Pemogokan Buruh di Hindia Belanda 1910an-1930an

Willy Alfarius
6 min readMay 25, 2020

--

Kemunculan kelas buruh di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya kebijakan Politik Liberal oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Terbukanya pintu yang lebar untuk ekspansi kapital menyebabkan terjadinya industrialisasi di berbagai sektor ekonomi yang mana tentu membutuhkan jumlah tenaga kerja upahan yang besar. Pembukaan lahan perkebunan tembakau di Sumatera Timur menjadi salah satu contoh bagaimana sektor ini menyerap banyak tenaga kerja yang didatangkan dari Jawa, bahkan Tiongkok selatan.[1] Era Liberal tidak hanya terjadi pada sektor agraria, namun juga meliputi sektor transportasi, perdagangan, tekstil, jasa, dsb.[2]

Umumnya para buruh membentuk serikat buruh yang berusaha memperjuangkan hak-hak mereka. Kemunculan serikat buruh pertama di Hindia Belanda ditandai dengan berdirinya VSTP (Vereeniging van Spoor-en Tramweg Personeel) yang dipelopori oleh para pekerja kereta api dan trem berkebangsaan Eropa di Semarang pada 14 November 1908.[3] Dalam beberapa hal, terjadi pemogokan kerja yang dikoordinir melalui serikat buruh sebegai akibat tidak dipenuhinya tuntutan para pekerja ini. Bambang Purwanto menuliskan bahwa saat warga negara lain belum memperhatikan hak-hak mereka sebagai warga negara, para buruh sudah menunjukkan minat aktivitas sebagai manusia merdeka, baik saat masih terjajah dalam koloni maupun saat sudah merdeka.[4]

Makalah ini mengambil ruang lingkup di Jawa, khususnya terhadap para buruh pelabuhan dan kereta api yang notabene kedua sektor transportasi tersebut merupakan akses penting terhadap distribusi sumber daya/komoditas perdagangan di Hindia Belanda. Sedangkan temporal 1910an-1930an dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa dekade kedua abad 20 tersebut mulai muncul kesadaran pentingnya berorganisasi di kalangan masyarakat, dalam hal ini kelas pekerja. Situasi ini didukung oleh keadaan maraknya organisasi politik-kebangsaan yang didirikan oleh kaum bumiputera, terlebih Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia yang nantinya cukup berpengaruh dalam tubuh serikat pekerja.[5] Sedangkan 1930an menjadi akhir periode dengan pertimbangan bahwa pada tahun-tahun ini terjadi Depresi Ekonomi dunia yang tentu pengaruhnya mencapai Hindia Belanda. Selain itu pada dekade ini pemerintah kolonial mulai bertindak represif dan hati-hati terhadap semua kelompok pergerakan pasca meletusnya pemberontakan PKI 1926–1927.

Rumusan permasalahan yang akan dijawab pada makalah ini adalah apa saja yang menyebabkan para buruh melakukan mogok kerja? Bagaimana penyelesaian konflik antara pihak buruh dengan para majikan, petinggi perusahaan di pelabuhan dan stasiun? Dan bagaimana reaksi pemerintah kolonial menghadapi pemogokan buruh tersebut, yang sedikit banyak digerakkan oleh ideologi kiri?

Kondisi Buruh

Secara garis besar makalah ini merujuk pada tulisan John Ingleson yang banyak sekali tulisannya membahas mengenai serikat buruh pada awal abad 20. Sebagian besar buruh yang bekerja di pelabuhan bukanlah buruh yang langsung dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan, melainkan dipekerjakan secara tidak langsung melalui mandor atau juru mudi.[6] Para buruh ini terdiri atas pemuda-pemuda desa yang dibawa oleh para mandor yang notabene juga berasal dari tempat yang sama. Pola-pola seperti ini akan terus berlanjut hingga kini. Di pelabuhan Surabay ada sekitar 10.000 buruh yang bekerja dan sebagian besar mereka berasal dari Madura. Untuk pelabuhan Surabaya para buruh yang bekerja di dermaga dibayar dua kaki lipat daripada awak kapal. Namun secara pekerjaan buruh dermaga lebih berat pekerjaannya dengan waktu kerja sekitar 10–14 jam. Ditambah lagi jika sedang musim penggilingan tebu antara bulan Juni hingga September semakin menambah beban kerja mereka.[7]

Kehidupan sehari-hari buruh juga terasa kelam ketika mereka harus tinggal di permukiman kumuh di kampung-kampung sekitar pelabuhan. Sebuah ruangan berdinding bambu berukuran 3x8 meter dengan tinggi 1,7 meter ditempati oleh 23 pekerja. Belum lagi wabah penyakit yang menjangkiti kalangan buruh mengingat tidak sehatnya tempat tinggal mereka. Tifus, influenza, malaria dan TBC menjadi ancaman kesehatan bagi para buruh.[8]

Aksi Pemogokan

Pemogokan kelas buruh di masa kolonial tidak terjadi begitu saja, melainkan digerakkan oleh serikat-serikat buruh. John Inglesson menuliskan bahwa pembentukan dan pengorganisasian buruh kota penting karena menjadi bagian dari gerakan politik kebangsaan yang lebih luas.[9] Banyak sebab yang menjadi alasan pemogokan kaum buruh, namun yang paling umum adalah ketidakpuasan terhadap upah yang mereka terima. Pemogokan yang paling awal terjadi adalah pada 1913 di pelabuhan Semarang ketika para awak kapal menuntut kenaikan upah sebesar 30%. Biaya hidup dan kebutuhan pokok yang semakin meningkat menjadi pendorong para buruh menuntut kenaikan upah. Perkembangan rasa solidaritas berbasis etnisitas di kalangan buruh bumiputera juga menjadi salah satu alasan pemogokan. Dan yang paling utama adalah semakin masifnya pers kaum nasionalis dalam menyuarakan tuntutan, terlebih dengan semakin gencarnya juga pergerakan politik seperti Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia.

Semarang menjadi tempat subur tumbuhnya aksi pemogokan pada dekade-dekade awal abad 20 di Hindia Belanda. Pemimpin pergerakan buruh yang terkenal pada periode ini adalah Semaun, seorang juru tulis muda yang bekerja di perusahaan kereta api di Semarang. Pada 1919, masih dalam usia yang belum genap 20 tahun ia mendirikan Havenarbeidersbond (Serikat Buruh Pelabuhan) dengan cabang-cabangnya di seluruh pelabuhan di pesisir utara Jawa. Aksi mogok dilakukan oleh Havenarbeidersbond pada 1920 menuntut kenaikan upah 100%, namun yang akhirnya terealisasi sebesar 20–50% setelah mereka mogok beberapa hari.[10]

Proses Negosiasi

Secara garis besar, posisi dan tindakan majikan dan perusahaan dalam menghadapi kaum buruh yang mogok pada awal-awal kemunculan serikat buruh adalah sangat lunak, yaitu dengan proses negosiasi. Biasanya buruh yang mogok selama beberapa hari akan diajak berunding untuk menentukan jumlah besaran kenaikan upah. Seperti yang terjadi di pelabuhan Surabaya pada 1921 ketika Handelsveereniging Amsterdam, perusahaan dagang terbesar Belanda di koloni mengadakan pertemuan dengan Sarekat Pedagang Surabaya. Isinya adalah membicarakan batasan upah yang akan diterima para buruh yang notabene dipekerjakan melalui Sarekat tadi. Di sinilah strategi perusahaan untuk mengurangi biaya upah yang pada akhirnya akan menimbulkan resistensi dari kaum buruh.[11]

Namun tidak selamanya pihak majikan atau perusahaan mau untuk melakukan negosiasi. Cara lain yang ditempuh ketika menghadapi para buruh yang mogok adalah dengan mendatangkan buruh baru dari tempat lain. Sebagai contoh ketika buruh Madura di pelabuhan Surabaya pada Agustus 1921 tidak mau bekerja karena pengurangan upah yang sewenang-wenang. Para majikan sudah mengantisipasi dengan mendatangkan buruh dari pedalaman yang dulunya merupakan buruh pabrik gula.[12] Tapi dengan kedatangan buruh baru ini menimbulkan potensi untuk terjadinya keributan antara buruh baru dengan buruh lama yang mogok kerja. Keributan terjadi karena buruh lama yang mogok menganggap buruh baru tidak bisa bersolidaritas dengan sesama buruh yang sedang berjuang menuntut kenaikan upah.

Reaksi Pemerintah Kolonial

Menghadapi pemogokan buruh yang diorganisir oleh serikat buruh, tentu menjadikan pemerintah kolonial curiga bahwa aksi ini didukung oleh pergerakan kaum radikal komunis melalui PKI. Pemerintah memandang bahwa keterlibatan PKI dalam serikat buruh jauh lebih berbahaya daripada yang SI lakukan.[13] Ide-ide komunis yang radikal cukup membuat pemeritah kolonial takut, mengingat sang pembawa gagasan tersebut ke Hindia Belanda, yaitu Henk Sneevlit sampai harus diusir ke luar oleh pemerintah kolonial. Aksi-aksi pemogokan buruh ini kemudian dianggap menyalahi ketentuan rust en orde, ketertiban dan keamanan yang merupakan kebijakan pemerintah kolonial. Berdirinya PID (Politieke Inlichtingen Dienst), lembaga intelijen politik Hindia Belanda juga tidak lepas dari ketakutan pemerintah kolonial terhadap kaum pergerakan yang salah satu kerjanya adalah menjadi organisator pemogokan buruh.[14] Lembaga yang didirikan pada Mei 1916 ini nyaris setiap saat mengawasi semua rapat-rapat serikat buruh, termasuk rapat yang dipimpin oleh Semaun.

Amir Sjarifuddin Harahap, tokoh penting dalam sejarah gerakan kiri di Indonesia. Sesaat sebelum dieksekusi mati di sekitar Karanganyar, Jawa Tengah oleh pasukan militer pasca Peristiwa Madiun 1948 ia berucap, “Kaum buruh sedunia bersatulah, aku mati untukmu!”.

Kesimpulan

Dari penjelasan panjang di atas, dapat disimpulkan bahwa sejak awal kemunculannya kelompok buruh sering melakukan perlawanan. Hal mendasar yang mereka tuntut adalah mengenai kesejahteraan hidup mereka yang hanya bergantung pada upah dari hasil menjual tenaganya. Perlawanan buruh terhadap perusahaan pada periode awal abad 20 di Hindia Belanda sedikit banyak digerakkan oleh ide-ide sosialis-komunis yang ketika itu tumbuh subur melalui SI kemudian PKI. Ini semua bisa menjadi akar historis gerakan perlawanan buruh Indonesia belakangan ini. Meski sempat padam saat Pemerintah Orde Baru berkuasa, pasca Reformasi gerakan buruh dengan berbagai serikat pekerja kembali menunjukkan kekuatannya. Walau begitu perlawanan buruh saat ini memang tidak se-massif periode awal tadi. Saat ini pemogokan maupun aksi hanya terbatas tiap 1 Mei yang diperingati sebagai Hari Buruh Internasional.

Catatan kaki:

[1] Robert Cribb & Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 504.

[2] M.C. Ricklefs, Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, 1830–1930. (Singapore: NUS Press, 2007), hlm. 25.

[3] John Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 33.

[4] Bambang Purwanto, “Kata Pengantar” dalam Erwiza Erman dan Ratna Saptari (eds.). Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta), hlm. xi.

[5] Op.cit., hlm. 14.

[6] Ibid., hlm. 3.

[7] Ibid., hlm. 6.

[8] Ibid., hlm. 8.

[9] John Ingleson, Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia pada 1920an-1930an. (Tangerang: Marjin Kiri, 2015), hlm. 66.

[10] John Ingleson, ibid., hlm. 15.

[11] Ibid., hlm. 19.

[12] Ibid., hlm. 22.

[13] Ibid., hlm. 47.

[14] Lihat Allan Akbar, Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916–1934. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013), hlm. 13–37.

[Tulisan ini diunggah untuk memperingati 100 tahun Partai Komunis Indonesia, 23 Mei 1920 - 23 Mei 2020. Awalnya merupakan tugas akhir semester mata kuliah Sejarah Sosial Indonesia di Program Studi Ilmu Sejarah FIB UGM yang dikumpulkan pada 13 Desember 2016]

--

--

Willy Alfarius

Student at Department of History, Universitas Gadjah Mada