Editorial

Richard Florida : “Mea Culpa”

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora
Published in
6 min readNov 14, 2017

--

Saya belum bisa melacak dan mengelaborasi sejak kapan gejala ini muncul, tapi setidaknya saya bisa berbicara sedikit tentang penggalan yang terjadi satu dekade terakhir: mencuatnya kelompok pekerja kreatif.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018

Richard Florida adalah kultus tersendiri bagi sebuah realita baru yang mengkooptasi frasa “kreatif”. Buah pemikirannya mendasari kehadiran pojok-pojok dan kelompok-kelompok kreatif di ruang-ruang yang terkoneksi dalam jejaring informasi di era ini. Pada waktu itu, Florida meyakini peran dari kelompok kreatif (yang menurut klasifikasnya terdiri atas pekerja seni, kaum gipsi, penggiat komputer, dan lainnya) sebagai propeller perekonomian. Bagi Florida, karakteristik kelompok-kelompok tersebut memiliki keuntungan tersendiri dalam menggantikan diskurus tenaga kerja industri yang kaku, tidak inovatif dan terlalu textbook, sebab kelompok kreatif lebih fleksibel, toleran, dan kaya akan ide-ide baru.

Asumsi tersebut memang tidak salah sepenuhnya. Sejak terminologi tersebut diformalkan, kedai-kedai kopi, galeri, dan ruang pertunjukan seni menjadi sebuah indikator tersendiri dalam mengukur kemajuan suatu kota/wilayah. Adanya atraksi-atraksi atau focal point di wilayah perkotaan — yang saya pribadi lebih senang menyebutnya sebagai urban cosmetic — menjadi tren yang menjamur. Negara dunia ketiga (sekali lagi saya tidak menyetujui konsep ini, tetapi terpaksa menggunakannya hanya sebagai label) pun berusaha mengadaptasi, bahkan menggunakan resep yang sama dalam pembangunan kotanya.

Harapannya, tentu saja memantik pertumbuhan ekonomi yang dipercaya hadir dari produktivitas kelompok kreatif tersebut. Dalam narasi positivist mengenai ide kelas kreatif dan “kota kreatif” ini, saya berusaha meraba bentuk yang dimaksud dan dicita-citakan. Mungkin saja idenya adalah menghadirkan diskusi-diskusi seru dan membuahkan produk/aktivitas yang bernilai ekonomi sehingga mendorong perekonomian secara luas, bisa dengan transfer pengetahuan, difusi inovasi, atau setidaknya membuka lapangan pekerjaan baru.

Nyatanya, cita-cita tersebut tidak benar-benar hadir di ruang-ruang kreatif tersebut. Jika penemuan Florida saat berusaha mengoreksi “kegagalan berfikir”miliknya ini menunjukan bahwa notasi kreatif tidak membawa apa-apa kecuali pelebaran gap antar kelas ekonomi dan gentrifikasi di berbagai dimensi, gejala-gejala lain muncul dengan bukti empiris yang tidak sedikit. Notasi “kreatif” ini kemudian mendorong perilaku manusia di negara dunia ketiga — atau dalam konteks tulisan ini adalah Indonesia — untuk berperilaku lebih konsumtif. Ide Florida direproduksi menjadi sekedar gimmick-gimmick seperti fancy coffee shop, art gallery, atau taman-taman kota yang justru mendorong mimpi buruk baru perkotaan.

Konsumerisme, Hedonisme dan Justifikasi Perilaku

Argumen ini butuh pendalaman dan elaborasi data yang lebih lanjut. Tapi senada dengan pendapat David Harvey mengenai pergeseran paradigma perkotaan dari industrial managerism menuju entrepreneurialism, pekerja kreatif tidak bisa tidak dikaitkan dengan kegiatan wirausaha, atau dalam bahasa sehari-hari: pebisnis. Jangan kira bisnis yang dimaksud adalah bisnis kelas kakap seperti James Riady, Chairul Tanjung, atau keluarga pebisnis seperti Grup Bakrie. Bisnis yang kerap diasosiasikan dengan notasi kreatif ini adalah bisnis-bisnis kecil yang menjamur. Sayangnya, pertambahan jumlah tidak seiring dengan peningkatan kualitas dan diversifikasi usaha. Hasilnya, tidak ada penambahan nilai dari peningkatan jumlah usaha tersebut.

Sebagai korban dari gimmick budaya yang menjamur ini, saya melakukan pembacaan dan riset kecil-kecilan mengenai hubungan antara notasi kreatif, semangat entrepreneurialism, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tidak berarti. Notasi “kreatif” yang memiliki nilai magis tinggi menjadikannya sebagai “barang dagangan” yang tidak ada habisnya bagi para pebisnis yang telah dijelaskan di atas. Para pebisnis yang modalnya ketat dan kadang kala didapatkan dari hasil mempertaruhkan hidup, menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk menghadirkan “ruang yang dikira kreatif”. Bentuk yang paling kuat adalah gerai kopi. Meski di tengah himpitan jaringan waralaba, gerai kopi adalah sebuah indikator baru dalam menilai kemajuan sebuah kota.

Tidak dapat dihindari, “ngopi di tempat fancy” kemudian menjadi sebuah perilaku baru di wilayah perkotaan. Jika budaya meminum kopi telah lama hadir di kedai-kedai di bilangan pecinan dan biasanya menjadi kebiasaan yang identik pada bapak-bapak dan pegawai kantoran, budaya “ngopi” ini hadir di generasi yang jauh lebih muda dengan bentuk lain, yang sayangnya lebih mahal. Lalu, apa?

Di sini, Florida — menurut saya — memiliki peranan penting. Pemikirannya yang kemudian diamini oleh pengambil kebijakan kota-kota tiers I jejaring kota global, tereplikasi ke seluruh penjuru dunia melalui jejaring globalisasi dan rantai kapitalisme. Jika Florida mengkhawatirkan gentrifikasi dan pelebaran gap di kota-kota “kreatifnya”, maka kota-kota periphery ini memiliki konsumerisme sebagai kekhawatiran yang harus dipikirkan.

Apa yang dihasilkan dari menjamurnya kedai-kedai kopi di hampir seluruh penjuru kota ini? Nilai tambah apa yang dihadirkan oleh keberadaan ruang-ruang tersebut? Jika dianggap memberikan dampak ekonomi berupa rezeki, percayalah nilai tambah ekonomi tersebut tidak lebih dari sekedar rente dari menjual ulang komoditas yang sebagian besar keuntungannya dialirkan ke NY, LDN atau TYO. Kecuali biji kopi yang syukurnya berasal dari kebun kopi lokal, hampir seluruh aksesoris ruang kreatif ini adalah hasil dari mengonsumsi produktivitas wilayah lain. Susu yang diperah dari sapi lokal tapi dilabeli merk orang tua tertawa, mesin-mesin kopi yang entah mengapa tidak bisa diproduksi sendiri, bahkan furnitur yang harus dibeli dari merk tertentu. Semuanya adalah bentuk-bentuk konsumsi yang pengaruhnya tidak signifikan dalam pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, keberadaan “ruang yang dianggap kreatif” ini tentu saja hadir karena keberadaan permintaan (demand). Permintaan untuk ladang bisnis ini, sekali lagi, sebagiannya merupakan buah tangan dari Florida, jika tidak ingin disalahkan sepenuhnya. Tak heran jika kemudian Florida dianggap sebagai neo-liberalis garis keras, meski Florida berada dalam satu barisan yang sama dengan Jane Jacobs. Notasi kreatif ini menjadi sebuah diskursus yang sangat memukau mata generasi muda, namun menghasilkan narasi yang kontra-produktif.

Generasi muda, terutama di negara dunia ketiga, tidak menjadi pekerja kreatif seperti yang diidamkan Florida. Sebaliknya kelompok muda ini menjadi konsumen utama produk-produk yang dilabeli notasi “kreatif”. Lihat saja misalnya di sekolah-sekolah bisnis, banyak sekali merk pakaian, aksesoris atau benda-benda lucu, kedai-kedai kopi, atau resto-resto yang semuanya berumur pendek dan pada dasarnya “sama”. Kelompok usia yang seharusnya bisa mengkreasikan dan memproduksi nilai tambah secara kreatif ini kesulitan dalam berinovasi dan berkreasi sehingga yang mereka (atau kami) bisa lakukan hanya menggonta-ganti merk dan mencatut frasa “kreatif”, “millenials” atau “kekinian”. Sisanya, tak lebih dari sekadar kelompok manusia yang terombang-ambing dalam arus informasi yang luar biasa cepat.

Monopoli Daya dan Akses Kreasi

Bukan berarti kreativitas tidak hadir di kota-kota dan sepenuhnya menjadi landskap yang membosankan, hanya saja daya kreasi itu dimonopoli (atau termonopoli) oleh sekelompok kelas masyarakat saja. Hadirnya art gallery, atau creative-hub memang menjadi sebuah berkah tersendiri. Artis-artis lokal memiliki ruang-ruang untuk berkarya dan meningkatkan intelektualitas, apresisasi, dan pandangan filosofisnya terhadap kehidupan. Hanya saja, kenikmatan ini menjadi privilege bagi kaum berada saja.

Bukannya ruang-ruang tersebut tidak bisa diakses oleh kelompok lain, hanya saja pemaknaan yang tepat guna hanya bisa dilakukan oleh kelompok elite tadi. Sisanya, ruang-ruang tersebut tidak lebih dari sekadar objek foto atau ruang eksistensi sosial. Pencipta tentu saja ada dan karya-karya mereka wajib diapresisasi. Namun, konsumen dari karya-karya mereka bahkan tidak paham sedang mengonsumsi apa. Semuanya karena notasi “kreatif” yang tidak lagi jelas arahnya. Yang memiliki akses tentu bisa senantiasa mendapatkan keuntungan ekonomi, sementara yang lainnya hanya jadi penikmat saja.

Kreatifitas dan Kearifan Lokal

Kreativitas justru menjadi berkah yang tidak main-main di rural area. Tidak muluk-muluk, meski kreasi yang dilakukan “hanya” sebatas menggunakan media sosial untuk berjualan, membuat alat pemotong tempe, atau pembelah bambu, hingga aplikasi pemberian pakan ikan, kreasi yang hadir tepat guna dan tepat sasaran. Tidak ada label-label kreatif, tidak ada lampu kerlap-kerlip atau attire yang menarik hati. Tapi, keberadaan creative class di wilayah perdesaan ini seperti berkebalikkan dengan kelas kreatif di wilayah perkotaan yang sekadar mengonsumsi dan mencari rente saja. Keberadaan creative class mendorong hadirnya kreasi dan inovasi benda-benda yang melipatgandakan nilai perekonomian. Intensifikasi produksi yang sebelumnya bergantung pada industrialisasi dan pemilik modal besar justru terselesaikan dengan hadirnya kelas kreatif di pedesaan ini.

Sebelum Jane Jacobs meninggal, Florida pernah menanyakan pendapat Jacobs mengenai “apa yang seharusnya ia lakukan”. Jawaban Jacobs senada dengan pendapat saya: tidak ada yang salah dengan pemikiran Florida dan tidak seharusnya ia merasa bersalah.

“Richard, you’re a nice guy, but you’re asking the wrong question. It’s not what we should do; it’s about them, the people who live and work in those neighborhoods” — Jane Jacobs

Ide Richard Florida adalah loncatan intelektual yang luar biasa untuk diskursus pembangunan. Hanya saja, kita terlalu clueless untuk memahaminya dan tidak tahu harus mengkreasikan apa, sehingga yang bisa dilakukan hanya minum kopi, menghabiskan waktu, lalu tidak menghasilkan apa-apa. Florida susah payah mengemukakan notasi tersebut, mosok mengaplikasikannya dengan baik dan benar saja kita ndak ada ide?

Referensi

Alvaryan Maulana
Hedonis Perkotaan

--

--