30. Stand and Survive
— from Like We Just Met
Pagi tadi Aluna bangun dengan sebuah misi. Misinya sederhana, mengunjungi beberapa tempat dari daftar yang sudah dibuatkan oleh Makaio sebelum kelas-kelas di program pascasarjana memenuhi daftar di buku jurnalnya. Minggu depan ia resmi menjadi mahasiswa S2 program Creative Writing di University of Leeds. Kecintaan gadis itu pada petualangan, buku, dan kisah romansa penuh tragedi membawanya pada program tersebut.
Gadis itu menggulung alas piknik yang dibawanya dari rumah, sekaligus melepas jaketnya. Cuaca di Inggris sangat aneh. Siapapun juga, jangan pernah mempercayai aplikasi ramalan cuaca, sekalipun aplikasi tersebut mendapat ulasan paling banyak di toko aplikasi!
Di Inggris, mendung dan cerah beradu. Keduanya berebut ingin menarik perhatian semua makhluk yang ada di bawah mereka, seperti hari ini. Tadi pagi Aluna keluar apartemen dalam balutan jaket puff-nya. Namun, lihat saja ulah langit di atasnya itu. Bukannya kelabu, sekarang warnanya malah menjadi biru, warna yang jarang muncul di bulan Oktober.
Sayangnya, langit biru di atas sana tak pernah bisa mengaburkan mendungnya bangunan-bangunan berbahan batu cokelat yang mulai menghitam dimakan waktu. Mereka mungkin sudah ada sejak abad delapan belas. Jika bangunan-bangunan di depan Aluna bisa berbicara, mungkin kini mereka sedang mengeluh, lelah memperhatikan manusia dengan segala huru-hara kehidupannya. Namun, gedung-gedung tua itu memilih tetap berdiri dan melakukan tugasnya, bertahan.
Seperti Aluna yang tersihir oleh namanya sendiri, hatinya mengalun, membawanya hingga ke Inggris. Alasannya mungkin sama dengan ribuan orang yang datang dan menetap di sana — atau dengan bangunan yang tetap berdiri meski sudah lapuk. Bertahan. Kabur, mungkin juga termasuk.
Seharusnya hidup Aluna sempurna. Seharusnya memang begitu. Ia punya apapun yang bisa diimpikan gadis-gadis seumurannya; bisnis yang sukses, tabungan, investasi, mampu membeli apapun yang ia inginkan jika ia mau, dan pasangan yang setia. Poin terakhir ini perlu digarisbawahi. Setia, seharusnya. Namun, laki-laki brengsek itu memilih berselingkuh dengan orang terdekat Aluna, temannya sendiri, seseorang yang selalu membuntuti Aluna dan Seana kemanapun mereka pergi.
Lucu memang. Aluna yang menyukai petualangan, novel klasik, dan kisah romansa yang berakhir tragis, justru merasakan kisah itu bahkan tanpa harus menamatkan sebuah buku.
Begitulah. Selain dalam rangka kabur dari ekspektasi keluarga besarnya tentang kapan ia akan menikah di umurnya yang sudah dua puluh lima tahun–kutukan dua puluh lima, Aluna berhasil diterima di kampus impian mantan kekasihnya yang berselingkuh itu. Balas dendam paling elegan kalau kata sahabatnya, Seana. Untungnya, kurikulum di Leeds memang sesuai dengan minat studinya. Jadi sekalian saja ia melanjutkan studi, sembari kabur dari ekspektasi orang-orang, serta bertahan demi menyembuhkan lukanya. Di sebuah kursi cokelat yang mulai dihinggapi daun-daun berguguran, Aluna menatap kosong ke depan. Kalau biasanya ia melamun sambil memikirkan hidup, kali ini kepalanya dibiarkan kosong, membiarkan sore itu mengalun saja seperti namanya.