Titimangsa Buku dalam Lorong Nostalgia

Alfan Shidqon
7 min readApr 4, 2024

--

Merangkul diri

Hari ini saya tiba di rumah, mudik lebaran. Madura panas sekali siang pukul sepuluh tadi, tubuh saya turut bahang. Perjalanan dua belas jam naik bus, ditambah hanya sahur sehelai roti, lasatlah batin ‘saye ni’ menjerit-jerit sekarat; “hampir aku mati menanggung lapar, Hayati!”. Kering tekak. Pening tendas. Lihat gawai, suhu udara tiga puluh satu derajat celcius. Wah, panas sungguh. Sebentar, penjam mata sambil kibas baju, lihat lagi, ada syarahnya, dong: terasa seperti tiga puluh delapan celcius. Ah, sudahlah.

Setelah cuci muka, salam salim, tegur sapa, lanjut lantas ke tempat tidur. Buka baju, nyalakan kipas, berbaring dengan tenteram. Aah. Syukur bisa tiba ‘dengan selamat sentausa’. Saya pejam mata berandai pulas cepat agar memangkas waktu puasa. Semesta perlahan mengambang, suara-suara meredup, pikiran bergerak pelan, mulai kusut antara ngiangan lagu-lagu acak di otak dengan denging lamunan dari balik pintu ruang bawah sadar. Tidurlah, tidur, lepaskan semua uap tubuh, nikmati detak jantung dan biarkan darah mengalir tenang. Tapi, sebentar. Sekelumit gambar tiba-tiba menyembul. Oh, iya, saya baru ingat, tadi sekilas saya melihat buku-buku lama berjejer rapi di rak. Sebuah rak baru. Tampak lebih anggun menggoda. ‘Sudahlah, nanti saja’, begitu saya ucap pada diri saya. Angin dari kipas tempias lagi ke muka, semesta mengambang lagi, dan gelap!

Singkat hikayat, malam ini saya datangi buku-buku itu. Saya ambil beberapa, buka lembar pertama, ada titimangsa dan nama saya di situ. Jelek sekali bentuk tulisannya, tapi saya suka melihatnya. Iya lah, tulisan sendiri, kok. Setiap buku (lama) menyimpan cerita. Begitulah demikian setiap titimangsa yang lekat padanya menyedot saya ke dalam lorong nostalgia. Menyimpan cerita tentu karena ia dibaca, memandu nostalgia karena ia seketika memulangkan ingatan pada sebab apa atau siapa buku-buku itu bisa tiba di tangan kali pertama sua.

Jangan ragu kalau saya bilang buku-buku itu sudah pernah saya baca. Kendati tak selesai betul, saya dari dulu, dan syukur sekarangpun sama, adalah tipikal individu yang ‘dapat buku langsung dibaca’ atau tepatnya langsung disapa. Tidak ditumpuk atau dipajang saja berlama-lama, apalagi masih dengan segel plastiknya. Bukan apa-apa, itu kebiasaan saya saja. Dibaca meski satu dua lembar, lepas itu tunggu kesempatan lagi buat baca dan baca lagi. Meskipun, saya selalu bilang kalau membeli buku tanpa langsung dibaca itu baik. Tak ada yang mubazir dari buku. Sekarang kamu belum ingin membacanya, barangkali lain waktu, barangkali bahkan bertahun-tahun kemudian. Kalaupun kamu tidak sempat membacanya dalam hidupmu, setidaknya jika buku itu tetap disimpan terawat, barangkali anak cucumu yang membacanya dan mengambil manfaatnya. Begitulah nasihat dari orang ‘sok bijak’ ini kepada teman-temannya, meski tak jarang saya mengulum ludah pilu saat bilang omongan itu teringat buku saya banyak yang hilang karena sering tidak dikembalikan sama orang yang pinjam. Glek!

Oke, kembali ke buku-buku lama tadi. Ada enam buku yang saya ambil. Buku pertama, judulnya “Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi”, buku terjemahan karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel ini saya dapatkan saat ikut pelatihan jurnalistik bertajuk “Sekolah Menulis Santri” di peasantren dulu, Annuqayah, 16–19 Maret 2015. Kami diajari soal ‘jurnalisme sastrawi’ oleh Yayasan Pantau. Tiga hari bicara soal berita, teknik wawancara, esai, tajuk, hingga cerpen. Kata mas Imam Shafwan, yang kebetulan juga penerjemah buku itu, insan jurnalis pasti tahu kiprahnya Kovach sama Rosentsial. Ini buku wajib yang harus dibaca oleh mereka. Jadi, kami tidak hanya belajar 5w plus 1h, kami dibawa masuk untuk tahu bagaimana jurnalisme itu bekerja. Apa yang ideal dan komersial di dalamnya. Kami juga jadi paham, ditambah dengan membaca buku lebih lekat, kalau unsur-unsur sastrawi sering kali dibutuhkan untuk membasahi iklim jurnalisme kita kian hari ini agar tidak kerontang dan (hanya) terseret dalam pusaran kepentingan. Ketika beberapa waktu kemarin, saya suka mengikuti berita soal politik (pilpres) saya jadi rindu buku ini. Saya sudah berencana jika nanti pulang akan mengangkut serta buku ini ke Jogja.

Buku kedua, “Hamka dan Bahagia: Reaktualisasi Tasauf Modern untuk Zaman Kita” ditulis oleh M. Alfan Alfian, seorang cendikiawan Muhammadiyah. Buku ini berisi ulasan dan catatan ‘Mas Alfan’ atas “Tasauf Modern”, karya hamka. Saya suka sekali buku ini sejak pertama beli. Lupa detail momentumnya bagaimana, tertera ‘Banyuanyar, 15 Mei 2016’. Saya ingat-ingat, tahun itu di Banyuanyar saya ikut Lomba Debat se-Madura tingkat Madrasah Aliyah, kalau tidak salah. Kami juara satu! Seingat saya, buku itu saya baca berkali-kali dalam waktu yang lama. Tidak tuntas betul, saya baca fragmentatif, bagian per bagian, loncat-loncat, diulang-ulang. Saya kagum karena Mas Alfan luwes sekali penyampaiannya (kemudian saya tahu kalau beliau seorang esais langganan terbit koran nasional). Hamka, dalam pandangan Mas Alfan, mampu membawa tema ‘tasauf’ pada makna universal yang cocok dengan sikap masyarakat modern. Saya belum pernah membaca karya Hamka saat itu, tapi saya sangat terbantu berkat uraian Mas Alfan. Bagi saya, ini adalah pintu pembuka untuk membaca karya Hamka yang lain, memahami harmoni gaya melayu ritmis yang beliau pakai. Tentu, karya pertama yang saya baca adalah novel-novel, “Tenggelamnya Kapal van der Wijk” dan “Di Bawah Lindungan Kakbah”, didukung ada filmnya pula. Namun di luar itu, saya tertarik membeli buku itu (nah, bagian ini saya ingat) sebab nama penulisnya punya kesamaan dengan nama saya, sama-sama Alfan. Susunannya unik, “Alfan Alfian”. Faktanya, beberapa waktu kemudian, saya pernah meniru susunan ini buat nama pena saya “Alfan Alfain” untuk cerpen saya yang terbit di majalah Infitah, lupa tahun kapan.

Selanjutnya, novel “Altitude 3676 Takhta Mahameru” karya Azzura Dayana. Tertulis ‘Annuqayah, 20 Mei 2016’. Nampaknya, buku ini saya beli di Festival Cinta Buku (FCB) tahun itu. FCB adalah festival tahunan yang digelar Instika, kampus di peasantren kami. Selama sekitar satu minggu lebih akan ada bazar buku, festival teater, dan seminar-seminar, terutama soal ke-buku-an dan kepenenulisan. Pernah dihadiri pengarang-sastrawan beken macam A. S. Laksana, Ahmad Tohari, Seno Gumira Adjidarma, dan lain-lain. Bercerita soal pencarian kesejatian, novel ini membuat saya membayangkan betapa indah dan agungnya ‘takhta Mahameru’, selain lewat novel 5cm, dan filmnya tentunya. Ada banyak faksi yang menarik dari cerita novel ini. Salah satunya, dialog Faras dan Ikhsan di puncak Mahameru. Faras saat itu menukil kisah surah al-A’raf untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Ikhsan yang sudah sekian lama ia pendam. Petualangan faras yang hanya berbekal alamat dalam surel juga fantastis, menarik sekali. Faras seorang perempuan yang salehah dan punya daya juang kehidupan. Intuisi keperempuan tampak kuat dalam penokohannya. Akan tambah pas bila novel ini dibaca kawan-kawan yang perempuan. Saya juga berencana akan baca lagi novel bagus ini.

Ada bukunya Ivan Lanin, “Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris”. Saya beli di toko buku milik salah satu kiai di pesantren kami, tertera “Hari Ibu, 2018". Beliau menjual buku yang bagus-bagus. Sering, saya tidak berani datang untuk melihat-lihat takut ngiler ‘pengen beli’ karena koleksinya memang beda dengan toko buku lain di sekitar. Ivan Lanin, si penulis buku itu, terkenal sebagai narabahasa, konsen promosi tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita diajak untuk lebih mengenal diksi-diksi di bahasa Indonesia, terutama yang serapan. Saya sering merekomendasikan buku ini pada kawan-kawan saya, terutama yang masih tahap awal belajar menulis. Hingga kini saya mengikuti Uda Ivan di sosial media, instagram dan X. Saya kagum, tahun ini Uda Ivan berhasil menulis setiap hari satu tahun tanpa putus di Medium yang semuanya hampir soal bahasa Indonesia.

Terakhir, dua buku pemberian teman saya, Romi, 22 Juli 2022. Kami sudah lama tidak bertemu sejak dia pindah pesantren buat memperdalam hafalan al-Qur’an. Romi menghadiahi saya buku-buku ini karena kebetulan dia sedang berkunjung dan tahu tidak lama lagi saya akan boyong. Dia bilang, dia akhir-akhir ini tertarik baca buku yang aneh-aneh, di luar biasanya teman-teman kita baca. Bukan ingin dibilang nyeleneh, tapi memang tertarik saja. Sebagai pribadi saya suka dengan proses kepenulisan Romi, dia tahan bikin puisi bagus yang panjang-panjang. Kalau cuma bikin puisi panjang, semua santri bisa, tapi bagus dan panjang adalah dua kata yang jarang bisa dibuat orang lain. Tapi sayang, setelah pindah pesantren, karir kepenyairannta tidak tercium lagi. Oh, iya, dua buku itu “Kitab Lima Cincin” karya Miyamoto Musashi tentang panduan tradisi seni perang Jepang dan “Kota Kezaliman: Suatu Hari Jumat di Yerusalem” karya M. Kamel Hussein.

Untuk meyakinkan saya, Romi bilang, di bukunya Musashi tidak hanya berisi soal teknik, ada filosofi perang, pengendalian diri, dan psikologi mistik hubungan dengan katana/pedang Jepang. Sementara Kota Kezaliman itu novel soal penyaliban Yesus, tapi penulisnya Muslim. Saya tidak baca lebih jauh buku yang terakhir ini, karya Kamel, sebab terjemahannya kurang nyaman dibaca dan Romi seingat saya pernah bilang soal itu.

— —

Sebagai penutup, jadi begini, mengapa perkara nostalgia ‘remeh’ ini saya tulis. Beberapa waktu lalu, agak ramai di linimasa cerita Instagram teman-teman saya sebuah sematan “Foto masa SMA”. Saya tidak ingin ikutan tren itu, sebenarnya. Tapi saya jadi terlempar kepada memori tentang masa SMA saya yang bagi saya sejauh ini adalah masa terhebat yang pernah saya alami, semacam ‘Purgatori’ dalam istilah Dante (yang sering disebut-sebut Dian Sastro pas lagi Podcast), yang turut membentuk kedirian saya saat ini. Saya cari-cari di gawai, lewat media sosial juga, foto-foto masa SMA. Tidak ketemu. Nah, bersua dengan buku lama, menatap titimangsanya, membuat saya hari ini cukup lega, bahwa tidak ada foto tapi ada buku yang bisa jadi tanda masuk ke nostalgia. Ada titik-titik linimasa. Buku Blur dan Hamka Bahagia itu saya dapat dan saya baca di masa SMA. Jadi inilah yang akan saya posting, bukan foto, tapi buku. Sekian.

--

--