Institut Teknologi Bandung: Sebuah Tinjauan Historisitas

Alfatchurrachman
10 min readJul 3, 2024

--

Institut Teknologi Bandung (ITB) dikenal sebagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia, khususnya di bidang matematika, ilmu pengetahuan alam, teknik, bisnis, dan seni. ITB merupakan salah satu perguruan tinggi tertua di Indonesia. Oleh karena itu, terdapat beberapa tradisi dan nilai yang diturunkan sejak lama dan masih kental terasa hingga sekarang. Hal tersebut terbukti dari pengakuan mahasiswa ITB sendiri, di mana banyak dikatakan bahwa ITB cenderung konservatif terhadap tradisi dan nilai-nilainya (Revanka, 2024).

Kemudian, apakah pendirian terhadap tradisi dan nilai-nilai tersebut baik atau buruk? Melakukan hal yang telah dilakukan oleh para pendahulu selalu masuk akal untuk dilakukan, kecuali jika terdapat alasan yang sangat baik untuk tidak melakukannya (Peterson, 2019). Tidak mempertimbangkan sama sekali kebijaksanaan dari orang lama merupakan sebuah arogansi. Oleh karena itu, tinjauan historis terhadap ITB perlu dilakukan untuk menelusuri alam pikiran para pendiri pendirinya.

Pendirian Technische Hoogheschool te Bandoeng

Sejarah Institut Teknologi Bandung bermula dari pembentukan perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia, yakni de Technische Hoogeschool te Bandoeng (TH Bandung). Berdasarkan penjelasan Goenarso (1995), Guru Besar Teknik Sipil ITB, pendirian TH Bandung diinisiasikan dalam nuansa Perang Dunia Pertama. Pada saat itu, kesadaran nasional di tanah air telah tumbuh. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda dituntut untuk meningkatkan kesiapan melawan musuh, terutama kedudukan pribumi dalam ekonomi dan pendidikan. Di bidang pendidikan lanjut, pribumi — lebih tepatnya priyayi — hanya memiliki kesempatan untuk pendidikan dokter dan Hoogere Burgerschool (HBS) yang setingkat SMA. Pada tahun 1913, dibentuk komisi pendidikan teknik yang disebut sebagai Technisch Onderwijs Commissie yang mengadvokasikan bahwa Indonesia telah cukup untuk dapat mengadakan pendidikan insinyur. Perdebatan banyak terjadi terkait tingkatan pendidikan insinyur yang akan diselenggarakan, sehingga, pada tahun 1916, pemerintah membentuk Committee Indië Weerbaar untuk menyampaikan keinginan rakyat Indonesia kepada Pemerintah Belanda. Pada akhirnya, diputuskan untuk membuka perguruan tinggi teknik di Indonesia. Tuntutan yang mendasari keputusan tersebut bukan berasal dari kalangan pribumi karena para pemimpin pribumi merasa cukup dengan kemungkinan dibukanya Algemeene Middelbareschool (AMS ‘Sekolah Menengah Umum’) yang setara HBS, tetapi dengan bidang keilmuan yang lebih terkhusus. Tuntutan keras justru berasal dari para pengusaha Belanda yang industrinya terancam akibat perang, seperti perkebunan dan perhubungan. Oleh karena itu, pada 3 Juli 1920 diresmikan perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia, yakni TH Bandung (Laman ITB, n.d.)

Dilansir dari laman resmi ITB (n.d.), Institut Teknologi Bandung didirikan pada 2 Maret 1959, menggantikan TH Bandung. Institut Teknologi Bandung lahir dalam suasana penuh dinamika mengemban misi pengabdian ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpijak pada kehidupan nyata di bumi sendiri bagi kehidupan dan pembangunan bangsa yang maju dan bermartabat (Laman ITB, n.d.). Pada 26 Desember 2000, ITB resmi menjadi badan hukum untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah internasional. Hal tersebut berimplikasi pada kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab yang lebih besar yang diemban ITB.

Dewan Mahasiswa ITB: The Last Stronghold

Selain tinjauan ITB secara institusi, perlu ditinjau pula historisitas kemahasiswaan dalam ITB karena mahasiswa adalah elemen paling mendasar dari sebuah perguruan tinggi. Tinjauan secara khusus dilakukan terhadap Keluarga Mahasiswa ITB (KM ITB). KM ITB dibentuk sebagai pengganti Dewan Mahasiswa ITB (Tim Materi dan Metode KAT ITB 2023, 2023). Sementara, Dewan Mahasiswa ITB (DM ITB) sendiri dibentuk pada tahun 1960 (Laman KM ITB, n.d.).

Menurut Moechtar (1998), DM ITB didirikan dalam periode yang kental dengan nuansa politisasi mahasiswa oleh Presiden Soekarno dengan jargon NASAKOM-nya (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Seperti yang dikutip oleh Moechtar (1998), aktivis mahasiswa Bandung, Aldy Anwar, (1969) dan menjelaskan bahwa, dalam periode Demokrasi Terpimpin, mahasiswa telah dikuasai melalui nasakomisasi, manipolisasi, militerisasi dalam rangka berebut pengaruh Soekarno. Sementara, menurut Soeripto (1997), atau, mahasiswa telah dipanglimai oleh politik. Moechar (1998) menyimpulkan, bahwa, pada masa itu, nilai-nilai, tradisi, dan norma-norma akademik telah ditanggalkan dan diinjak-injak oleh mahasiswa-mahasiswa yang “progresif revolusioner”. Akibatnya, mutu akademik merosot dengan cepat (Moechtar). Kehidupan dan perkembangan perguruan tinggi mengalami kemunduran di segala bidang, yang sebagian juga menjadi tanggung jawab pihak mahasiswa, khususnya mereka yang menjadi kader-kader politik Nasakom tersebut (Soeripto, 1997)

Meski demikian, pada saat-saat kritis tahun 1964–1965, DM ITB dianggap sebagai satu-satunya Dewan Mahasiswa di seluruh Indonesia yang belum dapat dikuasai oleh organisasi mahasiswa poros “progresif revolusioner” (Moechtar, 1998). Pada waktu itu, DM ITB mencatat bahwa terdapat gejala-gejala tidak sehat di bidang kemahasiswaan di dalam perguruan tinggi akibat pengaruh organisasi-organisasi eksternal yang “ditunggangi” oleh partai politik, seperti perongrongan hak-hak kebebasan berorganisasi, pelanggaran hak-hak demokrasi mahasiswa, pelanggaran asas-asas kemahasiswaan dalam pemilihan dan penyusunan organisasi perwakilan dan pimpinan mahasiswa intrakampus (Moechtar, 1998). Bahkan, seperti yang dikutip oleh Sasono (1977), Tjipto Sukardhono menjelaskan bahwa DM ITB diberi sebutan sebagai the last stronghold.

Dewa Ganesa

Tinjauan historisitas terhadap ITB juga dapat dilakukan melalui mitologi. Identitas visual dari ITB adalah lambang Ganesa (Tim Materi dan Metode KAT ITB 2023, 2023). Berdasarkan penjelasan Wantari dan Gunawan (2020), Ganesa digambarkan sebagai dewa ilmu pengetahuan dan kecerdasan serta kebijaksanaan. Dalam agama Hindu, Ganesa banyak dipuja oleh berbagai sekte. Secara ritual, dewa Ganesa dipuja sebelum melakukan sebuah pekerjaan (Untara & Somawati, 2020, dikutip oleh Wantari &Gunawan):

Om Gajananam Bhuta Ganathi Sevitam;

Kapittha Jambu Palasara Bhaksitam;

Uma Sutam Shoka Vinasha Karanam;

Namami Vignesvara Pada Pankajam.

Para pemuja Ganesa selalu melayani dan memuja Dewa Ganesa karena beliaulah yang selalu melindungi dan menghancurkan segala penderitaan (Wantari & Gunawan). Hal ini mengindikasikan bahwa kecerdasan dan ilmu pengetahuan mesti berorientasi pada kemaslahatan manusia, khususnya untuk melindungi dan menghancurkan penderitaan. Kecerdasan dan ilmu pengetahuan mesti diikuti dengan kebijaksanaan. Pemuja Dewa Ganesa diharapkan tidak hanya belajar, berpendidikan, dan memiliki kualitas kepimimpinan (seperti yang dilakukan Ganesa), tetapi juga mampu menumbuhkan rasa kasih terhadap sesama dan lingkungan (Suadnyana, 2020, dikutip oleh Wantari & Gunawan, 2020).

Elemen-elemen visual dari simbol Ganesa juga memiliki arti. Beberapa elemen tersebut antara lain kepala gajah, tikus sebagai kendaraan, telinga besar, mata sipit, mulut kecil, belalai yang meminum manisan di tangan, gading yang utuh dan patah, perut buncit, dan empat tangan yang memegang empat benda senjata berbeda. Senjata-senjata tersebut adalah kapak, tali, modaka (kue dengan kulit yang keras dan isi yang manis serta lembut), dan Abhaya Mudra (Wantari & Gunawan).

Berdasarkan penjelasan Joko (2015), dikisahkan bahwa:

Suatu ketika istri Dewa Siwa, Dewi Parwati, sedang mandi dan tidak ingin diganggu, sehingga ia menciptakan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ganesa. Ia berpesan agar anak tersebut tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumahnya selagi Dewi Parwati mandi . Kemudian, datang Dewa Siwa hendak masuk ke rumahnya, tetapi tidak dapat masuk karena dihadang oleh anak kecil yang menjaga rumahnya. Dewa Siwa menjelaskan bahwa ia adalah suami dari Dewi Parwati, tetapi Ganesa tidak mau mendengarkan perintahnya, sehingga, setelah Dewa Siwa kehabisan kesabarannya, mereka bertarung dan hasilnya Ganesa mati dengan kepala yang terpeggal.

Cerita tersebut mengajarkan agar manusia hendaknya berpegang teguh pada amanah. Ganesa berjanji untuk melaksanakan perintah ibunya dan melaksanakan tanggung jawabnya dengan teguh, bahkan hingga kehilangan kepalanya.

Akhirnya, Ganesa dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Dewa Keselamatan karena telah menyelamatkan seseorang, bahkan sebelum ia memulai pekerjaannya — sama dengan ritual yang dilakukan pemuja Ganesa sebelum melakukan sebuah pekerjaan — (Joko, 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa aplikasi dari kecerdasan dan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada produk-produk inovatif yang konkrit. Sejak awal, ilmu pengetahuan ada untuk mengestimasi masa depan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan juga dapat digunakan untuk mencegah sesuatu yang buruk, bahkan sebelum hal tersebut terjadi. Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan keberanian untuk membela kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan; diperlukan keberanian untuk kejujuran. Prinsip tersebut dipegang teguh oleh DM ITB ketika marak terjadi politisasi organisasi kemahasiswaan di periode demokrasi terpimpin. DM ITB sudah merasakan kejanggalan-kejanggalan upaya organisasi eksternal untuk menguasai organisasi kemahasiswaan. Namun, hingga akhir, DM ITB tetap berupaya untuk menjaga “kebersihan” badan organisasinya. Seperti yang telah diprediksi oleh DM ITB, pada akhirnya upaya politisasi organisasi kemahasiswaan tersebut meletus saat terjadi pemberontakan Gerakan 30 September oleh PKI (G-30-S/PKI). Kemarahan masyarakat terhadap PKI memuncak dan upaya pembersihan kampus dari PKI gencar dilakukan (Moechtar, 1998).

Elemen lain yang dapat dicermati dalam simbolisasi Ganesa adalah tikus. Tikus tersebut merupakan kendaraan Ganesa (Wantari & Gunawan, 2020). Berdasarkan pemaknaan Joko (2015):

Tikus memiliki indra penciuman yang tajam. Tikus adalah simbol dari kecenderungan duniawi. Oleh karena itu, jika ingin menangkap tikus, letakkan sesuatu yang berbau kuat untuk dapat dimakan di dalam perangkap tikus. Tikus juga melambangkan kegelapan malam karena tikus dapat melihat baik dalam kegelapan. Sebagai kendaraan Vinayaka (Ganesa), tikus menandakan sebuah bentuk yang menuntun manusia dari kegelapan kepada cahaya. Dengan demikian, dapat diartikan hal-hal yang buruk dapat diarahkan ke hal-hal yang lebih baik.

Mengalihkan nafsu duniawi menjadi hal-hal yang lebih positif merupakan bentuk kebijaksanaan. Simbolisasi tikus sebagai kendaraan Ganesa berarti bahwa ilmu pengetahuan mesti dapat mengendalikan nafsu, alih-alih sebaliknya (Wantari & Gunawan, 2020). Perlu diperhatikan bahwa hal tersebut tidak menyatakan kenihilan nafsu duniawi yang jahat pada manusia. Manusia memiliki nafsu yang impulsif dan hal tersebut justru mesti diakui, terutama oleh diri sendiri. Seperti yang dikatakan Dostoyevsky (2008), “beberapa hal cuma kamu bagikan dengan teman dekatmu, beberapa hal cuma kamu simpan sendiri, dan beberapa hal bahkan dirimu sendiri enggan buat mengetahui”.

Selain itu, kepala gajah Ganesa juga memiliki makna. Berdasarkan penjelasan Joko (2015):

Gajah terkenal karena kecerdasannya. Kepala gajah Ganesa melambangkan ketajaman intelek dan kekuasaan tertinggi diskriminasi. Karena kemurnian inteleknya, Vinayaka juga disebut pemberi buddhi (intelek). Dia menjawab doa-doa umat, sehingga dikenal sebagai Siddhi Vinayaka. Dalam sebuah hutan, ketika seekor gajah bergerak melalui hutan, ia membersihkan jalan bagi orang lain untuk mengikuti. Demikian juga, dengan menerapkan Ganesa, jalan akan dibersihkan untuk usaha kita. Kaki gajah begitu besar, sehingga ketika ia bergerak, terdapat cap keluar dari jejak kaki hewan lainnya. Di sini, sekali lagi, makna simbolik adalah bahwa semua rintangan di jalan akan dihapus bila Ganesa diberi tempat kehormatan. Perjalanan hidup dibuat lebih halus dan lebih bahagia dengan rahmat Ganesa. Ketika seekor gajak bergerak di antara semak-semak, dengan jalan setapak berubah menjadi bagian biasa untuk semua binatang. Dengan demikian, gajah adalah pembuka jalan untuk semua binatang.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepala gajah Ganesa melambangkan kecerdasan dan kebijaksanaan (Joko, 2015). Kecerdasan dan kebijaksanaan tersebut mampu menyelesaikan segala rintangan. Hal tersebut sesuai dengan fakta bahwa gajah adalah binatang yang berukuran besar, sehingga tidak ada yang berani melawannya, bahkan singa sekalipun.

Terdapat pula elemen-elemen lain dalam simbolisasi Ganesa yang memiliki arti masing-masing. Berdasarkan penjelasan Wantari dan Gunawan (2020), telinga besar dan mulut kecil Ganesa memiliki makna bahwa seseorang sebaiknya lebih banyak mendengarkan daripada berbicara; mendengarkan yang baik dan mengatakan yang benar. Mulut tersebut tertutup oleh belalai. Belalai dimaksudkan sebagai simbol dari kekuatan yang dahsyat, yang mampu menyingkirkan rintangan besar, tetapi juga mampu menangani hal dengan lembut (Wantari & Gunawan, 2020). Hal ini mengindikasikan bahwa ilmu pengetahuan mesti bersifat adaptif.

Empat tangan Ganesa membawa senjata masing-masing. Kapak yang dibawa memiliki simbol penumpasan segala halangan dalam karya; mangkuk yang berisi manisan susu yang berarti ilmu yang diminum oleh Ganesa melalui belalainya (Joko, 2015). Sementara, dua tangan yang lain membawa tali atau tasbih yang berarti pengendalian dan hukuman, serta Abhaya Mudra yang berarti Dewa Ganesa selalu memberi perlindungan, berkat, dan rahmat bagi para pemujanya (Wantari & Gunawan, 2020).

Ganesa memiliki satu gading yang utuh dan satu gading yang patah. Gading yang utuh merupakan simbol dari keyakinan dan gading yang patah merupakan simbol kecerdasan (Wantari & Gunawan, 2020). Kedua hal tersebut dibutuhkan dalam kehidupan, tetapi seringkali kecerdasan tidak mampu memberikan jawaban, maka keyakinan lah yang menjadi tuntunan (Wantari & Gunawan, 2020). Perlu diperhatikan pula simbolisasi gading kecerdasan yang patah. Hal ini berarti kecerdasan dan ilmu pengetahuan memiliki kerentanan terhadap galat. Begitu pula pionir-pionirnya, para “rasionalis”, juga memiliki kerentanan untuk menjadi terlalu arogan, nyaman dengan kepastiannya, dan tergoda untuk menutup mata terhadap kemungkinan galat. Pikiran rasional memiliki kapasitas untuk menipu, memanipulasi, merencanakan, memalsukan, meminimalisir kesalahan, menyesatkan, mengkhianati, menyangkal, menghilangkan, merasionalisasi, membiaskan, melebih-lebihkan, dan mengaburkan yang begitu luar biasa, sehingga pemikiran pra-ilmiah dan kebijaksanaan orang lama yang didistilasi selama berabad-abad dianggap sebagai hal yang benar-benar bersifat setan (Peterson, 2019). Bahkan, kerentanan pikiran rasional itu sendiri juga telah lama digambarkan, secara “tidak rasional”, oleh penyair Inggris, John Milton. Milton menggambarkan kerentanan pikiran rasional sebagai Lucifer. Lucifer, menurut Milton, adalah ruh dari pikiran rasional yang merupakan malaikat yang muncul dari kehampaan Tuhan (Peterson, 2019). Secara psikologis, berdasarkan penjelasan Peterson (2019):

Pikiran rasional adalah sesuatu yang hidup. Ia hidup di dalam diri kita semua. Ia lebih tua daripada kita semua. Pikiran rasional lebih baik dianggap sebagai kepribadian, bukan kemampuan. Ia memiliki tujuannya sendiri, dan godaannya sendiri, dan kekurangannya sendiri. Lucifer terbang lebih tinggi dan melihat lebih jauh daripada ruh lain. Namun, ia cinta dengan dirinya sendiri, dan lebih buruk lagi, cinta pada produknya sendiri. Ia mengangkat dirinya sendiri. Ia memuja diri sendiri sebagai absolut.

Godaan dari pikiran yang rasional tersebut dapat dipelajari dari fenomena bahwa komunisme belum pernah berhasil, setidaknya dalam skala negara. Fenomena itu sendiri juga sudah terjadi di Indonesia dan berkaitan dengan sejarah DM ITB. Di pikiran para komunis, terdapat utopia yang berlebihan dan, seperti kata Prof. Emil Salim (2019), orang mesti berhati-hati dengan utopianisme. Berdasarkan penjelasan Peterson (2019):

Komunisme, secara spesifik, tidak begitu menarik bagi para pekerja, tetapi para intelektual — mereka yang memiliki kebanggaan arogan terhadap intelektualitasnya yang selalu meyakinkan diri bahwa dirinya sendiri adalah benar.

Di simbol Ganesa dalam logo ITB sendiri, terdapat beberapa elemen tambahan seperti buku dan selendang. Berdasarkan penjelasan Tim Materi dan Metode KAT ITB 2023, buku melambangkan himpunan ilmu pengetahuan. Sementara, selendang melambangkan kesucian. Selain itu, terdapat pemaknaan tambahan dari gading yang patah. Gading yang patah juga berarti kerelaan berkorban dalam menuntut kemajuan ilmu pengetahuan (Tim Materi dan Metode KAT ITB 2023, 2023).

Berdasarkan tinjauan historisitas ITB, mulai dari sejarah TH Bandoeng, KM ITB, hingga mitologi yang mendasari simbolisasi identitas ITB, dapat disimpulkan bahwa esensi dari Institut Teknologi Bandung adalah penghargaan tinggi terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berorientasi pada pembangunan bangsa. Perlu dicatat dua poin penting dari esensi tersebut. Pertama, bahwa penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni selalu berorientasi pada kemaslahatan bangsa, bahkan umat manusia. Kedua, penghargaan ilmu pengetahuan, berdasarkan simbolisasi lambang Ganesa, merupakan penghargaan dalam bentuk yang berprinsip dan berpegang teguh pada kebenaran, tetapi juga bijaksana, yakni yang dapat mengendalikan hawa nafsu dan menyadari keterbatasan diri. Esensi tersebut sejalan dengan tugas ITB, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi №28 Tahun 2021, yakni:

“Memajukan, menyebarluaskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, ilmu sosial, dan ilmu humaniora untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sejalan dengan dinamika masyarakat Indonesia serta masyarakat dunia, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sosial, dan lingkungan melalui kegiatan tridharma.”

References

Anwar, A. (1969). Kesatuan dan Persatuan Potensi Mahasiswa Indonesia untuk Pembinaan Bangsa di Masa Pembangunan. In Seminar KAMI Konsulat Bandung (p. 10) [Paper].

Dostoyevski, Fyodor Mikhailovitsy, Asrul Sani. (2008). Catatan dari Bawah Tanah . Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Goenarso. (1995). Riwayat perguruan tinggi teknik di Indonesia periode 1920–1942. Penerbit ITB.

Joko, K. (2015, December 1). Memahami Mitology dan Simbolis Dewa Ganesha. Mantra Hindu Bali. Retrieved July 3, 2024, from https://www.mantrahindu.com/memahami-mitology-dan-simbolis-dewa-ganesha/

Moechtar, H. (1998). Mereka dari Bandung: pergerakan mahasiswa Bandung, 1960–1967 (1st ed.). Alumni.

Peterson, J. B. (2019). 12 Rules for Life: An Antidote to Chaos. Random House of Canada.

Sasono, A. (1977). Dialog. In PRISMA (Issue December 1977) [Magazine].

Sejarah. (n.d.). Institut Teknologi Bandung. Retrieved July 3, 2024, from https://www.itb.ac.id/sejarah

Sejarah – Situs Resmi – KM ITB. (n.d.). KM ITB. Retrieved July 3, 2024, from https://km.itb.ac.id/sejarah-itb/

Tim Materi dan Metode KAT ITB 2023. (2023). A Vivid Human Thesis Buku Besar Materi dan Metode untuk Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa.

Wantari, L., & Gunawan, W. (2020). Kedudukan Dewa Ganesa dalam Theologi Hindu. Jurnal Mahasiswa Filsafat Hindu, 2.

--

--