Dwilingga Salin Suara
Dwilingga salin suara barangkali adalah kecerdasan ritmik yang bangsa kita miliki. Ia satu dari berbagai macam kaidah berbahasa Indonesia yang menunjukkan kata bisa sekaligus memuat kesederhanaan pada latar depan dan kompleksitas pada latar belakang.
Mari kita mulai dari definisi — saya tahu, ini adalah cara yang buruk untuk memulai catatan di internet!
Definisi: Dwilingga salin suara adalah kata ulang yang diikuti perubahan suara dan bentuk dasar kata.
Contoh dari dwilingga di antaranya: bolak-balik, basa-basi, cenat-cenut, sana-sini, warna-warni, mondar-mandir, teka-teki, kerlap-kerlip, utak-atik, dan sebagainya.
Sayup-sayup kita dapat mendengar ada pola ritmik dalam dwilingga, bukan? Pola tersebut akan lain cerita jika misalnya kita mengubah urutan dwilingga. Alhasil, kita dapat merasakan bahwa mengucap warna-warni terasa lebih beres dibanding warni-warna; basa-basi lebih beres dibanding basi-basa; cenat-cenut lebih beres dibanding cenut-cenat.
Adakah itu beralasan? Kenapa kita harus mengucapkannya dalam pola atau urutan yang demikian?
Kalau ditelusuri, tentu ada proses di belakang penciptaan pola itu. Kita bisa menduga ”rasa bahasa” banyak mengambil peran untuk memberi efek ritmik di mana kata-kata yang dipilih terdengar lebih indah, beres, dan tanpa halangan.
Rasa bahasa erat kaitannya dengan kepatahan lidah penutur yang berkembang seiring zaman. Jika diperhatikan seksama, kita bisa menemukan adanya kecenderungan penutur bahasa Indonesia untuk mengurutkan vokal suku kata terakhir dalam aturan A-I-U-E-O.
Vokal yang memuat huruf A akan selalu lebih dulu diucapkan sebelum vokal yang memuat huruf I. Mari perhatikan contoh berikut lebih seksama: basa-basi, warna-warni, compang-camping, tralala-trilili, dan sebagainya.
Begitupun seterusnya, prinsip urutan vokal A-I-U-E-O suku kata terakhir bisa pula kita temui pada kata sifat seperti ceplas-ceplos, nama daerah seperti Gorang-Gareng, ataupun fonem kekinian untuk menyebut gagasan aneh — yang biasanya disampaikan oleh para SJW — seperti fafifu wasweswos casciscus.
Lidah penutur bahasa Indonesia agaknya sepakat mendahulukan vokal A entah atas alasan apa. Mungkin vokal A dianggap agak merepotkan. Sementara vokal I-U-E-O yang secara berturut-turut lebih mudah diucapkan sebagai bentuk penekanan.
Tapi agak berbeda dengan penutur bahasa Indonesia, penutur bahasa Inggris lebih terbiasa dengan urutan I-A-O. Vokal I mungkin dinilai kurang mampu menciptakan efek penekanan kata.
Maka dalam lidah Inggris, kita akan menemui beberapa contoh di antaranya: kit-kat, chit-chat, dan tick-tack, king-kong, ding-dong, hip-hop, dan lain-lain.
Kenapa manusia terobsesi mengucapkan kata dalam urut-urutan tertentu? Kenapa kita di Indonesia gemar memilih mengucapkan ’warna-warni’ dibanding hanya ’warna’ saja? Saya tidak tahu. Saya bukan Ivan Lanin.
Tapi hal itu mungkin disebabkan oleh semacam penghayatan tertentu yang bertujuan memancing reaksi tertentu, dan kebiasaan ini telah diwariskan turun-temurun oleh budaya tertentu.
Namun yang jelas, dwilingga salin suara telah menjadi bentuk kuat bagi penutur bahasa Indonesia: ritmis, mengalun, dan musikal. []