Ngajar Ngaji di Desa Pengabdian Embung Kandong

actaest.ma
4 min readDec 8, 2023

--

Hari penutupan kampung kreasi

Aku sendiri sebenarnya ga percaya dengan pengalaman pertamaku berorganisasi sebagai maba. Berawal dari iseng coba daftar magang BEM Univ. Eh, sialnya malah keterima di Kementerian Sosial Masyarakat (SosMas). Rumah pertamaku diawal kehidupan perkuliahan. Kalau ngomongin ngatur waktu, sepertinya tahun pertama kuliah masih lancar-lancar aja. Bisa jadi karena banyak hal-hal pertama dan ga pernah terbayangkan sebelumnya bisa aku lakukan. Jadi, bisa dibilang tahun pertama itu masih easy to manage and stresless.

Malam penutupan! First college event in my life

Salah satu kegiatan di weekend terakhir sebelum malam penutupan mulai dari bantu warga desa cara buat pupuk organik dari limbah daun jagung yang banyaaak banget dan belum diolah secara maksimal.

motong daun jagung, ngeri banget pake parang wkwk

Setelah bantu-bantu motongin daun-daun ini, kami (anak-anak BEM) diajak buat ikutan acara maulidan di salah satu masjid di tengah desa. Disana ga sempat foto-foto karena alat elektronik disimpan di kantor desa. Sisanya ngomong sama anak-anak perempuan asli desanya. Walaupun yang banyak ngomong sebenernya kating aku sih, aku cuma nyimak aja.

Aku agak bingung untuk menjelaskan cerita ini. Jadi mari memulainya dari.. di Lombok sendiri angka pernikahan dini masih cukup lumayan tinggi. Kebanyakan anak-anak daerah setelah lulus SMA langsung menikah. Kebetulan dua perempuan yang kami ajak ngobrol ini sudah menikah dan bawa anak-anaknya juga ke masjid. Sebenarnya kisahnya agak menyayat hati, apalagi aku yang mendengarnya sebagai seorang perempuan. Kedua kakak itu harus menjalani kehidupan pernikahan yang terbilang cukup tidak ideal, pasalnya suami mereka harus merantau ke luar negeri (Malaysia) diawal masa pernikahannya. Aku tidak bisa membayangkan seberat apa harus mengurus bayi seorang diri dan suamiku terpaksa harus bekerja ditempat yang jauh.

Waktu itu usiaku masih 18 tahun, melihat kehidupan pernikahan seperti ini membuka mataku untuk benar-benar menyiapkan banyak hal sebelum memutuskan untuk menikah. Selain dari segi ekonomi, aku juga harus menyiapkan diri secara emosional untuk perubahan-perubahan yang mungkin terjadi kedepannya.

Acara maulidannya ga sampai maghrib, sekitar jam setengah 6 sore kami kembali lagi ke kantor desa (basecamp) untuk siap-siap maghrib berjamaah dan ngajar anak-anak desa mengaji. Kali ini, masjidnya cukup dekat jadi tinggal jalan 10 menitan. Lagi-lagi aku ga foto apa-apa karena hemat daya ponsel. Adik-adiknya cukup ramai dan kita dapat kesempatan ngajarin mereka satu anak satu kakak yang ngajarin. Aku sendiri waktu kecil belajar ngaji di TPA, jadi kalau untuk menyimak benar salahnya bacaan masih aman. Beberapa hal yang cukup membuatku sedih, adik-adik ini masih banyak banget salah cara ngucapin lafaz hurufnya dan emosian :’ Ada beberapa yang dibenerin dan mau nurut, ada juga yang pengen cepet-cepet selesai yaa macam-macam deh. Ada yang excited pengen disimak, ada yang “buru ah” hahah

Setelah isya’ kita balik lagi ke basecamp untuk istirahat karena besok masih ada kegiatan pagi dihari minggu, yaitu ngajarin adik-adik ini Bahasa Inggris dan Matematika.

belajar perkalian wups!

Adik-adiknya udah pada pinter, kok. Banyak yang bisa ngerjain. Disini aku kembali lagi dilihatkan dengan pentingnya rasa syukur dan kenikmatan-kenikmatan yang aku rasakan selama ini.

Di depanku ada salah satu adik yang lututnya luka sampai bernanah, dan ga diobatin. Sedih banget liatnya karena itu pasti sakit. Walaupun bisa sembuh sendiri tapi bisa nyebabin infeksi kalau terus-terusan didiemin. Aku juga gabisa terlalu berbuat banyak karena keterbatasan P3K :(

Dihari lainnya, biasanya anak-anak datang di sabtu-minggu buat isi kegiatan desa. Hari itu aku ikut nimbrung ngajarin adik-adik desa ini baca buku. Seruu pisan euy!! Pada lucu-lucu dan berani buat nyeritain hasil buku bacaannya. Seingatku ini sebelum aku ngajar ngaji deh, jadi ga nginep dan sorenya langsung balik lagi ke kota. Btw, waktu tempuh dari desa pengabdian ini ke kota ku sekitar 2 jam. Agak gempor emang bawa motornya :)

salah satu adik yang berani bacain buku di depan kita semua
yaa gini deh kurleb sikon ngajarin adik-adik baca

Tapi aku sadar kalau aja aku gaikut kegiatan ini, aku mungkin ga bakalan pernah ngerasain rasanya ngajarin anak kecil baca, ngitung, bahkan ngaji ditempat yang jauh dari rumah, listrik yang ga selalu ada, rasanya semua kenikmatan selama tinggal di kota baru berasa berharganya sekarang.

Aku ga pernah menyesal mengorbankan waktu sabtu-minggu ku untuk mengabdi di desa pengabdian Embung Kandong. Terima kasih untuk kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik yang memberiku pengalaman rumah pertama dalam kehidupan perkuliahan dan banyak hal baru yang aku pikir aku gabisa eh ternyata not bad lah.

--

--