Kisah Tentang Pulang (Ruang Acak)

Sebuah cerita dari orang yang selalu merindukan rumah.

Alliefah Nabila
4 min readAug 18, 2023
Rumah (Foto: Dokumen Pribadi)

Bulan Juli, menandakan libur semester 4 sudah di depan mata. Anak rantau akan kembali pulang ke rumah masing-masing. Bertemu keluarga, teman, dan tempat-tempat menyenangkan yang hanya ada di kota kelahirannya. Kemungkinan besar, banyak orang menantikan hal itu, termasuk diriku.

Libur yang ku nantikan membuatku tidak sabar untuk segera memesan tiket keberangkatan dari Purwokerto ke Kiaracondong. Aku tahu, liburan kali ini akan berbeda dengan liburan semester sebelumnya sebab aku mengikuti sebuah kepanitiaan yang agendanya dimulai pada akhir Juli. Aku sudah siap bila harus diminta berangkat kembali ke Purwokerto dan memangkas jatah libur 2 bulanku. Namun dalam pikiranku, aku masih bisa merasakan libur 3 minggu atau paling lama 1 bulan. Sampai akhirnya, pesan pengumuman di grup whatsapp membuat angan-angan tentang liburan yang sudah kunantikan melebur entah kemana.

Pesan tersebut menyatakan bahwa kami harus sudah kembali pada tanggal 10 Juli. Agaknya aku sedikit tidak bisa bicara dan bingung mau mengetik apa. Liburan yang sudah sedikit ternyata makin terkikis, bahkan belum genap 2 minggu sejak libur semester dimulai. Aku tahu bahwa ini sudah konsekuensi yang harus aku jalankan ketika memegang tanggung jawab, namun rasa enggan karena tak bisa berlama-lama di rumah tetap tidak bisa dipungkiri. Mungkin begini lah rasanya jadi seseorang yang selalu menantikan pulang.

Ada sedikit hal menarik mengenai diriku dan cerita tentang pulang. Dulu waktu awal menjadi mahasiswa rantau, aku sama sekali tidak ingin pulang ke rumah. Rasanya lebih baik menghabiskan waktu liburanku dengan berdiam diri di Purwokerto sambil mencari kegiatan yang dapat ku lakukan. Sejak awal aku tidak mengerti apa makna rindu yang orang-orang sekitarku gaungkan. Sempat heran mengapa banyak temanku menangis ingin pulang karena rindu keluarga padahal baru 1 minggu sejak kedatangan mereka di Purwokerto, bahkan ada yang menangis tiap hari dan sampai tumbang. Pada saat itu aku merasa keren karena sama sekali tidak merengek ingin pulang atau merindukan orang rumah.

Waktu berlalu, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan berganti. Kesenangan menjadi anak rantau mulai menyurut seiring rasa kesepian ketika sendirian di kost tanpa kegiatan. Anganku mulai terbang pada momen ketika keluargaku berkumpul di meja depan sambil makan camilan di pagi atau sore hari. Obrolan ringan penuh candaan selalu berhasil menghangatkan suasana. Betapa hal-hal sederhana kala itu terasa sangat berharga ketika di perantauan.

Keinginan untuk pulang semakin menggebu tatkala bulan Ramadhan menghampiri. Keharusan mencari sahur dan bukaan sendiri membuatku sadar bahwa dulu puasaku begitu nyaman sebab semua sudah disiapkan oleh orang rumah, terutama mamah. Kadang bosan makan dengan lauk yang itu-itu saja di warung nasi langgananku. Mau masak tapi apa daya diri ini tak sehandal itu. Akhirnya aku semakin rindu masakan rumah. Dari saat itu, prinsipku berubah menjadi ‘kalau bisa pulang, lebih baik pulang’.

Hal lain yang selalu aku rindukan adalah teman-teman berharga yang tak bisa digantikan. Mereka yang membuat hidupku penuh warna. Semakin tersadar — lagi-lagi karena merantau — bahwa tak ada yang lebih mampu membuat nyaman selain mereka. Bahkan, tiap aku menemukan permasalahan dan jalan buntu di perjalanan kehidupanku. Aku tidak ragu untuk menanyakan pendapat mereka, meskipun kami jarang bersua tapi mereka masih mau menerima cerita dan keluh kesahku. Aku sangat bersyukur atas hal itu.

Baru saja aku whatsapp Tanti untuk meminta sudut pandangnya tentang kerisauan yang aku rasakan. Jawabannya menenangkan. Aku jadi sadar bahwa semua orang pernah berada di fase itu. Dan aku juga tahu bahwa tak seharusnya aku melakukan hal yang membebankan diri sendiri. Kalimat paling membekas dari perbincangan malam ini adalah …

Pesan dari Tanti yang membekas dan akan aku jadikan pengingat (Foto: Dokumen Pribadi)

Aku sadar betul bahwa aku selalu menantikan pulang karena mereka. Karena orang-orang paling berharga di hidupku. Perasaan-perasaan bersyukur yang tak tergantikan selalu menuntunku pada jalan pulang. Ketika tersesat dan merasa dunia gelap — entah kenapa — mereka selalu mampu memberi secercah penerang agar aku bisa kembali melihat jalan. Untuk keluargaku, teman-teman, dan semua orang yang aku sayang, terima kasih telah menjadi alasan untuk pulang. Kisah, kasih, cerita, dan perjalanan bersama yang begitu hangat dan indah untuk dikenang. Aku harap, aku pun bisa menjadi sosok yang berharga di kehidupan kalian. Doa baik selalu terpanjatkan.

Rumah bukan tentang bangunan, melainkan tentang orang-orang di dalamnya.

— with love, Alliefah Nabila —

--

--