Melihat Konsep Waste-to-Energy di Indonesia

Alfin Fadhilah
4 min readAug 25, 2017
(Sumber : Linkedin/Sakshi Mehta)

Pada hari kesembilan keikutsertaan saya dalam kompetisi blog #15Hariceritaenergi yang diadakan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saya akan membahas tentang bagaimana konsep Waste-to-Energy (WTE) dan perkembangannya di Indonesia. Secara sederhana, kita mungkin bisa langsung ‘ngeh’ akan apa itu WTE. Penggunaan sampah menjadi bahan bakar alternatif memang bukan hal yang asing di telinga kita. Telah ada beberapa inovasi dalam dunia teknologi untuk mempercepat akselerasi dari perkembangan teknologi tersebut. Tentu, ini menjadi sebuah kesempatan untuk pemanfaatan sampah menjadi energi yang dapat digunakan sehari-hari.

Pemanfaatan sampah menjadi energi umumnya dilakukan dengan metode insinerasi yaitu pemanasan pada tungku dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan bakunya. Nantinya, saat terjadi proses pembakaran di dalam tungku dengan suhu sekitar 800 hingga 1000 derajat Celcsius, panas yang dihasilkan akan digunakan untuk memanaskan air dan juga akan menghasilkan uap panas. Uap panas tersebutlah yang nantinya akan digunakan untuk menggerakkan turbin dan generator listrik. Prosesnya persis seperti pengolahan batubara dengan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap.

Beberapa negara di dunia saat ini juga tengah menggenjot produksi WTE di negara-negara mereka. Manfaat yang dihasilkan dari WTE ini selain untuk suplai energi listrik, juga sebagai alternatif dalam mereduksi sampah yang saat ini jumlahnya akan terus bertambah. Jika kita mengambil contoh negara Spanyol sebagai salah satu negara yang saat ini tengah mengembangkan WTE, maka setidaknya negara tersebut telah mampu menutup 7,42 persen kebutuha energi lisrik nasional dari WTE ini. Data tersebut diambil dari salah satu jurnal yang dimuat pada tahun 2010.

Indonesia sendiri saat ini tengah melakukan percepatan produksi WTE dengan melaksanakan pilot project atau proyek percontohan di tujuh kota besar di Indonesia. Rida Mulyana selaku Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) menyatakan bahwa ini merupakan salah satu bukti konkrit pemerintah akan diberlakukannya Kesepakan Paris pada Konferensi Perubahan Iklim (COP) yang ke 21. salah satunya dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan melalui program percontohan WTE pada tahun 2017 atau paling lambat 2018.

Adapun tujuh kota yang dimaksud dalam upaya percepatan pilot project adalah DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Makassar yang mana jakarta akan mengembangkan 4x10 MW dan enam kota lainnya akan mengembangkan masing-masing 10 MW. Hal itu sesuai dengan Peraturan Presiden No 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang telah diresmikan presiden Joko Widodo pada 13 Februaru 2016. Realisasi dari program ini akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di setap kota.

PLTSa sendiri sebenarna memiliki berbagai macam resiko saat operasionalnya, hal itu dikarenakan sistem thermal yang dianut dalam proses pengolahan energi ini yang tidak jauh dari proses dari PLTU. Adapun permasalahan yang timbul adalah sisa hasil pembakaran dari proses tersebut yang dapat merusak kesehatan. Setidaknya terdapat 6 LSM dan 15 orang yang menggugat Peraturan Presiden No 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah ke Mahkamah Agung (MA) . Hal tersebut bertentangan dengan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tuntutan tersebut akhirnya dikabulkan oleh MA dari 6 LSM dan 15 orang tersebut akhirnya dikabulkan oleh MA seperti yang dilansir oleh Mongabay.

Mengunjungi Pengolahan Limbah Plastik Menjadi Bahan Bakar Solar di Yogyakarta

Pada bulan Juni-juli lalu, saya dan teman-teman kelompok mata kuliah Konversi Limbah Menjadi Energi kebagian untuk melakukan survei ke salah satu pengolahan energi sampah plastik yang katanya dapat dirubah menjadi bahan bakar solar. Saat itu saya bertemu dengan pak Kusnadi selaku penggerak dari ide tersebut yang dia kerjakan secara sukarela. Saat itu, survei yang kami laksanakan kalau tidak salah sekitar dua atau tiga kali.

Lokasi dari tempat survei tersebut berada tepatnya di Dusun Rejosari, Desa Jogotirto yang terletak di Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alat dalam teknologi yang digunakan terdiri dari dua tabung utama, tabung pertama berisi sampah limbah plastik yang dibakar dan tabung ke dua berisi air yang di dalamnya terdapat pipa hasil pembakaran dari tabung pertama. Tabung atau reaktor ini memilki kapasitas 5 kilogram dan berbahan stainless steel yang berketebalan 2 mm.

Di sana, Pak Kusnadi juga mencoba menjelaskan kepada kami tentang prinsip dasar bagaimana alat tersebut dapat bekerja. Adapun proses kerja dari reaktornya sendiri dimulai dengan memasukkan timbunan sampah plastik ke dalam reaktor berupa sebuah tabung dengan tutup yang rapat. Sementara, tabung lainnya diisi air hingga volumenya hampir penuh. Setelah itu, kompor dinyalakan dengan suhu kurang lebih suhu 400 derajat celcius.

Selang 15 menit, hasil berupa cairan minyak mulai menetes dari pipa dan ditampung dalam botol plastik. Setelah ditunggu selama dua jam atau tidak ada lagi cairan minyak yang diproduksi, kompor kemudian dimatikan. Selanjutnya ditunggu sampai alat berangsur dingin lalu dikeluarkan semua arang sisa pengolahan.

Gambar reaktor yang digunakan oleh pak Kusnadi (Sumber: Dokumnetasi pribadi)

Dengan alat yang digunakan sekarang, beliau mengatakan bahwa hasil yang didapat yaitu berupa solar yang hanya 2 Liter dari 5 kg sampah plastik dan sayangnya itu tidak cukup untuk menutupi biaya produksi yang dikeluarkan karena hasil yang didapat terlalu sedikit.

Dia juga menambahkan bahwa alat yang dia buat adalah masih dalam proses pengembangan atau penelitian. Dia berharap alat yang digunakannya dapat dikembangkan lebih besar lagi sehingga nantinya ketika sudah beroperasi dengan skala yang besar, biaya yang dikeluarkan akan bisa ditekan dan akan mendapatkan keuntungan yang diharapkan.

Foto saya dan teman-teman saat mengunjungi pengolahan limbah plastik menjadi bahan bakar solar di Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Dari kanan ke kiri, pak Kusnadi, Faldi, Alfin -saya sendiri- , Haryo, prisca, dan Pak RT setempat) (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

www.esdm.go.id

#15Hariceritaenergi

--

--