tengah keserbacepatan dan keinstanan. Utopia keabadian mencirikan pencapaian menggebu untuk kenyamanan, tapi justru akhirnya tidak nyaman. Utopia yang menggulung orang malas, seperti saya sekarang, dalam kecanduan memeluk bantal padahal tahu ranjang sedang mengkropos.
Barangkali saya adalah sisi Camus yang murung atau Sisifus yang masih belajar untuk berbesar hati. Nyatanya, saya melihat kiri kanan, memang tak bisa dibilang banyak, orang-orang yang berhasil melakoni harmoni dengan kehidupan metro modern. Mereka mampu mengendapkan bacaan, tahan bersetia dengan buku, tidak tersituasi oleh kejengahan hiruk-pikuk skrol gawai. Saya hanya mengamati dan tidak bertanya langsung soal itu. Apakah dugaan saya benar, atau memang kemurungan telah menggiring saya pada ketarasingan eksistensial yang meletup minta diiba seolah-olah orang lain yang tampak begitu adalah kupu-kupu yang lepas utuh dari kepompongnya, yang berkepak-kepak di puncak.
Saya menatap jalan mendaki itu, merasa diejek oleh Sisifus yang tersenyum dalam bayangan Camus. Jalan mendaki yang sukar. Sukar sekali rasanya melepaskan kebiasaan membudak pada kemalasan dan kecanduan skrol gawai. Bagaimana memberi asupan nikmat di tengah kelaparan pikiran. Ada perasaan yatim yang perlahan karib sebab membiarkan itu semua. Miskin dan fakir tersebab melankolia kenangan membaca di masa lalu dan keterpurukan masa kini.
Tentu masih ada waktu untuk berbenah, merenungkan segalanya. Saya meneguhkan untuk berwasiat kepada diri sendiri agar bersabar hati dan mengupayakan romansa itu lagi. Belajar dari simfoni yang diciptakan orang-orang terbaik sepanjang jalan dan belajar dari nyanyi sumbang yang kerap datang. Membuka pelan-pelan, membuka buku lagi, membuka kesempatan, sebelum itu benar-benar tertutup rapat.
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.” (QS. al-Balad [90]: 12–20)