Mengenal 3 Potensi Energi Baru dan Penerapannya di Indonesia

Alfin Fadhilah
5 min readAug 23, 2017

--

Sumber : Wall Street Oasis

Pada hari ketujuh keikutsertaan saya dalam kompetisi blog #15Hariceritaenergi yang diadakan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saya akan membahas tentang potensi energi baru di Indonesia. Kemarin, saya mendapat masukan dari salah seorang kaskuser -sebutan untuk pengguna Kaskus- untuk lebih menyoroti potensi energi baru di Indonesia. Dia beranggapan bahwa thread yang selama ini diisi dari teman-teman yang mengikuti lomba dari Kementerian ESDM lebih banyak menyoal energi terbarukan yang sudah umum diketahui banyak orang tapi kurang menonjolkan energi baru, karena Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ada kata B di dalamnya. Sebenarnya, saya telah mempersiapkan juga tulisan terkait apa yang disebutkan oleh kaskuser itu beberapa hari sebelumnya, tetapi masih dalam draft untuk penulisan. Oleh karena sudah ada yang menagih, tak apa rasanya saya lanjutkan dalam proses penulisan yang mana akan dibahas pada tulisan hari ini.

Apa energi baru itu? Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014, energi baru adalah energi yang berasal dari sumber energi baru. Adapun sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru, baik berasal dari sumber energi terbarukan maupun sember energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), dan batubara tergaskan (gasified coal). Setelah mengetahui pengertian di atas, didapat bahwa pengertian energi baru sebenarnya adalah energi yang bisa jadi berasal dari energi bersih atau bahkan energi fosil, tetapi dihasilkan oleh teknologi yang baru. Kata baru sebenarnya juga kata yang subjektif, tidak ada angka pasti untuk merujuk suatu energi dapat disebut baru atau usang. Tapi, kita kerucutkan saja pada jenis energi yang baru-baru ini sedang dikembangkan secara massal dan mugkin masih terdengar asing di telinga beberapa orang. Berikut adalah tiga Potensi energi baru.

  1. Gas Metana Batubara

Gas metana batubara atau Coalbed Methane (CBM) adalah gas alami atau natural gas yang terdapat di dalam endapan dari batubara. Gas metana batubara juga disebut sebagai unconventional hydrocarbon (hidrokarbon non konvensional) karena keberadaan sumbernya berada di alam dan beberapa sifat fisiknya berbeda dengan minyak dan gas konvensional yang ada. Secara geologis, pada umumnya hidrokarbon non konvensional terbentuk dan terjebak langsung di source rock (batuan asal). Sedangkan hidrokarbon konvensional (minyak dan gas yang kita kenal sekarang ini) setelah terbentuk di source rock bermigrasi dan terjebak di lapisan batuan sedimen.

Perbandingan kedalaman sumur CBM dan Gas Bumi (Sumber:Dirjen Migas)

Cadangan CBM Indonesia berada pada peringkat di seluruh dunia, seperti yang dikatakan oleh Dirjen Kementrian (ESDM) pada 2011 yaitu Evita Herawati Legowo, dilansir finance.detik.com Setidaknya ada 453 triliun cubic feet (TCF) potensi yang dapat dimanfaatkan. Evita menyebutkan data tersebut diperoleh dari Laporan Advance Resources International pada 2003. Berikut persebaran potensinya di Indonesia.

Sebaran dari potensi CBM di seluruh Indonesia (Sumber: Advance Resources Internasional)

Pada tahun 2015, seharusnya Indonesia telah mampu memproduksi 500 MMSCFD CBM. Namun kenyataannya pada 2014, dilansir CNN, Indonesia hanya mammpu memproduksi tidak lebih dari 2 metrik standar kubik kaki per hari (mmscfd) dari total 500 smcf. Hal itu dikarenakan ulitnya Perijinan karena lintas Kementerian dan instansi. Ditambah persoalan pembebasan tanah karena eksplorasi CBM itu butuh lahan yang besar. Selain itu, keuntungan yang didapat juga tidak terlalu mecolok mengakibatkan proyek ini sulit terealisasi seperti yang dialami pertamina sehingga harus melepas delapan blok gas metana batubara. Berikut adalah road map dari perkembangan CBM di Indonesia.

Road map dari rencana pengembangan CBM di Indonesia (Sumber: Dirjen Migas,2011)

2. Reaktor Daya Eksperimental

Reaktor daya eksperimental (RDE) adalah reaktor nuklir yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik, pembangkit panas dan untuk memproduksi hidrogen. Karena sifatnya yang eksperimental maka pengoperasian reaktor nuklir tersebut lebih banyak untuk tujuan percobaan dalam meningkatkan penguasaan teknologi.

Pada 2014, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengajukan pembangunan RDE berdaya 10 MW dengan daya listrik 3–4 MW kepada Bappenas. Hal ini sesuai dengan Rencana Jangka Menengah Nasional (RJMN) 2015–2019 Bappenas yang menyatakan perlunya dibangun PLTN berskala kecil. Setahun kemudian, konsep pembangunan RDE telah rampung disusun. RDE akan dibangun di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong berdekatan dengan Reaktor Serbaguna GA Siwabessy (RSG-GAS) 30 MW yang telah beroperasi sejak 1987.

Saat ini, Batan telah mengantongi izin untuk mendirikan RDE di Serpong tepatnya pada 23 Januari 2017. Targetnya, reaktor riset ini dapat beroperasi di tahun 2022–2023.

Lokasi pembangunan reaktor nuklir Reaktor Daya Eksperimental (RDE) BATAN di kawasan puspiptek Serpong. Foto : Batan

Tetapi, pembangunan RDE ini memiliki penolakan dari berbagai pihak karena dampak negatif yang dihasilkan. Dikutip Mongabay, Thamrin School, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mendesak pemerintah segera membuka ruang dialog yang sebesar-besarnya dengan pemangku kepentingan dan menyiapkan proses konsultasi publik terkait dengan rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Fabby Tumiwa saat itu mengungkapkan bahwa keamanan akan PLTN ini patut dipertanyakan karena dampak dari energi nuklir akan bertahan dalam jangka waktu yang lama dan akan merugikan masyarakt sekitar.

3. Batubara Cair

Dengan melimpahnya komoditas batubara di seluruh dunia, harga batubara sendiri di pasar internasional mengalami penurunan. Oleh sebab itu, untuk membuat harga tersebut dapat naik dan memiliki nilai jual tinggi tentu dibutuhkan inovasi dalam pemrosesannya salah satunya dengan mengubah batubara padat menjadi cair sekaligus juga dapat meningkatkan kualitas dari batubara tersebut. Pada 1983, New Energy Development Organization (NEDO), berhasil mengembangkan suatu teknologi pencairan batubara bituminous dengan menggunakan tiga proses, yaitu solvolysis system, solvent extraction system dan direct hydrogenation to liquefy bituminous coal. Berikut adalah skema dari proses tersebut untuk lebih lengkapnya.

Filosofi Pengembangan Batubara Cair pada Proses NEDO Liquefaction (NEDOL) (Sumber : rossysw.staff.gunadarma.ac.id)

Di Indonesia sendiri, pengembangan batubara cair dimulai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2006 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang Dicairkan Sebagai Bahan Bakar Lain. Dilansir dari blog Mahasiswa Ketenagalistrikan Universitas Gadjah Mada (Magatrika UGM), disebutkan bahwa perusahaan Sugico Mok Energy tertarik untuk menjadi investor untuk pengembangan di Sumatera Selatan dengan menggunakan sistem hidrogenasi. Selain itu, Pemerintah juga berencana bekerja sama dengan Sasol yang berasal dari Afrika Selatan, salah satu perusahaan yang bergerak pada bidang batubara cair pada awal tahun 2010.

www.esdm.go.id

#15Hariceritaenergi

--

--