lewat sudah pukul dua.

ata
11 min readOct 23, 2022

--

Jam dinding menunjukkan waktu melewati pukul dua, sedang kita sama-sama tak peduli. Aku dan kamu bertukar ujar malam ini; siapa berani mengusik kita?

based on this song.

Langit legam dengan seberkas sirat terang bulan yang tak cukup menyinari pelosok bumi dalam satu kilaunya. Jam dinding beradu bersama kepala yang penuh akan kicau-kicau burung — sisa-sisa titik sadar yang belum habis, menyisakan rentet bahasa memutar dalam kepala. Menerka pelan raut wajah nyaman dari si terkasih, berbaring nyaman dalam posisi termudah menemukan wajah di antara lampu yang kini bertukar gelap.

Manik matanya berpendar, bermula dari bibir merah memudar yang senantiasa ia kecupi sehari-hari; menjalar naik pada hidung kemerahan menggoda untuk diberi cubitan kecil; kembali naik pada mata yang biasa berbinar, kini mengatup ditemani bulu mata halus; mendarat pada rambut berantakan tercetak bantalan. Ingin sekali dirinya mengusak rambut itu; menyeka sedikit rambut tipis yang barangkali akan terasa tak nyaman mengenai mata. Namun, niatnya buyar seketika. Menyadari sang kekasih yang ia sadari bergerak di luar tidur. Makanya terpejam, tetapi dirinya seakan masih sadar dan belum terlelap.

“Kak Yoongi, kenapa belum tidur?”

Yoongi tak menyahut, entah kini tengah berpura tak sadar pada ujaran Jimin — terlelap dan tak mampu mendengar ujarnya — atau ia memang nyata tak sadar. Namun hidung yang berkedut berucap seribu kata; dirinya tidak sedang tidur. Jimin nyaris tak paham, ia tak mengerti mengapa kekasihnya perlu berpura terlelap?

Ia sendiri tak bisa tidur sebab bumbu rasa ekstasi dalam kepalanya mencipta rasa yang baru. Bahwa dirinya bahagia di luar nalar atas ingin melemparkan selebrasi hingga satu dunia tahu bahwa genap sudah keduanya menjalin hubungan. Mungkin bukan angka yang terlalu besar, tetapi bukan pula angka yang bisa dianggap remeh. Ia berpuja syukur diberi napas yang cukup untuk dapat merasa cinta dari kekasih manisnya itu. Mungkin ia tak sepenuhnya sadar saat ini, karena Jimin tak begitu senang dengan kata cinta.

Berat, katanya.

Ia senang dengan kata sayang. Tak akan ada yang salah dengan kata sayang. Menabur sebanyak yang ia mau, niscaya sebanyak itu pula ia akan terima — jika itu dari Yoongi. Ada berjuta cara yang ia bisa gunakan untuk menyatakan bahwa ia sayang pada lelaki kecil (tetapi berdada bidang dan berbahu lebar) itu. Satu di antaranya yaitu menanamkan kecupan di dahi.

Tak peduli jika Yoongi sungguhan belum tidur ataukah sudah, tak ada yang akan menahannya untuk mencium kening kekasihnya. Maka tanpa perlu mengira lamban, disisipkan helaian rambut di keningnya ke balik telinga, dan bibir tebalnya mengikis jarak yang nyaris tak ada itu dalam satu kecupan. Tersenyum puas, berharap kasihnya itu bisa sampai ke dalam bunga tidur Yoongi.

“Selamat empat tahun, Kak. Aku sayang kamu selalu,” bisiknya cukup jelas memasuki pendengaran Yoongi.

Yoongi seketika menjadi delima. Luntur sudah sandiwara terlelap demi menutupi kepalanya yang sama berisiknya — antusias berpikir atas genapnya hubungan terjalani hingga empat tahun. Matanya membulat, disapa oleh tatapan Jimin yang masih menaruh seluruh benih atensinya pada kekasihnya itu.

“Ah, you’re awake now?” ujar Jimin.

Sapaan amat retoris. Yoongi tak mengerti apa yang terputar dalam kepala lelaki itu. Apakah sandiwaranya begitu hebat hingga ia tak sadar bahwa ia belum tidur sama sekali sejak keduanya berbaring di ranjang pukul sebelas tadi?

“You kissed me, of course I’m awake!” gerutunya, meneruskan sandiwara kecil yang terlanjur ia bangun sejak tadi.

“Baru bangun langsung ngedumel,” goda Jimin.

“Aku belum — never mind.” Hampir kelepasan.

Keduanya berakhir dalam keadaan wajah yang berhadapan, terus bertukar pandang dalam gelap. Padahal tak ada yang jelas dalam mata keduanya; kabur di antara remang kegelapan. Namun, Jimin secara sengaja menggenggam erat tangan Yoongi. Setidaknya ingin merasakan bahwa ia tak salah lihat; Yoongi ada di hadapannya.

“Kemarin ibu depan bilang kalau dia ngira aku ini kamu, katanya karena aku pakai topi yang biasa kamu pakai pas keluar ketemu dia. Emangnya bener kalau orang udah lama jadi pasangan bakal makin mirip? Berarti kamu jadi mirip aku juga, dong,” celoteh Jimin cukup panjang.

“Ogah banget aku mirip kamu.” Jimin mungkin tak dapat melihat ekspresi wajahnya dengan jelas, tetapi rasa jijik penuh gurau di dalam suaranya tercetak jernih. Ia sukses mengundang tawa kecil di antara melekatnya buah bibir Jimin sendiri.

“Dih, kalau aku bapaknya pasti anakmu ganteng, Kak,” ucapnya, membela genetik rupawan yang ia miliki. Yoongi juga tak ragu akan itu.

“Nggak bisa hamil aku, kamu juga nggak bisa tuh. Ngapain malah bahas punya anak ganteng?” tanya Yoongi, merutuki pernyataan di luar nalar kekasihnya.

“Siapa tau? Misalkan anak kita cewek, pasti dia jadi cantik kayak kamu. Aduh, lucu juga,” tuturnya ringan.

Menghadiahkan satu sentilan telak di dahi. Hebat juga akurasi jari Yoongi dalam kamar yang nyaris gelap gulita. Jimin bisa merasakan dahinya yang berasap dari sentilannya barusan. Mengerikan. Habis godaan yang terulur, keduanya sama-sama tenggelam dalam kepala masing-masing.

“Jimin.” Yang dipanggilkan namanya hanya berdeham.

“Jimin,” panggilnya lagi, kali ini cukup jelas ingin menarik atensi Jimin dari perbincangan di dalam kepalanya.

Lelaki itu sontak menatap Yoongi tepat di manik matanya, sukses membuat si empunya membuang pandang. “Iya, Kak?” sahutnya, diiringi kekehan kecil dari Yoongi yang masih salah tingkah.

“Kemarin aku lihat ada toko perabotan baru di Jalan Anggrek. Ayo besok lihat-lihat, mau nggak?” ujar Yoongi sekenanya. Jimin turut merenung, mengira-ngira perihal tempat yang disebutkannya tadi. Andaikata keduanya merupakan karakter film animasi, maka amat pasti telah timbul satu bola lampu berpijar di kepala Jimin.

“Oh, yang di sampingnya ada penjual bunga itu, ‘kan? Aku lihat kemarin waktu grand opening.

“Iya, yang itu,” sahut Yoongi.

Jimin mengangguk singkat, sontak berujar, “Oke, ayo pergi besok. Aku bawa masker nggak, ‘ya?”

Yoongi terdiam sejenak, isi kepala terbang dalam bayangan sekilas. “Bawa aja, takutnya toko baru mau promosi lilin aromaterapi yang padahal sama aja kayak toko lain. Nanti kamu mabuk,” ujarnya menyarankan.

“Si paling ngerti,” canda Jimin.

Kali ini keduanya sama-sama tertawa. Tak begitu berisik, khawatir mengundang amarah tetangga jika berlebihan. Mata Yoongi luruh dalam tawanya, menjadikan sepasang garis membekas di sana. Ia tak menyadari senyuman penuh gemas dari Jimin, betapa lucu dan manisnya Yoongi bila ia tertawa — ia tak ingin mengenal akhir dari senyum gulanya itu.

“Aku nggak mau jadi tua sama kamu,” tuturnya kosong.

“Mau putus sama aku, begitu?” sahut Yoongi, tersinggung dengan ujarannya barusan.

“Nggak. Aku nggak mau ngerasa tua sama kamu. Mau ngerasa muda selamanya, biar hidup nggak membosankan. Biar hidup ini bakal terus berasa seru seperti masih muda. Want to be young forever with you, if that makes sense?”

Yoongi termangu. Mendecih sekilas begitu mengerti maksud dari kata-kata Jimin barusan. Meninggalkan satu cubitan pada batang hidung lelaki tersebut dalam satu tatapan penuh ejek. Entah atas dasar apa, tetapi semakin larut, semakin aneh pula pemikirannya.

“Nggak masuk akal. Kita pasti tua,” timpal Yoongi.

Jimin terkekeh, “Dasar pragmatis.”

“Bukan pragmatis, realistis,” balasnya.

“Terus aku apa?” tanya Jimin.

“Idealis,” jawabnya mantap.

“Iya? Padahal aku selalu berpikir kalau aku ini orang yang nggak punya prinsip tetap,” ucap Jimin tak percaya.

“Ada. Prinsipmu aneh,” ejek Yoongi.

“Prinsip kayak gimana?”

“Toko es krim pasti nggak enak kalau cone es krimnya disimpan di ruang terbuka dan nggak disimpan di tempat tertutup,” ucapnya, memutar mata dalam gelap yang tak terpandang oleh Jimin.

“Habisnya pasti cone-nya alot!” seru Jimin, tak begitu terima pemikirannya dikatakan aneh. Padahal, dirinya menganggap hal tersebut cukup masuk akal di kepalanya.

“Aku ‘kan mau beli es krim di cup.”

“Itu pasti cup-nya alot, nggak enak.”

“Namanya juga kertas!” cetus Yoongi.

Pukul dua kini telah tertinggal jauh di belakang. Nyaris pukul tiga pagi, sedang mata keduanya masih terasa sesegar buah yang baru dipetik dari kebun buah nenek di kampung. Perbincangan tanpa arti tadi tak kunjung mengundang kantuk, justru membuat keduanya semakin girang meladeni keinginan terdalam untuk terus saling bertukar pandang dalam senyap.

“Nggak mau tidur lagi?” tanya Yoongi melihat Jimin yang terbangun dari rebahnya. Jimin kini terduduk di sisi ranjang, sedang Yoongi masih berbaring — tetapi badannya kini telah menghadap langit-langit kamar. Matanya tertuju pada bahu telanjang Jimin. Lelaki itu tak dapat tidur jika memakai kaos. Menyebalkan, tetapi ia sudah biasa setelah empat tahun bersama.

“Tiba-tiba pengin sebat. Mau juga?” sahut Jimin, sekaligus menawarkan rokok berbau asap perisa mentol. Rasanya tak biasa mengenai pengecap. Namun, begitulah zat adiktif. Tak akan bisa mengenal akhir jika terlanjur jatuh dalam lubang buaya itu.

“Mau,” tutur Yoongi.

Jimin menatapnya sejenak, memperhatikan Yoongi yang kini turut duduk di atas kasur. Bedanya, ia duduk bersilang di tengah kasur, bukan di pinggir seperti Jimin. Jimin lalu merangkak pelan hingga tiba di hadapan Yoongi, menangkup wajahnya dalam genggamnya sebelum ia kecup sekejap bibir merah mudanya itu.

“Nggak jadi, aku mau makan permen aja,” ujar Jimin.

“Kenapa? Aku mau juga padahal ….” Andai dunia bisa melihat Yoongi yang merungut kesal bersama bibirnya yang manyun akan kekesalan itu, sudah pasti tak akan ada yang tega tak memberi apa yang ia pinta. Lucu sekali. Jimin merasa tak tega dan perlu memanjakannya meskipun Yoongi dua tahun lebih tua darinya.

“Asma kamu kambuh nanti, Kak. Nggak tega aku lihat kamu susah tidur sesak napas gitu,” jelasnya. Yoongi tak lagi merungut, ia lalu mengangguk mengerti, menyudahi adegan bibir manyun itu.

“Ya udah, aku mau permen juga.”

Tak terdengar jelas, tetapi ia bisa melihat bibir Jimin yang amat jelas tengah merangkai pujian kecil padanya. Anak pinter, jika ia tak salah menebak. Puji syukur ada bantal di belakangnya, diraih tergesa menutupi wajahnya yang merona dari Jimin. Ia sedang tak dalam perasaan yang pas untuk digoda. Jimin kini telah berdiri tak jauh dari kamar, tepatnya di hadapan meja tamu kecil dengan kotak permen berjejer di atasnya.

“Mau permen apa? Ada rasa kopi, kopi susu, susu — ini siapa yang beli permen susu? Perasaan kita nggak pernah stok permen susu.” Suara seraknya berseru kecil, cukup untuk dapat Yoongi dengar dari dalam kamar.

“Aku yang beli! Anaknya ibu depan suka sama permen itu, jadi aku beli. Aku mau yang rasa melon, ambilin dong,” seru Yoongi.

Jimin tak lagi menyahut, mungkin tengah sibuk mencari apa yang Yoongi inginkan. Namun, nihil. “Nggak ada melon, Kak,” tuturnya, kepalanya nampak dari sisi ambang pintu secara tiba-tiba. Yoongi nyaris sekali melemparkan bantal dalam pangkuannya tepat ke wajah lelaki itu.

“Yang melon kusimpan di laci,” ujarnya.

Jimin melenggang pergi lagi, kembali sibuk membongkar isi laci meja itu. “Oh, Iya. Ada.” Jeda sejenak. Tak begitu lama hingga Jimin telah kembali di kamar dan mendudukkan dirinya di sisi kasur. “Ngapain ditaruh di laci?” tanyanya.

Yoongi tidak menyahut, berpura sibuk dengan lampu di atas nakas untuk menerangi sedikit sesi manisan mereka di malam menjelang pagi ini. Jimin terlihat menebak isi kepalanya, mendecak kecil kala satu bayangan masuk dalam perkiraannya.

“Oh, biar nggak dimintain sama anaknya ibu depan, karena kamu paling suka rasa melon?” Yoongi terbelalak di tempat.

“Nggak gitu! Anak ibu depan nggak suka melon …,” ujarnya membela diri.

Jimin gemar sekali memandangi Yoongi seperti ini. Umpama kucing tertangkap basah mencuri ikan di dapur. Namun, ia bukanlah seekor kucing, tidak pula tengah mencuri sepotong ikan. Ah, tetapi ia senang menyamakan kekasihnya dengan seekor kucing. Sama-sama lucu.

“Itu hari aku lihat ibu depan kasih makan dia melon waktu main sepeda, seneng aja dia?” godanya, mengundang lebih banyak lagi semburat kemerahan hangat menodai pipi bersihnya. Yoongi tak berpikir bahwa Jimin akan menyadari itu. Sekarang ia merasa amat jengah jika harus memakan permen itu lagi.

“Nggak jadi mau permen, mau tidur aja.” Yoongi pun meletakkan bantal di pangkuannya di posisi kepala kasur, hendak kembali merebahkan diri dan menutup mata dan telinga dari goda Jimin.

“Jangan tidur dulu, temenin aku makan permen sebentar.”

Entah mantra apa yang ia haturkan sebelumnya, Yoongi langsung menuruti omongannya. Padahal tak ada nada perintah dalam tuturnya tadi, tetapi Yoongi kini telah diam di tempat sembari memandangi Jimin tengah menikmati gula pecah dalam lidahnya. “Makan permen apa kamu?” tanya Yoongi sedikit penasaran.

“Mau coba?” tawar Jimin.

Yoongi tak menyahut, tetapi Jimin terlebih dahulu mencium bibir tipisnya. Sedikit lebih dalam dibandingkan sebelumnya, sebab ia kini mempersilakan lidahnya untuk ikut serta meraup habis napas yang ia genggam erat. Menyalurkan rasa manis yang amat familiar di lidah, seakan memang itu maksud dari ciumannya itu.

“Enak?” tanya Jimin. Yoongi mematung sekejap, mengecap rasa yang baru saja Jimin salurkan padanya tadi. Matanya lalu kembali membulat menyadari rasa permen kesukaannya dalam pengecap.

“Itu permenku! Kamu ih, nanti abis …,” gerutu Yoongi.

Yoongi pun kembali bersungut, lucunya melebihi anak bayi yang tertawa begitu lebar. Satu kata dalam kepala Jimin, lucu. Kapan coba, lelaki itu tak bertingkah menggemaskan bahkan tanpa ia sadari sekalipun? Bagaimana jadinya jika ia sadar bahwa tubuhnya punya kuasa berlaku menggemaskan dan meluruhkan semua warasnya jatuh hingga ke mata kaki.

“Besok aku beliin lagi satu kantong sekalian kita lewat pergi ke toko perabotan. Aku bantu pisahin yang melon sama rasa lain,” ujar Jimin memberi penawaran. Yoongi mendecak, yakin dirinya juga tak bisa menolak tawaran itu. Berkurang pengeluaran pengisi gigi manisnya untuk saat ini.

“Ya udah, terusin.”

“Terusin apa, Kak?” tanya Jimin, sungguhan tak paham.

“Ciumannya ….” Sekali lagi, dirinya menjadi sebuah delima yang Jimin yakini akan terasa begitu manis di bibirnya.

“Mau dicium lagi?” Retoris.

“Apa kamu mau kusuruh tidur di luar daripada godain aku terus kayak remaja baru pacaran?” serunya sedikit kesal, tak senang jika terus menerus digoda tanpa jeda seperti itu. Tak senang membiarkan Jimin terus meratapi pipinya yang penuh noda merah.

“Akunya emang mau muda terus sama kamu,” sahut Jimin santai.

“Nggak alay begitu ju — mmh — “

Belum sempat dirinya berujar apa-apa dalam upaya membawa protes, Jimin terlebih dahulu menyumpal bibirnya senyap. Atau mungkin tak begitu senyap? Sebab ada decak basah, terdengar erotis di telinga; walau keduanya tak memiliki kuasa dan tenaga untuk bermain lebih dari pertemuan lidah menukarkan saliva. Tangan Yoongi mengerat pada bahu polos Jimin, menyalurkan betapa sesak dirinya yang dibawa mengikuti alur lelaki bertenaga hebat itu. Dirinya kewalahan, walau rasa sesaknya amat memacu adrenalin. Ia tak mau kehilangan kesadaran hanya dengan cumbuan tanpa kata ini. Didorong pelan bahu Jimin, menyisakan jaringan tak nampak putus di antara keduanya, juga dadanya yang bergerak naik turun di balik kaos hitamnya.

“Nggak permisi kamunya!” rutuknya.

“Abisnya kamu lucu bawel begitu.” Lelaki itu berujar seakan diri tak berbuat dosa apapun. Betapa menyebalkan bagaimana ia bisa hidup senyaman dan sesantai itu.

“Terserah kamu deh, Jim. Kamu sikat gigi dulu deh sana, aku mau lanjut tidur lagi. Aku udah ngantuk.” Kali ini Yoongi sungguhan ingin kembali tidur, merebahkan dirinya di kasur dan menarik selimut hingga separuh tubuhnya tertutupi kehangatan kain polos itu.

Jimin sontak berdiri dari tempatnya. Terdengar suara air mengalir di wastafel kamar mandi; Yoongi berpura tak peduli. Ia ingin tidur lagi, khawatir tak dapat bangun awal esok hari hingga keduanya malah tak jadi bersinggah membeli permen dan menghampiri toko perabotan baru itu. Ia ingin melihat lampu-lampu yang mereka miliki di sana. Pasti banyak desain baru yang keren.

Tak begitu lama hingga Jimin kembali di kamar, mengulum satu senyum paling lebar namun tak menunjukkan gigi manisnya. Meratapi manisnya mata terpejam sang kekasih yang mengatup pelan; bibirnya sedikit tercuat sebagai default Yoongi; napasnya yang jauh lebih teratur dibandingkan sebelumnya. Dikecup kening itu sekali, lalu ia mematikan lampu yang Yoongi nyalakan tadi.

“Semoga besok-besok, rasa kita ke satu sama lain nggak berubah. Tetap ramai tetapi menenangkan, tetap seru, tetap penuh warna yang keren, tetap penuh tawa jelek. Semoga aku bisa selamanya sama kamu, Kak. Aku sayang banget sama kamu. I wouldn’t trade you with anything on Earth when you’re already by my side,” tuturnya.

Jimin merebahkan dirinya di sisi Yoongi, mengeratkan tangannya yang kini menangkup Yoongi dalam rengkuhan hangatnya. Sedikit mendekatkan bibirnya pada daun telinga Yoongi yang mungkin sedikit geli dengan niatan berujar satu hal menutup awal pagi.

“Sleep well, Love,” bisiknya.

Yoongi tentunya tak menyahut, tetapi tangannya membalas dalam satu remasan pada punggung tangan Jimin yang kini bertengger nyaman di perut bawahnya. Mungkin dirinya tengah berbisik pelan, berucap amin walau dirinya sebenarnya tak begitu percaya pada Tuhan. Jimin hafal bahasa tubuhnya, mengeratkan dekapannya hingga aroma manis dari rambut Yoongi menyeruak tanpa permisi.

Habisnya, Yoongi juga mau selamanya sama Jimin. Sampai tua, bahkan jika wajah penuh keriput dan punggung rentan berbunyi. Setidaknya, ia ingin terus merasa tangannya digenggam nyaman oleh Jimin. Menyalurkan rasa tenang paling nyaman satu semesta. Bahwa hanya kehangatan berada di dalam lindung lelaki itu yang bisa membuatnya nyaman. Semoga kita kekal selamanya, pikirnya.

Berseru kasih, selamanya.

talk to me, here.

--

--