Ku Kejar Dirimu Walau ke Ujung Dunia

Alya Darapuspita
8 min readOct 23, 2023

--

Maya telah membuat keputusan bahwa ia tidak akan bermain golf, tapi Maya akan mengikuti ke mana pun Alex pergi setelah pria itu bermain golf. Mungkin saja tempat yang akan Alex datangi adalah tempat umum terbuka, di mana Maya bisa menempatkan dirinya secara natural berada di tempat yang sama.

Maya meletakkan ponselnya di dashboard mobil setelah membaca pesan dari Anjani.

Maya sudah mendapat info soal mobil yang kemungkinan dipakai oleh Alex. Info tersebut akan memudahkannya untuk membuntuti Alex nanti.

Kini, Maya hanya tinggal menunggu dengan sabar. Maya sengaja memarkirkan mobilnya di dekat pintu exit area golf. Dengan begitu, Maya akan lebih mudah melihat siapa saja yang keluar dari sana.

Waktu rasanya berjalan dengan lambat, dan kepala Maya sempat hampir menghantam stir mobil. Maya mengantuk, tapi ia tidak boleh tertidur.

Maya segera menyemangati dirinya sendiri agar kantuknya hilang.

Menggunakan kedua jarinya, Maya membuka kelopak matanya lebar-lebar.

Ini adalah kesempatan yang cukup potensial, jadi Maya tidak mungkin melewatkannya.

Satu jam pertama, Maya berhasil melewati waktu tanpa tertidur. Sekarang, sudah hampir 2 jam Maya menunggu.

Sekali lagi, kepalanya hampir menhantam stir mobil. Maya menggeleng-gelengkan kepalanya, kali ini ia menepuk nepuk pipinya agar tetap terjaga seperti semula.

“Udah dua jam gue nunggu … ” Maya bermonolog sembari menatap jam yang ada di mobil. Benar, sudah 2 jam Maya menunggu, bahkan lebih.

Maya hampir kehabisan energi, tapi ia tidak akan MENYERAH.

Maya mengarahkan netranya pada pintu exit. Harusnya, dua jam lebih cukup untuk bermain golf.

Penantian panjang Maya akhirnya menemui ujung. Tepat di depan matanya, Maya melihat HRV hitam baru saja melintas. Maya yakin bahwa itu mobilnya Alex. Karena tidak jauh dari sana, tampak teman-temannya Alex yang baru keluar dari area golf. Ada seorang lelaki jangkung yang Maya yakini bernama Keenan, tengah merangkul seorang gadis. Kemudian ada dua orang lelaki lagi yang berkulit lebih putih dari Keenan, tengah menggandeng tangan perempuan mereka masing-masing.

Oh, tidak. Maya jadi fokus pada hal lain. Seharusnya Maya hanya perlu fokus pada Alex, bukan teman-temannya Alex.

Maya segera tersadar dan memanuver mobilnya untuk meninggalkan parkiran. Maya harus mengikuti mobil Alex dan tidak boleh sampai kehilangan jejak.

Mobil HRV hitam dengan nomor plat B 4283 SLX yang diikuti oleh Maya rupanya memasuki sebuah mall.

Mall tersebut sangat dekat dengan Pondok Indah Golf, hanya beberapa kilometer saja.

Pondok Indah Mall, di sini lah sekarang Maya membawa dirinya. Karena ini weekend, tentu saja mall tersebut ramai pengunjung.

Maya sudah menduganya, dan benar saja, ia kesulitan mendapat parrkiran. Kalau Alex mudah mendapatkannya, karena pria itu menggunakan kartu member VIP. Maya baru ingin membayar valley parking, tapi ternyata percuma. Valley parking juga sudah penuh.

Ini gila. Maya sungguh susah mendapat parkir. Maya perlu waktu sekitar 30 menit untuk akhirnya mendapatkan parkir. Itu pun, Maya dapat di area parkir PIM 3, di mana jauh sekali dengan mall utama.

Gara-gara mencari parkir, Maya jadi kehilangan jejaknya Alex.

Perjuangan Maya belum cukup sampai pada mencari parkiran, tapi juga saat memasuki mall. Gedung mall itu besar sekali, Maya tidak memiliki ide harus melangkah ke mana untuk menemukan Alex.

Maya pun segera memutar otak. Ia tiba-tiba kepikiran toko buku. Mungkin saja Alex ke sana.

Maya langsung memutuskan ke toko buku. Maya perlu berjalan cukup jauh dan menaiki eskalator dua kali, baru ia sampai di toko buku.

Namun, ternyata sosok yang dicarinya tidak ada. Maya belum menyerah, ia pergi lagi ke toko sepatu pria atau toko alat olahraga. Berharap kali ini berhasil, tapi tidak juga.

Tidak nampak sosok Alex sejauh matanya memandang.

Maya merasakan napasnya berhembus naik turun. Sepertinya, Maya dehidrasi dan ia butuh air. Kerongkongannya terasa cukup kering. Tidak terasa, sudah hampir 30 menit sendiri Maya mengelilingi mall hanya untuk mencari Alex.

Maya sedikit menyerah dan membiarkan nantinya takdir yang menentukan. Jika Maya diizinkan bertemu Alex hari ini, pasti akan bertemu, entah bagaimana pun caranya.

Maya berjalan menuju food court di lantai 3, ia akan membeli air mineral di sana.

Baru beberapa langkah Maya berjalan, netranya menangkap sosok yang tampak familiar.

Maya melihat Alex tidak jauh darinya dna baru saja melewatinya beberapa meter.

Baiklah, katakan salam perpisahan pada air mineral. Maya memiliki hal yang lebih urgent untuk dikejar.

Dengan dahaga yang masih menggelayuti kerongkongannya, Maya secara perlahan mengikut langkah Alex. Tentunya, agar tidak ketahuan kalau ia tengah membuntuti seseorang.

Ternyata, Alex baru saja keluar dari toko alat olahraga di mall yang satu lagi, karna mall itu ada 3 bagian, tapi digabung menjadi 1 area.

Langkah Alex membawa Maya mengikutinya ke sebuah supermarket yang mostly menjual buah-buahan segar dan berkualitas. Harga buah di sini tentu saja lebih mahal dari buah biasanya yang Maya temui di pasar tradisional.

Namun, Maya sudah terlanjur masuk ke tempat itu, jadi akan terlihat aneh kalau hanya melihat-lihat saja. Jadi, Maya akan membeli sesuatu, paling tidak satu produk.

Maya belum bertemu dengan Alex di supermarket itu. Maya dengan santai berjalan ke area rak susu, karena ia ingin mengambil susu full cream dan kopi.

Ketika Maya melihat kopi Nescafe Gold menyempil di antara merk-merk kopi lainnya, Maya langsung teringat pada Alex. Maya ingin mengambil kopi itu, tapi tangannya tidak sampai karena letaknya cukup tinggi.

Maya spontan berjinjit, sampe akhirnya ada seseorang yang membantunya mengambilkan benda itu.

Oh, paling mas-mas supermarket, begitu batin Maya.

Setelah diambil, Maya akhirnya menoleh untuk melihat orang di sampingnya itu.

Kedua mata Maya sukses melotot ketika mendapati siapa orang yang kini ada di sampingnya dan sedang memegang kopi Nescafe yang tadi akan diambilnya.

Orang itu, lebih tepatnya, pria itu adalah Alex.

Ya, Alexander Damario. Pria yang sejak tadi Maya buntuti.

Alex tampak santai, dan berikutnya menyodorkan kopinya ke arah Maya.

“Kamu mau ambil ini, kan?” tanya Alex.

“Eh, iya. Makasih ya, Pak.”

Alex hanya mengangguk, tapi kok Maya melihat Alex sedikit senyum. Maya tampak heran. ANJRIT KOK GANTENG. LAH EMANG GANTENG MAY, LO BUTA SELAMA INI?

Setelah adegan Alex membantu Maya mengambil kopi di rak, Maya berusaha untuk membuka topik lebih dulu. Maya tidak ingin perjalanannya ke sini berakhir sia-sia dan tidak ada interaksi antara dirinya dengan Alex setelah ini.

“Biasa ke sini juga Pak kalau belanja?” tanya Maya sembari berjalan di samping Alex.

“Oh engga, kebetulan aja ke sini. Kamu sendiri habis dari mana? Sendirian aja?”

“Iya, sendiri aja. Tadi saya habis ... ” Maya gelagapan untuk menjawab pertanyaan yang satu itu.

Namun, secepat kilat Maya berusaha mengendalikan diri.

“Tadi saya habis cari buku Marketing di toko buku PIM 1. Di sini kan lumayan lengkap ya harusnya, tapi saya udah cari ternyata nggak ada juga,” Maya mengatakannya dengan lancar.

Padahal lo ke sini untuk nyari Alex. Hahahaha. Suara di dalam kepala Maya seolah tengah menertawakan kebohongannya.

“Ohh … emangnya lagi cari buku apa?” Alex bertanya lagi.

MAMPUS.

“Itu Pak … bukunya Dale Carnigie yang judulnya How to Win Friends and Influence People,” ujar Maya asal sebut saja, tapi untungnya buku itu masih berkaitan dengan Marketing.

“Itu emang udah langka bukunya.”

Obrolan Maya dan Alex yang berlanjut itu, tidak sadar sampai membawa mereka ke kasir. Maya sudah selesai belanja, jadi ia akan membayar. Begitu juga dengan Alex, pria itu sudah selesai memilih buah-buahan yang ingin dibeli.

“Selain buku itu, alternatifnya kamu butuh buku apa?” Alex bertanya pada Maya sembari menatapnya. Maya berada di depan Alex, ia membayar lebih dulu sementara Alex di belakangnya, akan membayar setelah Maya.

“Buku tentang marketing yang pendekatannya lebih ke bisnisnya, Pak.”

“Hmm … saya ada rekomendasi. Judulnya This is Marketing. Kamu tau buku itu?”

“Oh iyaa. Saya tau Pak.”

“Bukunya emang udah lumayan susah juga dicari. Tapi saya punya, kalau kamu mau minjem, saya bisa pinjemin,” ujar Alex.

Maya sontak bingung, mengapa Alex baik sekali? Kok jalannya terasa mulus. Nggak, pasti ini belum seberapa. Masih banyak rintangan yang harus Maya hadapi di depan.

Maya justru terbengong. Alex lantas menatap Maya dan menyadarkan Maya yang bengong dengan menggerakkan tangannya di depan wajah gadis itu.

“Saya bayar belanjaan dulu ya, kita omongin lagi habis ini.” Ucapan Alex memutus kontak mata mereka.

Maya berikutnya hanya mengangguk canggung, lalu ia bergeser agar Alex bisa membayar belanjaannya.

Sekilas, Maya mendapati Alex tertawa kecil dan kemudian menahan senyumnya.

Aduh, Maya membatin dalam hati. Apa yang membuat Alex tertawa? Apakah tingkahnya Maya yang tadi sempat bengong? Mayaaaa kenapa lo ceroboh banget, jerit batinnya. Pasti wajahnya tampak tidak bagus tadi saat bengong, makanya Alex sampai tertawa.

Maya masih berdiri di tempatnya dan menunggu Alex selesai. Tidak butuh waktu yang lama, sampai akhirnya Alex selesai dengan urusan membayar belanjaan.

“Kamu habis ini langsung pulang?”

Alex dan Maya sudah berjalan keluar dari supermarket.

“Iya. Bapak juga? Parkir di mana Pak?”

Maya basa-basi saja bertanya, padahal sebenarnya ia sudah tahu Alex parkir di mana.

“Saya juga langsung balik. Saya parkir di basement satu PIM 2, VIP parking.”

“Ohh kebetulan saya parkir deket situ juga, deket Food Hall,” jawab Maya.

Berakhirlah Alex dan Maya berjalan ke parkiran bersisian dengan alasan ingin membicarakan buku This is Marketing.

PADAHAL Maya tidak parkir di dekat Food Hall. Namun, entah bagaimana caranya nanti, yang penting Maya memiliki waktu sekitar 5 menit untuk ngobrol dengan Alex selama berjalan menuju parkiran.

Maya ingat, dosennya sewaktu kuliah pernah bilang bahwa manfaatkan waktu sesedikit apa pun untuk mendapatkan hati klien dan meyakinkannya. It’s called the AHA Moment.

“Beneran saya bisa pinjem bukunya Pak?” tanya Maya.

“Iya, bisa. Nanti saya kirim bukunya ke kamu.”

“Eh nggak usah repot-repot Pak. Biar saya aja yang ke kantor buat ambil. Gimana?”

LAGI dan LAGI Maya memanfaatkan keadaan, sekecil apa pun kesempatannya.

Alex tampak berpikir sesaat, tapi tidak lama berselang, pria itu berakhir menyetujuinya.

“Yaudah. Boleh. Nanti kamu dateng aja ke kantor.”

Begitu akhirnya langkah mereka sudah sampai di mana Alex memarkirkan mobilnya, Maya bertanya, “Belanja buah sebanyak itu untuk siapa Pak?”

Alex spontan menatap belanjaan di tangannya. “Ohh, ini buat Mama saya. Beliau udah sehat lagi, kemarin habis keluar dari rumah sakit.”

OH. Maya langsung teringat. Namun, Maya belum bicara lagi, Alex sudah lebih dulu melanjutkan omongannya. “Kemarin yang di rumah sakit itu Mama saya.”

Berikutnya, hening. Alex belum masuk ke mobilnya, Maya juga belum berlalu dari hadapan Alex.

Maya tatapannya tampak khawatir, dan Alex peka akan itu.

“Beliau udah baik-baik aja sekarang,” ujar Alex.

Spontan Maya tersenyum. Duh aneh banget, Maya merasa agak menyesal setelahnya. Namun, itu hanya reaksi naturalnya saja.

“Syukur deh kalau gitu Pak. Saya lega dengarnya.” Maya akhirnya berucap demikian, agar tidak terkesan terlalu kaku dan aneh.

Sebelum Maya benar-benar pergi dari sana, tanpa disangka, Alex meminta nomornya.

“Saya perlu ngabarin kamu kalau bukunya udah ada sama saya. Soalnya masih dipinjem temen saya.” Alex menjelaskan maksudnya meminta nomor Maya.

Maya mengangguk paham, dan kemudian segera memberi nomornya pada Alex.

Jadi, Maya akan ke datang kantor waktu bukunya sudah ada di tangan Alex.

“Yaudah kalau begitu, saya duluan ya Pak,” ujar Maya, sambil menorehkan senyum normalnya. Semoga. Maya berharap senyumnya tidak tampak aneh.

Maya sudah berbalik dan meninggalkan Alex di sana. Alex masih berdiri di samping mobilnya dan rupanya pria itu belum masuk sampai Maya tampak benar-benar tidak terlihat lagi.

Sementara itu, Maya perlu masuk kembali ke mall, karena ia memarkirkan mobilnya di basement 2 PIM 3. Dari PIM 2 ke PIM 3 jaraknya cukup jauh, karena bentuk gedungnya letter U, jadi Maya memilih masuk ke mall dulu baru menuju parkiran.

Hari ini terasa sangat berkesan bagi Maya. Ia tidak menyangka, takdir bena-benar membawanya bertemu dengan Alex.

Apakah ini hanya kebetulan satu kali saja? Jawabannya, Maya tidak tahu. Maya tidak mau terlalu pusing memikirkannya. Yang terpenting sekarang, Maya memiliki nomor telfon pribadinya Alex, itu merupakan progress. Belum tentu kan, saingannya dalam project Paragon memiliki kesempatan yang sama dengannya.

Satu pintu telah terbuka karena Maya sudah mendapat kuncinya. Jadi setelah ini, mungkin Maya bisa membuka pintu lainnya.

🎀 Bersambung 🎀

Terima kasih telah membaca My CEO Secret Boyfriend. Silakan tinggalkan dukungan berupa likes, retweet, dan quote retweet, agar cerita bisa lebih baik lagi 💕🍭

Semoga enjoy dengan ceritanya dan dapat mengambil moral value yang berharga~ 🍦✨

--

--